Minggu, 17 Juli 2022

Materi Surat Al Ghasyiyah



- I -

Al Ghasyiyah ini dalam tafsir Ibnu Katsir disebut sebagai salah satu dari nama hari Kiamat. Hal itu karena, menurut Ibnu Abbas, Qatadah dan Ibnu Zaid, hari kiamat itu menutupi semua manusia. Hingga manusia seluruhnya meninggal tak tersisa satupun. Namun secara umum, surat ini akan membawa kita pada ingatan tentang adanya neraka dan surga, serta dorongan untuk mengingat kekuasaan Allah.

Ada satu episode dalam hidup Rasulullah yang mungkin bisa kita ingat terkait ayat pertama surat al Ghasyiyah. Yaitu saat Rasulullah melewati seorang perempuan yang sedang membaca ayat pertama surat al Ghasyiyah. Saat itu beliau segera menyahuti bacaan: “هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِۗ” / “Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari Kiamat)?”

“Benar, telah datang kepadaku (beritanya).” Begitu sambut Rasulullah, cepat. Episode sederhana ini, meskipun hanya sebatas lewatnya Rasulullah di depan perempuan yang sedang membaca ayat pertama surat al Ghasyiyah, dan Rasulullah dengan singkat meresponnya bahwa memang sudah sampai kabar tentang Hari Kiamat itu, namun menjadi pengingat penting bagi kita. Bahwa Hari Kiamat itu benar adanya, bahkan sudah tersampaikan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebagai Rasul terakhir. Firman Allah subhanahu wata’ala dan penegasan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam itu mestinya menjadi penguat keimanan kita terhadap Hari Kiamat.


- II -

Kita akan menemukan diksi menarik yang digunakan Allah subhanahu wata’ala dalam surat ini. Yaitu ketika Allah subhanahu wata’ala menyebutkan istilah wajah dalam ayat kedua dan kedelapan.

Pada ayat kedua, firman-Nya: وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ خَاشِعَةٌ (Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina)

Pada ayat kedelapan, firman-Nya: وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاعِمَةٌ (Pada hari itu banyak pula wajah yang berseri-seri)

Istilah wajah ini kemudian dimaknai dalam tafsir bisa sebagai indikator kondisi jiwa seseorang. Bahwa seorang yang sedih maupun senang dapat dilihat dari raut wajahnya. Hal ini mestinya, karena al Qur’an adalah pedoman kehidupan kita, juga dapat menjadi panduan pendekatan psikologi ala Qur’an, bahwa secara fitrah kondisi jiwa dapat dikenali dari wajahnya.

Pada ayat kedua juga terdapat kata khasyi’ah atau khusyu’. Qatadah memaknainya sebagai kondisi merasa terhina. Sehingga terdiam, tertunduk lesu. Seperti kita mendapati diri kita saat tersalah, atau orang-orang sekitar kita yang tersalah dalam kehidupan dunia ini. Mereka tak bisa berkata apa-apa, hanya terdiam lesu dan tertunduk malu. Begitulah kondisinya. Hal itu terjadi menurut Ibnu Abbas, karena amal perbuatannya tidak bermanfaat bagi dirinya. Penjelasannya bisa kita dapati pada ayat berikutnya.

 

- III -

Sekarang kita masuk lebih dalam tentang kondisi neraka dan para penghuninya. Simaklah baik-baik ayat ketiga hingga kelima dari surat al Ghasyiyah. عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ (bekerja keras lagi kepayahan). تَصْلٰى نَارًا حَامِيَةً (mereka memasuki api yang sangat panas). تُسْقٰى مِنْ عَيْنٍ اٰنِيَةٍ (diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas).

Jadi mereka yang tertunduk lesu itu, sesungguhnya di dunia telah bekerja keras. Bahkan disebutkan sampai kepayahan. Namun di hari kiamat dimasukkan ke neraka. Ada satu episode sahabat Rasulullah yang bisa memberikan penjelasan tentang ayat ini. Yaitu penggalan hidup Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat melewati sebuah gereja dan terdapat rahib di dalamnya. “Hai Rahib!” seru Umar bin Khaththab. Saat Rahib itu muncul, Umar memandang dengan seksama dan menangis.

Rahib itu pun heran bertanya, “Mengapa engkau menangis, wahai Amirul Mu’minin?” Kata Umar, ia menangis karena teringat firman Allah dalam surat al Ghasyiyah ayat 3 – 4: “Bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas.”

Oleh karenanya, Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa orang-orang yang bekerja keras hingga kepayahan lalu masuk ke neraka ini adalah orang-orang Nasrani. Mereka beribadah, bahkan para Rahib hingga meninggalkan urusan dunianya, namun akhirnya masuk ke neraka. Sikap Umar yang menangis itu karena sedih dan kasihan. Begitulah kitapun memandang kasihan orang-orang di sekitar kita yang demikian.

Namun, Ikrimah dan As Saddi punya pendapat lain, bahwa orang-orang yang bekerja keras hingga kepayahan lalu masuk ke neraka itu disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat. Baik kerja keras mereka yang merupakan kemaksiatan, maupun kerja keras mereka yang tersapu dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Tentu ini menjadi kewaspadaan kita semua. Jangan sampai kita telah bekerja keras, namun tak berarti di akhirat.

Sungguh kengerian neraka ini menjadi pengingat kita agar berhati-hati dalam kehidupan dunia. Kengerian diberi minum dari mata air yang sangat panas, hingga diberi makan dari pohon berduri sebagaimana disebutkan dalam ayat keenam. لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ اِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍۙ (Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri).

Ada beberapa pemaknaan pohon berduri tersebut. Ibnu Abbas memaknainya sebagai pohon dari api. Sa’id bin Jubair memaknainya sebagai nama lain Zaqqum atau buah batu yang ada di neraka. Namun juga ada yang memaknainya semacam pohon yang banyak durinya, yang tidak tinggi dan menempel di tanah, serta beracun. Masyarakat Arab memiliki dua nama untuk pohon semacam itu, saat musim semi disebut Syabraq dan saat musim panas disebut Dhari’ sebagaimana istilah dalam ayat keenam tersebut. Jadi bisa kita bayangkan seperti pohon berduri di musim panas yang tak menyisakan dedaunan hijau, sehingga hanya tampak duri yang kering dalam kondisi panas.

Dan makanan semacam itu tentunya tak akan menggemukkan, bahkan tak akan menghilangkan lapar. Makanya disebut dalam ayat ketujuh, لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍۗ (yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar).

 

- IV -

Sekarang kita masuk ke ayat 8 hingga 16, inilah ayat yang akan mengantarkan kita pada ingatan tentang Surga. Ingatan inilah yang nantinya akan membuat kita merindukan surga. Pada ayat kedelapan dan kesembilan, Allah berfirman: وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاعِمَةٌ (Pada hari itu banyak pula wajah yang berseri-seri), لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ (merasa senang karena usahanya). Ya, mereka yang masuk surga itu wajahnya berseri-seri, karena puas dengan usahanya di dunia yang kini berbuah surga.

Lalu Allah sampaikan gambaran surga itu. Pertama disebut surga yang tinggi, فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍۙ (dalam surga yang tinggi). Sifat tinggi ini menurut ulama tafsir memang punya makna kemewahan, kesentosaan dan kesejahteraan. Makanya, simbol-simbol kemewahan dalam kehidupan dunia pun ada pada ketinggian. Bisa kita saksikan pada gedung-gedung, puncak-puncak gunung, dan lain sebagainya.

Kedua disebutkan لَّا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةً (di sana kamu tidak mendengar perkataan yang tidak berguna). Ini seperti firman Allah dalam surat al Waqi’ah ayat 25 – 26. “Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam.” Begitulah, dalam al Qur’an akan kita dapati keterkaitan satu ayat dengan ayat lainnya. Tentu itu untuk menguatkan, sekaligus untuk menambah maknanya.

Ketiga disebutkan فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ (di sana ada mata air yang mengalir). Menariknya, tak disebutkan nama mata airnya, hanya disebutkan jenis mata airnya mengalir. Artinya bisa banyak mata air seperti ini di surga nanti, yang mengalirnya bebas ke mana saja. Seperti yang pernah disebutkan oleh Rasulullah dalam riwayat Abu Hurairah: “Sungai-sungai di surga bersumber dari bawah jurang, atau dari bawah gunung-gunung kesturi.”

Keempat disebutkan فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ (di sana ada dipan-dipan yang ditinggikan). Ulama tafsir menggambarkan dipan-dipan ini bukan hanya tinggi, namun juga empuk dan terdapat di atasnya bidadari-bidadari. Istilah ‘ditinggikan’ ini juga dimaknai, posisinya meninggi namun bila kekasih Allah akan mendudukinya maka ia akan merendah sehingga penghuni surga bisa naik ke atasnya.

Kelima disebutkan وَّاَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ (dan gelas-gelas disediakan dekatnya). Sehingga kapanpun dan di manapun perlu gelas untuk minum, telah ada di dekatnya. Lalu keenam disebutkan وَّنَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ (dan bantal-bantal sandaran yang tersusun). Dan terakhir ketujuh disebutkan وَّزَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ (dan permadani-permadani yang terhampar). Ulama tafsir memaknai terhamparnya permadani ini dengan digelarnya permadani di mana-mana, sehingga mau duduk di manapun tersedia permadani.

Begitulah kita disajikan gambaran surga. Sesuatu yang mesti kita ingat-ingat, dan teruslah berniat dengan azzam yang kuat, “InsyaAllah kita berusaha keras untuk memasukinya.”

 

- V -

Kini tiba saatnya kita diminta untuk juga merenungi penciptaan Allah. اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ (Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?), begitu firman di ayat ketujuhbelas. Disebutkan unta karena memang kebanyakan orang Arab saat itu memakai unta sebagai hewan kendaraan. Dan memang, unta ini unik. Ia binatang yang kuat dan keras, tapi juga jinak untuk mengangkut barang-barang berat dan akan tunduk bila dituntun meski oleh orang lemah. Unta pun bisa dimanfaatkan semuanya, baik dagingnya yang dimakan, bulunya yang difungsikan, hingga air susunya yang diminum. Maka marilah kita mulai merenung-renungi binatang-binatang di sekitar kita.

Selain itu, Allah meminta kita merenungi juga langit. وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ (dan langit, bagaimana ditinggikan?), begitu firman Allah. Lebih jelas lagi bila kita melihat surat Qaaf ayat 6, “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?” Bagaimana ditinggikan, lalu bagaimana bisa tidak retak-retak? Teruslah kita renungi itu.

Hal lain yang perlu kita renungi juga adalah gunung. Firman Allah di ayat ke-19, وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْۗ (dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?) Ulama tafsir menjelaskan bahwa gunung-gunung itu ditegakkan sebagai penyeimbang bumi agar tidak bergoncang. Maka seksamailah ilmu tentang itu! Bahkan pada gunung itupun terkandung banyak mineral yang bermanfaat.

Hingga akhirnya kita diminta merenungi bumi tempat kita hidup. وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ (dan bumi bagaimana dihamparkan?), begitu ayat ke-20. Agar kita paham, bahwa bumi ini dihamparkan agar menjadi tempat yang layak untuk dihuni. Dan semua itu menjadi kenikmatan bagi kita yang harus disyukuri dengan ibadah kepada-Nya semata.

Akhirnya, setelah kita merenung-renungkan itu semua dan kuatlah keimanan kita, maka kita diminta untuk memberi peringatan bagi yang masih lalai. فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ (Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau Muhammad hanyalah pemberi peringatan). لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ (Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka). Dua rangkaian ayat ini perlu dipahami dengan baik, bahwa tugas kita hanya memberi peringatan, terlepas mereka mau diperingati atau tidak. Ini seperti yang dijelaskan pula dalam surat Ar Ra’d ayat 40, “Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” Pemahaman ini penting, agar kita tak pernah lesu dalam memberikan peringatan, hanya karena orang-orang sekitar kita tak mau diperingati.

Dan memang dipertegas oleh Allah pada ayat selanjutnya, اِلَّا مَنْ تَوَلّٰى وَكَفَرَۙ (kecuali jika ada orang yang berpaling dan kafir), فَيُعَذِّبُهُ اللّٰهُ الْعَذَابَ الْاَكْبَرَۗ (maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar). Jadi ya sudah, bila mereka tetap berpaling dan kafir, maka akan dapat azab besar dari Allah. Berpaling dari mengamalkan perintah, dan kafir terhadap kebenaran Rasulullah dan al Qur’an. Seperti dijelaskan dalam surat al Qiyamah ayat 31 – 32: “Dia tidak mau membenarkan (Rasul dan al Qur’an), dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran).”

Demikianlah, dua ayat penutup menegaskan itu. اِنَّ اِلَيْنَآ اِيَابَهُمْ (Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali). ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ (kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah membuat perhitungan atas mereka).

Tidak ada komentar: