Jumat, 12 Juni 2015

Anugerah Tuhan untuk Indonesia itu, Kini Sumbangkan Anugerah Barunya

IRFAN AZIZI, (12/8/2009) _ Dua belas tahun terlewati. Rentang perjalanan yang penuh cinta dan luka, namun ternyata luka itupun cinta. Ya, luka itu cinta. Ia menumbuhkan kebersamaan, heroik, dan motivasi. Akan mendedah kenangan menjadi perencanaan. Maka laku kan menentukan arah, menuju cita dan obsesi.


Dua belas tahun itu menjadi episode indah. Dengan manuskrip naskah yang tergelar bagi alas peradaban ini. Dan sang aktor pun bertumbuhan serta terus bergulir. Dunia literasi itu menjadi untaian yang tak putus, penulis-penerbit-pembaca-penulis. Sungguh indah 12 tahun itu...

Walau hingga kini cibiran menghujam, namun FLP tetaplah sebuah gerakan yang terus melenggang. Kami generasi pembelajar dengan jiwa yang selalu muda. Biarlah usia kami terus menua, namun kelincahan mata pena kami tak pernah henti tuk mencorat-coret muka durjana. 

Kami akui semua cibiran itu bermakna. Benar, kami memang sedang tumbuh dan melangkah tertatih. Kami pun terus berproses. Dengan semangat dan daya yang nyata. Akan tetapi perlu pula diakui, kami mulanya bukanlah praktisi literasi yang handal. Latar belakang kami pun beragam. Pelajar, pegawai, buruh, PNS, Guru, Ustadz, Nelayan, Petani, Pembantu Rumah Tangga, dan lain-lain. Artinya, dengan segala keterbatasan itu kami selalu berusaha untuk turut andil mengantarkan bangsa ini menuju arah yang kejayaannya melalui "skenario-skenario" yang kami tulis.

Dan FLP tetaplah unik. Bahkan, mungkin sangat unik. Unik karena hampir semua anggotanya adalah relawan yang sering mengisi berbagai acara dengan merogoh kocek sendiri. Mereka bersemangat meski bergerak dengan keterbatasan dana. Kepengurusan dan kegiatan FLP di berbagai daerah bahkan terus berjalan tanpa sekretariat tetap, melainkan menumpang pada rumah kontrakan seorang kawan. Rumah-Rumah Cahaya didirikan dengan tekad kuat, bahkan dengan dana antara lain dari berjualan baju bekas!

Yang terakhir itu wujud kepedulian kami kepada anak-anak jalanan. Ya, Rumah Cahaya. Itulah singkatan bagi Rumah baCA dan HAsilkan karYA, sebuah tempat kumpul bagi anak-anak jalanan yang berminat menggali ilmu dengan membaca. Tentu gratis. Namun tetap kaya ilmu.

Dua belas tahun itu sungguh penuh kisah yang mengharu biru. Jika kita menyelaminya, maka kita akan dibawa ke suatu nuansa yang sarat dengan nilai-nilai, baik persaudaraan, pengalaman pahit dan manis, bagaimana susahnya merintis sesuatu, dan bagaimana kita harus bersabar dalam menghadapi segala keterbatasan yang menghadang di hadapan kita.

Kita akan mengenal bagaimana mereka -para aktivis FLP- mulai berkarier di bidang menulis, sampai akhirnya berhasil menelorkan sebuah buku. Tentang bagaimana seorang aktivis FLP yang berusaha meyakinkan seorang sastrawan populer tentang bagusnya kualitas tulisan para aktivis FLP, namun sastrawan tadi hanya mengakui karya HTR dan menganggap karya para aktivis FLP tidak sesuai dengan idealisme. Kemudian bagaimana seorang aktivisnya berjuang untuk pulang kembali ke Padang meski nyaris tidak mempunyai uang sepersenpun.

Kita pun akan mengenal bagaimana seorang pensiunan berusia 66 tahun dapat menjadi anggota FLP, dan sudah barang tentu begitu banyak kisah dalam perjalanan 12 tahun itu. Betapa para pengurus FLP tidak pelit dalam membagi ilmunya, bahkan terus mendorong untuk memajukan saudaranya dalam tulis-menulis.

Coba lihat Galang Lufityanto, pemuda Yogya, kelahiran 1981, yang menulis karya fiksi sama baiknya dengan karya ilmiah, yang berkali-kali menjadi juara I dalam berbagai lomba penulisan tingkat nasional dan telah menerbitkan bukunya: Bisikan dari Langit ( Mizan, 2001) dan Tidak Hilang Sebuah Nama (Era Intermedia, 2002). Bersama teman-teman FLP Yogya, Galang membuat konsep pelatihan penulisan EMPATIK, yang mempercepat lahirnya para penulis anggota FLP di sana.

Lalu, coba pula lihat Sakti Wibowo, mantan buruh pabrik roti yang cerdas dan telah menulis puluhan buku, di antaranya Tanah Retak (Syaamil, 2003), novel sejarah menjelang perang Jawa 1825-1830. Anda pun akan mengetahui Agustrijanto yang karyanya Tonil Nyai di Ujung Senapan (Syaamil, 2001) dan Wiracarita Adi Cenik (Syaamil, 2002) dibuat dengan perpaduan riset luar biasa dan jalinan cerita yang indah.

Atau kita beralih pada sosok pelajar sederhana, Meldy Muzada Elfa dari Barabai, yang dalam usia 14 tahun (kelas 2 SMP) telah menerbitkan dua buku fiksi dan berkali-kali menjadi pelajar teladan se-Kalimantan Selatan. Adapula Syamsa Hawa, si juara kelas, yang dalam usia 13 tahun telah menulis puluhan cerpen dan pada usianya yang ke 14 tahun menerbitkan bukunya Di Balik Cahaya Rembulan (Era Intermedia, 2001).

Tak hanya mereka berdua para pejuang cilik FLP. Di sudut Ibukota kita kan dapatkan Adzimattin Nur yang menulis buku pertamanya dalam usia 13 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun kemudian ia sudah menghasilkan 7 buku! Abdurahman Faiz yang menerbitkan dua buku puisinya dalam usia 8 tahun. Kini ia sudah menerbitkan 6 buku dan 5 antologi bersama, serta meraih 9 penghargaan tingkat nasional. Salsabila yang buku kumpulan cerpen pertamanya terbit saat ia berusia 7 tahun. Adam Putra Firdaus yang mencatatkan karyanya dalam antologi cerpen saat berusia 5 tahun. Mereka bangga disebut pelopor FLP Kids. Itulah wadah untuk rekan-rekan FLP yang masih sangat belia.

Jika mereka tadi adalah pejuang-pejuang cilik FLP, maka perlu pula kita menilik Asma Nadia yang dua bukunya: Rembulan di Mata Ibu (Mizan,2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan 2001) menjadi buku terbaik tingkat nasional versi Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia 2001-2002. Itu pula yang membawanya sebagai pengarang terbaik tingkat nasional IKAPI. Ia juga Pengarang terbaik versi Penerbit Mizan, 2003 dan pengarang muda yang menerima hadiah Mastera untuk karyanya Derai Sunyi (2004). Asma menulis 10 buku dalam satu tahun! Buku-bukunya langsung mengalami cetak ulang saat baru satu bulan terbit. Ia pernah ke Korea, mewakili Indonesia dalam pertemuan sastra di sana.

Barisan itu belum berujung. Masih ada Ninik Handrini yang dalam usia 25 tahun telah menulis lebih dari 30 buku cerita anak. Muthmainnah, yang tinggal di Inggris, karyanya Pingkan Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1998) terus mengalami cetak ulang sampai sekarang.

Atau mungkin sosok mantan Ketua FLP Depok, Nurhadiansyah, seorang koki muda yang bekerja pada sebuah kafe di Jakarta. Ia menulis dengan sangat indah. Wina Karnie dan Swastika Mahartika, pengurus FLP Hong Kong yang menjadi domestic helper di sana, juga memiliki karya-karya yang boleh diadu secara estetika.

Pandanglah Tary yang selalu memenangkan sayembara penulisan cerpen tingkat nasional beberapa tahun berturut-turut. Juga pada Habiburrahman El Shirazy, mantan Ketua FLP Mesir yang karyanya Ayat-Ayat Cinta (Republika 2004) mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan. Pada Tasaro (Taufiq Saptoto Rohadi) yang novel dan tulisannya kerap mendapat banyak penghargaan nasional, antara lain Di Serambi Mekkah (DAR! Mizan) sebagai cerita remaja terbaik Adikarya IKAPI 2006.
"Tentu saja kita ingin banyak penulis di negeri ini. Dengan adanya FLP ini akan menjadi kerja yang sinergis," kurang lebih kata-kata itulah yang terucap dari bibir para penulis muda itu, saat pertama kali bergabung dengan FLP.

Kini, di usianya yang ke-12, FLP kembali memancangkan langkah-langkahnya. Melalui Munas II yang diselenggarakan di kota Solo (14-16 Agustus 2009), FLP memantapkan langkahnya dengan pembenahan dalam hal Formalitas-Legalitas-Pembinaan. FLP juga akan merancang Gerakan Sastra Motivasi, yang akan bergulir sebagai Obat bagi Luka-Luka Bangsa. 

Itulah anugerah baru bagi bangsa Indonesia yang disumbangkannya. Gerakan Sastra Motivasi. Dalam kemasan tema besarnya: "Sastra, Obat Luka-Luka Bangsa." 

("Untuk FLP kupersembahkan," Irfan Azizi.)

Tidak ada komentar: