Selasa, 16 Agustus 2022

Materi Surat Asy Syams


- I -

Surat Asy Syams merupakan salah satu surat yang diturunkan di Makkah. Turun setelah surat al Qadar. Dan merupakan surat yang dijadikan alternatif oleh Rasulullah sebagai bacaan pendek dalam shalat. Saat sahabat Mu’adz yang menjadi imam diadukan kepada Rasulullah karena membaca surat yang panjang, maka Rasulullah pun menegurnya dengan memberikan 4 alternatif surat yang bisa dibaca. “Apakah engkau suka menimbulkan fitnah, wahai Mu'adz? Kenapa engkau tidak membaca Sabbihisma Rabbikal A'la (surat al A’la), Wasy Syamsi Wa Dhuha-ha (surat Asy Syams), Wal Fajri (surat al Fajr), dan Wal Laili Idza Yagsya (surat al Lail)?” begitu sabda Rasulullah. Salah satunya yang disebut adalah surat asy Syams.

Memasuki surat Asy Syams ini, kita akan disajikan rangkaian sumpah atas beragam penciptaan secara berpasang-pasangan. Dari sumpah atas Matahari dan Bulan, lalu Siang dan Malam, dilanjutkan Langit dan Bumi, hingga sumpah terhadap jiwa manusia yang hidup di antara sunah penciptaan tersebut.

Ketika bersumpah atas Matahari pada ayat pertama, Allah subhanahu wata’ala pun melanjutkan dengan ‘demi waktu Dhuha’. Maksud waktu Dhuha ini bisa berupa sinar di pagi hari sebelum Dzuhur (menurut Mujahid), atau seluruh siang hari (menurut Qatadah), atau sinar matahari itu sendiri yang terdapat di siang hari (menurut Ibnu Jarir).

Ketika bersumpah atas Bulan pada ayat kedua, Allah subhanahu wata’ala pun melanjutkan dengan istilah تَلٰىهَاۖ (mengiringinya). Kata Ibnu Abbas, begitulah bulan mengiringi siang hari yang ada padanya Matahari, atau muncul setelah Matahari terbenam.

Ketika bersumpah atas Siang pada ayat ketiga, Allah subhanahu wata’ala pun melanjutkan dengan istilah جَلّٰىهَاۖ (menampakkannya). Menurut Qatadah, begitulah karakter siang hari yang menerangi semuanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al Lail ayat 2, “Dan siang apabila terang benderang.” Sehingga tampaklah semuanya.

Ketika bersumpah atas Malam pada ayat keempat, Allah subhanahu wata’ala pun melanjutkan dengan istilah يَغْشٰىهَاۖ (menutupinya). Begitulah karakter malam, yang menutupi matahari sehingga cakrawala menjadi gelap.

Ketika bersumpah atas Langit pada ayat kelima, Allah subhanahu wata’ala pun melanjutkan dengan مَا بَنٰىهَاۖ. Ada 2 pendapat tentang kata ‘Maa’ dalam ayat itu. Menurut Qatadah itu sebagai mashdariyah yang artinya ‘serta bangunannya’. Namun Mujahid berpendapat ‘Maa’ itu bermakna ‘Man’ (siapa) yang artinya ‘serta Tuhan yang membangunnya’. Menurutnya, padanan ayatnya adalah surat adz Dzariyat ayat 47 – 48, “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kami hamparkan, maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami).”

Ketika bersumpah atas Bumi pada ayat keenam, Allah subhanahu wata’ala pun melanjutkan dengan istilah طَحٰىهَاۖ (penghamparannya). Ibnu Abbas punya pemaknaan yang lebih dari itu, yaitu segala makhluk yang terdapat di dalamnya.

Begitulah rangkaian sumpah-sumpah Allah yang menandakan pentingnya ciptaan-ciptaan itu untuk menjadi perhatian kita semua. Begitu pentingnya Matahari dan Bulan, begitu pentingnya Siang dan Malam, serta begitu pentingnya Langit dan Bumi. Semuanya terkait perputaran waktu dan tempat keberadaan manusia di dunia ini. Artinya, kesadaran kita akan waktu dan tempat sangat menentukan keberhasilan menjalani misi kehidupan di dunia.

 

- II -

Lalu rangkaian sumpah itu digenapi dengan sumpah terhadap jiwa manusia pada ayat ketujuh. Yang imbuhannya adalah مَا سَوّٰىهَاۖ (penyempurna ciptaannya). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penyempurna jiwa manusia adalah kefitrahan. Sebagaimana ditegaskan dalam surat ar Rum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”

Tentu kita juga akrab dengan hadits Rasulullah berikut, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, atau seorang Majusi.” Kefitrahan itu tentu mesti kita jaga, agar penyempurna jiwa kita tetap ada.

Setelah menegaskan tentang penyempurna jiwa manusia, Allah subhanahu wata’ala lalu menjelaskan pada ayat kedepalan, bahwa telah diilhamkan jalan kejahatan dan ketakwaan kepada jiwa manusia tersebut. Menurut Ibnu Abbas, maknanya adalah Allah telah menjelaskan kepadanya tentang kebaikan dan keburukan. Jadi, setelah Allah subhanahu wata’ala menyatakan adanya penyempurna jiwa manusia, Allah subhanahu wata’ala pun jelaskan bahwa setelahnya ada pilihan kebaikan dan keburukan. Apakah modal fitrah yang telah diberikan pada jiwa manusia bisa tetap memilih kebaikan daripada keburukan? Itu sangat tergantung pada tegaknya kefitrahan kita.

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam setelah membaca ayat ketujuh dan kedelapan ini, beliau pun membaca doa:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، وَخَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا

“Yaa Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaan, Engkau adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya, dan (Engkau) adalah sebaik-baik yang menyucikannya.”

Atau dalam banyak kesempatan, Rasulullah pun sering menghaturkan doa berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْهَرَمِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ. اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ. وَعِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَدَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kepikunan, sifat pengecut, sifat kikir, dan azab kubur. Yaa Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah Pemilik dan Yang Menguasainya. Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak diperkenankan.”

Begitulah kita mengharap dan memohon ketakwaan dan kebaikan dari jiwa kita. Sebab ditegaskan setelahnya pada ayat kesembilan, bahwa yang beruntung karena bisa memilih kebaikan dan ketakwaan adalah jiwa yang tersucikan. Ayat tersebut sama dengan firman Allah dalam surat al A’la ayat 14 – 15, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhan-nya, lalu dia shalat.”

Sebaliknya pada ayat kesepuluh ditegaskan, bahwa yang rugi karena akhirnya terjebak pada kefajiran atau keburukan adalah mereka yang mengotori jiwanya. Mereka mengotorinya dengan membenamkan, menguburnya, hingga menghinakannya dengan tidak mengikuti petunjuk. Akhirnya terjerumus dalam ketidak-taatan kepada Allah.

Mengotori itu sendiri dalam konteks kehidupan kita tak selalu dengan membuatnya kotor. Bahkan membiarkannya sunyi atau vakum dari aktivitas pun bisa kotor. Seperti rumah yang ditinggalkan lama tanpa penghuni, seperti buku yang tak pernah kita buka-buka, atau seperti kendaraan yang tak pernah kita operasikan. Begitulah jiwa manusia, bila tak diaktifkan maka lama-lama akan kotor sendiri. Oleh karena itu, ada kaedah yang mengatakan bahwa bila kita tidak disibukkan dengan kebaikan, maka kita akan disibukkan dengan keburukan.

 

- III -

Jadi, inti pesannya ada pada ayat 7-10. Berikutnya adalah penutup, dengan dihadirkan sebuah contoh umat terdahulu yaitu kaum Tsamud pada ayat ke-11. “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas,” begitu Allah sampaikan.

Istilah ‘melampaui batas’ itu sesungguhnya menarik. Karena sikap dan watak yang melampaui batas, akan berujung mendustakan petunjuk. Jadi sikap berlebihan dan tidak proporsional, itu lama-kelamaan akan membuat diri kita tak mau ikut arahan. Apalagi sampai merasa diri lebih dari segala-galanya. Makna thagwa sebagai ‘melampaui batas’ ini dihadirkan oleh Mujahid dan Qatadah.

Memang ada makna lain yang dihadirkan oleh Muhammad bin Ka’ab, yang memaknai thagwa sebagai semua (artinya semua kaum Tsamud). Namun mayoritas memahami dengan makna ‘melampaui batas’.

Di tengah-tengah kaum Tsamud itu terdapat seorang yang paling perkasa, dimuliakan dengan nasab terhormat, juga pemimpin yang ditaati. Namun pada ayat ke-12 disebut sebagai orang yang paling celaka. Karena orang ini dengan segala kelebihan di antara kaumnya, hendak menyembelih unta betina yang dikirim Allah sebagai mukjizat Nabi Shaleh alaihissalam. Jadi, tidak hanya mengabaikan arahan, namun juga hendak menghilangkan bukti-bukti kebenaran yang dibawa oleh Nabi Shaleh.

Padahal tegas Sang Nabi mengatakan, “(Biarkanlah) unta betina Allah ini beserta minumannya.” Maksudnya, jangan ganggu unta itu. Bahkan ada saatnya giliran unta itu meminum dari sumber air, jangan dihalangi. Namun orang yang paling celaka itu, yang disebut dalam riwayat namanya Qaddar bin Salif atau yang dijuluki Uhaimir Tsamud, bukan hanya mengganggunya bahkan hendak membunuhnya.

Itulah yang dinyatakan pada ayat ke-14, mereka mendustakan arahan itu sehingga dihancurkan semuanya. Menurut Qatadah, mereka dihancurkan semuanya karena saling bersekutu untuk membunuh unta tersebut. “Telah sampai berita yang menyebutkan bahwa Uhaimir Tsamud masih belum menyembelih unta betina itu hingga ia diikuti oleh semua kaumnya yang kecil, yang dewasa, yang laki-laki dan yang perempuan, semuanya ikut andil. Ketika mereka bersekutu menyembelih unta betina itu, maka Allah membinasakan mereka semuanya.”

Nah, penutupnya lebih menarik lagi. Dikatakan pada ayat ke-15, “Dia tidak takut terhadap akibatnya.” Kata Ibnu Abbas, “Allah tidak takut terhadap siapa pun tentang apa yang telah dilakukan-Nya, tiada seorang pun yang akan meminta pertanggungjawaban terhadap-Nya.” Jadi, setelah Allah membinasakan semuanya, Allah pun menegaskan bahwa tiada ketakutan dalam menetapkan itu. Sebab Allah azza wa jalla Maha Kuasa atas segala-galanya. Penegasan inilah yang harus selalu ada dalam kesadaran kita semua. Sehingga kita tidak melampaui batas, dan bisa memilih jalan ketakwaan dengan terus membersihkan kefitrahan jiwa kita.

Tidak ada komentar: