Sabtu, 23 Juli 2022

Materi Surat Asy Syarh


 

- I -

Setelah surat Ad Dhuha, surat berikutnya Asy Syarh. Kedua surat ini sama-sama berfungsi sebagai penghibur bagi Rasulullah. Sama-sama mengingatkan pada nikmat yang telah diberikan sebelumnya, sehingga membuat hati mensyukurinya. Bahkan pada surat asy Syarh ditekankan akan nikmat-nikmat berikutnya bila ada kesulitan, berupa kemudahan-kemudahan yang dijanjikan.

اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَۙ

Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?

Begitu sapa Allah subhanahu wata’ala kepada Rasul-Nya. Kelapangan ini, menurut Ibnu Katsir serupa dengan kelapangan yang ditegaskan dalam surat Al An’am ayat 125. فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ (Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah –petunjuk-, Dia akan membukakan dadanya untuk –menerima- Islam.)

Jadi, kelapangan dada ini erat kaitannya dengan petunjuk dari-Nya. Oleh karenanya, Islam yang merupakan petunjuk-Nya punya karakter yang lapang pula. Islam itu mudah dan tidak menyulitkan. Karenanya pula, kita mestinya dapat menerima Islam dengan sepenuh kelapangan hati.

Terkait proses pelapangannya ada beberapa pendapat di kalangan ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa kelapangan ini terkait malam Isra’ di mana Rasulullah dihibur dengan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha serta lanjut ke sidratul muntaha. Ada pula yang berpendapat kelapangan ini terkait proses pembelahan dada Rasulullah di masa kanak-kanaknya. Terkait pembelahan ini, Rasulullah menjawab pertanyaan Abu Hurairah dengan mengatakan bahwa yang dikeluarkan adalah iri hati dan dengki, sedangkan yang dimasukkan adalah lemah lembut dan kasih sayang. Dari jawaban Rasulullah itu, maka kita tercerahkan bahwa dengki akan membuat kita merasa sempit hati dan sikap lembut akan membuat kita lapang hati.

 

- II -

Selain melapangkan hati, sesungguhnya Allah juga telah banyak meringankan beban Rasulullah. Difirmankanlah pada ayat kedua, وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَۙ (dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu). Beban ini dalam tafsirnya, yang paling utama adalah beban-beban kesalahan. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al Fath ayat 2, لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ (Agar Allah memberikan ampunan kepadamu –Muhammad- atas dosamu yang lalu dan yang akan datang).

Selain tentunya beban-beban fisik, yang pada ayat ketiga diistilahkan الَّذِيْٓ اَنْقَضَ ظَهْرَكَۙ (yang memberatkan punggungmu). Istilah inqadh itu seperti suara tulang karena beban berat. Jadi, ini menggambarkan tentang beban berat dalam kehidupan yang telah diletakkan Allah dari pundak kita, atau telah diberikan kekuatan pada pundak kita untuk memikulnya.

 

- III -

Setelahnya, Allah subhanahu wata’ala menyinggung lingkungan sekitar Rasulullah. Jadi setelah kesempitan hati dan beratnya beban itu dihilangkan oleh Allah, ada hal lain yang juga akan membahagiakan adalah kenangan tentang sosok Rasulullah di masyarakat sekitarnya dan setelahnya. Maka firman-Nya: وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَۗ (dan Kami tinggikan sebutan –nama-mu bagimu).

Menurut Mujahid, maksudnya Nama Rasulullah selalu disebut berdampingan bersama Asma Allah dalam kalimat syahadat. Sedangkan Qatadah menekankan, maksudnya nama Rasulullah tersebut di dunia dan akhirat. Sehingga para khatib dan ahli ibadah selalu menyebut namanya dalam kalimat syahadat itu. Adapun Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah adzan, di mana terdapat nama Rasulullah di dalamnya.

 

- IV -

Barulah kemudian di ayat ke-5 dan ke-6 dinyatakan, فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ (Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan), اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ (sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan). Pernyataannya diulang dua kali, bahkan Rasulullah memaknai istilah ‘Usri yang pertama dan kedua itu sama, namun istilah yusran yang pertama dan kedua itu dua hal berbeda. Sehingga ada sabda Rasulullah yang mengatakan, “Satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan.” Maksudnya, pada dua ayat tadi ada 1 kesulitan dan 2 kemudahan. Sehingga kita harus selalu optimis. Bahkan di situ disebutkan bahwa kemudahan tidak datang setelah kesulitan, melainkan datang bersama kesulitan.

Adapun ujungnya adalah firmannya (ayat 7 – 8), فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ (Maka apabila engkau telah selesai -dari sesuatu urusan-, tetaplah bekerja keras -untuk urusan yang lain-), وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ (dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap). Dua ayat ini merangkaikan keluangan dari urusan di dunia dan pengharapan kepada-Nya. Oleh karenanya, ada tafsir yang menjelaskan bahwa maksudnya bila selesai urusan dunia maka bangkitlah untuk ibadah kepada-Nya dengan penuh semangat.

Juga adanya makna lain yang menjelaskan bahwa selesaikan urusan dunia lalu beranjak untuk ibadah kepada-Nya. Berangkat dari sabda Rasulullah: “Tiada shalat di hadapan makanan, dan tiada shalat pula sedangkan yang bersangkutan menahan keinginan buang air –kecil dan besar-.” Atau sabda lainnya, “Bila sudah iqomah shalat, sedangkan makan malam telah tersaji, maka mulailah dengan menyantap makan malam dahulu.”

Makna lainnya hadir dari Ibnu Mas’ud, yang menjelaskan bahwa setelah mengerjakan shalat fardhu hendaklah mengerjakan qiyamullail (sunah) dengan sungguh-sungguh. Begitulah makna bila telah selesai urusan maka beralih ke lainnya, dan hanya kepada Rabb kita berharap. Demikianlah etos kerja seorang muslim.

Dan semua itu karena kesyukuran kita kepada Allah, yang telah melapangkan hati, meringankan beban, memuliakan nama kita, hingga selalu menyertakan kemudahan demi kemudahan di tengah kesulitan-kesulitan kita. Dalam kondisi semacam ini, masihkah ada putus asa dalam diri kita? Masihkah kita meragukan kuasa Allah subhanahu wata’ala?

 

Tidak ada komentar: