Sabtu, 23 Juli 2022

Materi Surat Al Fajr

 

 

- I -

Ada riwayat menarik terkait surat al Fajr ini. Suatu ketika sahabat Mu’adz menjadi imam dan bergabung seorang makmum dengannya, namun kemudian makmum itu memisahkan diri dan shalat di pojok masjid. Setelah shalat, Mu’adz yang dilapori hal itu berucap, “Dia seorang munafik.” Namun kemudian peristiwa itu sampai kepada Rasulullah. Lelaki yang memisahkan diri dari shalat berjamaah itupun ditanyai alasannya. “Wahai Rasulullah, pada mulanya aku datang dan shalat bersamanya, tetapi dia bacaannya sangat panjang, akhirnya aku salam dan shalat sendirian di sudut masjid itu. Setelah selesai, aku memberi makan untaku,” ungkapnya. Rasulullah kemudian menegur Mu’adz, “Apakah engkau suka menimbulkan fitnah, wahai Mu'adz? Kenapa engkau tidak membaca Sabbihisma Rabbikal A'la (surat al A’la), Wasy Syamsi Wa Dhuha-ha (surat Asy Syams), Wal Fajri (surat al Fajr), dan Wal Laili Idza Yagsya (surat al Lail)?”

Di situ Rasulullah menyebutkan surat al Fajr sebagai alternatif bacaan yang lebih pendek. Menariknya, 4 surat itupun sebenarnya mencapai 1 halaman al Qur’an. Artinya, bacaan Mu’adz ketika itu lebih panjang lagi. Dan dalam konteks sekarang, kalaupun kita baca al Fajr, mungkin masih dianggap sebagai bacaan yang panjang pula oleh makmum.

Baiklah, kita beralih dari riwayat itu. Kini kita masuk pada ayat-ayat awal dari surat al Fajr. Ada beberapa pilihan kata di awal surat al Fajr yang menarik untuk kita seksamai. Pertama adalah istilah Fajr. Secara umum dimaknai sebagai waktu shubuh, karenanya menurut Ikrimah shalat Shubuh disebut pula shalat Fajar. Namun Ibnu Abbas menambahkan pemaknaannya bisa seluruh waktu siang, artinya di sini Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan seluruh waktu siang hari, lalu di ayat keduanya bersumpah dengan seluruh waktu malam hari. Selain itu, ada pendapat pula dari Masruq dan Muhammad bin Ka’ab yang mengatakan bahwa yang dimaksud Fajr pada ayat pertama ini adalah Fajar Hari Raya Idul Adha, karena ayat kedua punya makna 10 malam atau 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Kedua adalah istilah Sepuluh Malam pada ayat kedua. Secara umum dimaknai sebagai 10 malam pertama Dzulhijjah. Meskipun Ibnu Abbas punya riwayat lain yang menyebutkan 10 malam pertama Ramadhan. Bahkan Ibnu Jarir sempat menyebutkan pendapat yang memaknainya sebagai 10 hari pertama Muharram, namun tidak disebutkan sosok yang berpendapat demikian.

Ketiga dan Keempat adalah istilah Syaf’i dan Watri pada ayat ketiga. Dua istilah ini memunculkan 7 pemaknaan. Ibnu Abbas, Ikrimah dan Ad Dhahak memaknai Syaf’i itu Idul Adha dan Watri itu Hari Arafah, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Sesungguhnya malam yang sepuluh itu adalah malam yang sepuluh bulan Dzul Hijjah, dan al-watr (ganjil) adalah hari 'Arafah, sedangkan asy-syaf'u (genap) adalah Hari Raya Kurban.” Tapi ada pula yang memaknai sebaliknya, Syaf’i itu Hari Arafah dan Watri itu Idul Adha, pendapat ini berdasarkan riwayat Wasil bin Sa’ib dari Ata’ yang sesungguhnya ia termasuk periwayat yang ditinggalkan.

Lalu ada pendapat dari Abdullah bin Zubair saat berkhutbah dan ditanya tentang makna syaf’u dan watru. Jawabnya, “Bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf'u ialah apa yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya (Al-Baqarah: 203). Dan yang dimaksud dengan al-watru ialah apa yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya (Al-Baqarah: 203).” Sehingga artinya adalah Syaf’u sebagai hari kedua di Mina dan Watru sebagai hari ketiga di Mina, saat Jamaah Haji mabit di Mina. Jadi boleh meninggalkan Mina di hari kedua (Nafar Awwal) atau meninggalkan Mina di hari ketiga (Nafar Tsani).

Selain makna-makna tadi, ada pula makna yang muncul sebagai simbol makhluk dan Khaliq. Bahwa makhluk itu genap (Syaf’u), dan Khaliq itu Esa (Watru). Atau makna lainnya, makhluk itu punya pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat Adz Dzariyat ayat 49 “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”, sedangkan Allah tiada duanya. Ada juga yang memaknainya sebagai bilangan genap dan ganjil, atau memaknainya pula sebagai shalat dengan rakaat genap dan shalat dengan rakaat ganjil.

Kelima adalah istilah al Lail idza yasri pada ayat keempat. Ibnu Abbas memaknainya malam yang telah berlalu. Namun ada pula yang berpendapat malam yang telah tiba, sebagai penyeimbang makna al Fajr yaitu tibanya waktu siang. Maka al lail idza yasri adalah tibanya waktu malam. Sementara Ikrimah memaknainya sebagai malam Juma’ atau malam Muzdalifah, yaitu malam hari setelah wukuf di Arafah.

Keenam adalah istilah hijr pada ayat kelima. Hijr secara asal kata artinya pencegah. Sebagaimana istilah Hijr Ismail yang mencegah jamaah thawaf menempel ke tembok Ka’bah. Sementara Hijr di ayat tersebut dimaknai sebagai akal. Hal itu karena akal sesungguhnya punya fungsi untuk mencegah pemiliknya dari melakukan hal-hal tak layak.

Begitulah surat ini dimulai dengan istilah-istilah terkait waktu-waktu ibadah, bahkan ibadah itu sendiri, sebagai penekanan terhadap peluang-peluang taqarrub kepada Allah. Hal ini ditekankan di awal surat, sebelum masuk ke pembahasan tentang tabiat jiwa manusia sebagaimana contoh yang dapat kita saksikan dari umat-umat terdahulu.

 

- II -

Ada tiga kisah umat terdahulu yang disajikan dalam surat ini:

Pertama, bila kita masuk ke ayat keenam, اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍۖ (Tidakkah engkau -Muhammad memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap –kaum- ‘Ad?), kita diminta untuk mempersaksikan kaum ‘Ad pertama. Mereka adalah kaumnya Nabi Hud alaihissalam, yang dalam riwayat diazab dengan angin sangat dingin dan kencang selama 8 hari 7 malam. Sehingga mereka akhirnya mati di tempat masing-masing seperti batang pohon kurma yang lapuk. Kisah kaum ‘Ad sendiri ada di beberapa ayat al Qur’an, terutama dalam surat al A’raaf, hal itu agar selalu dapat kita ingat. Sebagaimana iklan yang ditampilkan di banyak tempat agar disadari dan selalu teringat oleh yang menyaksikannya.

Dalam rangkaian ayat ini, Allah subhanahu wata’ala kemudian menambahkan keterangan tentang kaum ‘Ad dengan firman-Nya di ayat ketujuh, اِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِۖ (-yaitu- penduduk Iram -ibukota kaum ‘Ad- yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.) Bangunan yang tinggi ini dengan ‘Imad (tiang), dalam riwayat disebutkan seperti kemah dengan tiang tinggi. Namun Ibnu Abbas memaknainya sebagai postur tinggi kaum ‘Ad, karena memang bertubuh besar. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al A’raaf ayat 69, وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً (dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh / perawakanmu). Sehingga di ayat kedelapan dinyatakan, الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِى الْبِلَادِۖ (yang belum pernah diciptakan seperti itu di negeri-negeri lain). Ada dua pendapat dalam hal ini, yaitu perbedaan pendapat yang mengatakan maksudnya adalah kaumnya dan pendapat yang mengatakan maksudnya adalah bangunannya. Ibnu Katsir mengatakan, “Kalau yang dimaksud adalah bangunannya, maka kalimatnya bukan lam yukhlaq (belum pernah diciptakan), tetapi lam yu’mal (belum pernah dibuat). Wallahu a’lam.

Kedua, bila kita masuk ke ayat kesembilan, وَثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِۖ (dan –terhadap- kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah), kita diminta mempersaksikan kaumnya Nabi Shalih. Ada istilah Jaabuu yang punya makna melubangi. Secara bahasa, serupa dengan makna Jaib yang artinya kantong atau saku, yang memiliki lubang. Memang kaum ini punya keahlian membuat rumah di bebatuan, sebagaimana penjelasan dalam surat Asy Syu’ara’ ayat 149, “Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.”

Ketiga, bila kita masuk ke ayat kesepuluh, وَفِرْعَوْنَ ذِى الْاَوْتَادِۖ (Dan –terhadap- Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak -bangunan yang besar-.), kita diminta mempersaksikan Fir’aun yang hidup di zaman Nabi Musa alaihissalam. Ada istilah Al Autad di situ, selain bermakna pasak-pasak bangunan besar, juga dimaknai oleh Ibnu Abbas sebagai tentara yang menguatkan kedudukannya. Bila maknanya sebagai pasak, maka Mujahid menggambarkan itu sebagai pasak-pasak untuk memasung tangan dan kaki orang yang ia hukum. Sementara Abu Rafi’ memberikan makna Autad sebagai pasak yang menghukum istrinya karena telah beriman kepada Nabi Musa alaihissalam.

Setelah tiga cuplikan kaum-kaum terdahulu itu, Allah pun menegaskan pada ayat 11 - 14, الَّذِيْنَ طَغَوْا فِى الْبِلَادِۖ (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri), فَاَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَۖ (lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu), فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍۖ (karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka), اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِۗ (sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jadi kaum-kaum tersebut, mulanya berbuat sewenang-wenang, lalu membuat kerusakan, sehingga diazablah mereka. Di sini kita diyakinkan bahwa mereka yang sewenang-wenang dan berbuat kerusakan pasti akan berujung pada azab Allah. Inilah yang harus kita yakini dengan sebenar-benar keimanan.

 

- III -

Kita sudah diingatkan untuk taqarrub kepada Allah, lalu diingatkan tentang diazabnya umat-umat sebelumnya, kini kita masuk pada firman-Nya yang semakin menarik. Perhatikan ayat ke-15 dan ke-16!

فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِۗ

Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”

وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ

Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.”

Dua ayat tersebut menghenyakkan kita, bahwa seringkali kita mengukur pemuliaan dan ujian dari hitungan materi atau rezeki Allah kepada kita. Padahal sama sekali bukan begitu mestinya cara berpikir kita. Makanya di ayat ke-17 dinyatakan, كَلَّا (Sekali-kali tidak.)

Bahwa Allah berikan rezeki kepada yang disukai-Nya maupun yang tidak disukai-Nya. Jadi tidak menjamin bahwa kalau kita diberi rezeki maka artinya kita disukai Allah, atau sebaliknya bila kita tidak diberi rezeki maka artinya kita tidak disukai Allah. Rezeki ini bisa dalam konteks apapun, baik meteri uang maupun moril dukungan.

Lalu, apa yang mestinya kita perbuat? Terlepas dari kelapangan ataupun kesempitan itu, yang terpenting bagi kita adalah dalam kondisi apapun kita tetap taat kepada Allah. Jadi bukan perkara apakah uang / dukungan itu anugerah atau bukan, tetapi perkaranya adalah apakah setelah datang uang / dukungan itu kita taat kepada-Nya atau tidak. Begitulah cara pandang kita sebagai seorang beriman, bahwa hidup ini selamanya adalah ujian. Yang terpenting kita tidak lupa diri bila diberi kelapangan, dan tidak putus asa bila diberi kesempitan. Semuanya tetap kondisi yang disediakan Allah, untuk selalu kita sikapi dengan sepenuh ketaatan kepada-Nya.

Dan di antara ketaatan itu adalah memuliakan anak-anak yatim, memberi makan orang miskin, dan memakan harta dengan cara yang baik serta tidak berlebihan. Itulah yang disindir dalam firman-Nya di ayat 17 – 20.

بَلْ لَّا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَۙ

Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.

وَلَا تَحٰۤضُّوْنَ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۙ

Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.

وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ اَكْلًا لَّمًّاۙ

Sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram).

وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ

Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.

Maka, marilah peduli kepada Yatim, peduli kepada orang-orang miskin, serta peduli kepada diri sendiri agar tak terlalu cinta pada harta warisan maupun harta-harta lainnya hingga muncul keserakahan. Sebab keserakahan akan membuat kita berlaku sewenang-wenang dan merusak, sehingga akan berujung pada azab-Nya.

 

- IV -

Akhirnya, semua rangkaian ayat dalam surat al Fajr ini menjelaskan kepada kita tentang tabiat manusia. Semakin jelas lagi dengan penggambaran pada 10 ayat terakhirnya tentang kondisi manusia di hari kiamat kelak.

كَلَّآ اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّاۙ

Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan).

وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّاۚ

Dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris.

وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ

Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu.

Jadi, tabiat manusia itu memang suka melupakan pelajaran yang telah lalu dan melupakan nikmat-Nya. Manusia baru tersadar ketika di akhirat nanti, saat neraka dan azab-Nya diperlihatkan kepada mereka.

Lalu di ayat ke-24 disitir pernyataan mereka, يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ (Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan –kebajikan- untuk hidupku ini.”) Tapi sudah lewat, dan nyatalah ayat ke-25 dan ke-26: فَيَوْمَىِٕذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهٗٓ اَحَدٌ (Maka pada hari itu tidak ada seorang pun yang mengazab seperti azab-Nya -yang adil-), وَّلَا يُوْثِقُ وَثَاقَهٗٓ اَحَدٌ (dan tidak ada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.)

Tentu dengan mengetahui tabiat manusia seperti itu, kita selaku hamba yang beriman berusaha agar terlepas dari tabiat itu. Agar kelak berlaku kepada kita ketentuan yang lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat ke-27 sampai ke-30.

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ

Wahai jiwa yang tenang!

ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.

فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ

Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.

وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

Dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Untuk itu, marilah terus mengingat Allah dalam kondisi suka maupun duka. Tetaplah ridha dengan segala ketetapan-Nya. Agar kelak kita pun kembali kepada-Nya dengan sepenuh keridhaan, karena Allah pun ridha kepada kita.


Tidak ada komentar: