Kamis, 20 Agustus 2020

Muharram, Mulai dengan Lebih Baik

 

Kita saat ini di momentum pergantian tahun hijriyah. Inilah tahun yang bulan terakhirnya adalah Dzulhijjah dan bulan pertamanya adalah Muharram. Kedua bulan ini merupakan bulan yang dimuliakan, selain Dzulqa’dah dan Rajab. Dzulqo’dah adalah bulan sebelum Dzulhijjah atau setelah Syawal, dan Rajab merupakan bulan ketujuh sebelum Sya’ban atau dua bulan sebelum Ramadhan. Itulah empat bulan yang dimuliakan dengan cara menjaga kemuliaan kemanusiaan kita. Sehingga dilaranglah memulai peperangan di bulan-bulan ini, dianjurkan meninggalkan perkara-perkara nista dan hendaknya secara optimal memuliakan diri kita masing-masing dengan amalan dan sikap yang mulia.

Tahun Hijriyah adalah penanggalan yang dinisiasi di zaman Khalifah Umar bin Khaththab. Sebagai penguat identitas masyarakat muslim yang semakin luas jangkauannya. Meskipun pada masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar belum ada penanggalan hijriyah, namun permulaan penanggalan ini dihitung dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Tentu ini membedakan dengan tahun Masehi atau Miladiyah dalam istilah Arab, yang mengacu kelahiran Nabi Isa alaihissalam yang oleh masyarakat Nasrani hari ini dianggap sebagai Tuhan.

Jadi permulaan tahun Hijriyah dihitung sejak peristiwa Hijrah, namun sesungguhnya peristiwa Hijrah itu sendiri tidak terjadi pada bulan pertama tahun Hijriyah, melainkan terjadi pada akhir bulan Safar atau bulan kedua. Lalu, kenapa bulan Muharram ditetapkan sebagai bulan pertama? Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan kala itu berpendapat bahwa bulan Muharram yang dikenal di kalangan Arab itu merupakan bulan setelah Dzulhijjah atau bulan Haji, dengan demikian inilah bulan saat jamaah Haji telah kembali ke keluarganya dan kembali menjalani kehidupan berikutnya. Dengan demikian, pada bulan Muharram ini secara simbolis merupakan permulaan dari putaran kehidupan tahunan. Maka ditetapkanlah sebagai bulan pertama. Dan memang, rencana hijrah Nabi Muhammad sebenarnya telah disusun pada bulan Muharram, meskipun pelaksanaannya pada bulan Safar.

Begitulah penanggalan Hijriyah ini ditetapkan pada zaman Umar bin Khaththab, dengan penghitungan awalnya mengacu pada peristiwa Hijrah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, dan dimulai dengan bulan Muharram lalu diikuti 11 bulan lainnya sehingga berjumlah 12 bulan sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat at Taubah ayat 36.

إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ القَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ [التوبة:36]

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”

Keduabelas bulan itu adalah Muharram, Safar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah. Yang mana kita baru saja melalui bulan Dzulhijjah dan kini berada di bulan Muharram. Maka bergantilah tahun dari tahun 1441 H ke tahun 1442 H.

 

Kemuliaan Muharram

Sebagai bulan yang dimuliakan sekaligus bulan pertama, maka Muharram memiliki kemuliaan tersendiri daripada bulan-bulan lainnya. Hikmahnya agar kita selalui mengawali tahun dengan sesuatu yang mulia. Dan karena itulah saya tuliskan dalam judul, Mulai dengan Lebih Baik. Bila memulainya sudah lebih baik, insyaAllah meskipun ada pasang-surutnya keimanan kita tetap akan pada standar yang baik.

Maka, mari kita cermati bersama tentang kemuliaan bulan Muharram dari beberapa riwayat sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu Dzar dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. “Aku telah bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam, malam apa yang baik dan bulan apa yang paling utama?”, begitu cerita Abu Dzar. Maka Rasulullah pun menjawab, “Sebaik-baiknya malam adalah pertengahannya, dan seutamanya bulan adalah bulan Allah yang kalian menyebutnya Muharram.” Begitulah Rasulullah menggambarkan bulan Muharram dengan istilah bulan Allah, maka dapat terbayang oleh kita kemuliaannya sebagaimana mulianya Asma Allah yang dinisbatkan pada bulan tersebut. Sebagaimana keutamaan ruang bernama Baitullah (Rumah Allah) yang kita gunakan hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka keutamaan waktu yang bernama bulan Allah hendaknya juga hanya kita gunakan atau kita isi untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Lalu dalam riwayat Muslim terdapat sebuah sabda Rasulullah: “Seutamanya puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram.” Lihat! Kembali Rasulullah menyifati bulan ini dengan bulan Allah. Dan menjadikan bulan ini memiliki keutamaan setelah Ramadhan dalam hal puasa. Bila pada bulan Ramadhan puasa merupakan ibadah wajib, maka pada bulan ini puasa sangat ditekankan dan utamanya pada tanggal 10 sebagaimana yang kita kenal sebagai Puasa Asyura, yaitu puasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Bahkan ada sebuah sabda Rasulullah yang menyatakan, “Puasa hari Asyura, sesungguhnya aku berharap kepada Allah agar menghapuskan kesalahan setahun sebelumnya.”

 

Keutamaan Asyura

Nah, karena itu sekarang kita telisik keutamaan Hari Asyura tersebut. Bahwa ada sebuah riwayat hadits dari ibunda Aisyah radhiyallahu anha, bahwa dahulu Asyura adalah hari di mana orang-orang Quraisy berpuasa di masa jahiliyah dan Nabi pun berpuasa. Maka ketika sampai Madinah, Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa. Dan saat turun kewajiban Ramadhan dengan puasa, maka ditinggalkanlah puasa Asyura. Maka siapa yang hendak berpuasa (Asyura) dipersilakan, dan yang hendak berbuka juga dipersilakan.

Ada juga riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang Rasulullah saat di Madinah. Setelah Nabi sampai di Madinah, dilihatlah bahwa Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka Nabi berkata, “Apa ini?” Mereka pun menjawab, “Inilah hari baik, bahwa hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa berpuasa untuk bersyukur kepada Allah.” Rasulullah pun bersabda, “Maka aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah pun berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk penunaiannya.

Namun pada saat penunaian puasa Asyura ini pada tahun ke-12 di Madinah, para sahabat menyampaikan kepada Rasulullah, bahwa hari Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan Nashrani. Maksudnya, apakah kita akan sama dengan mereka? Maka Rasulullah bersabda, “Maka bila sampai tahun depan insyaAllah, kita akan berpuasa pada tanggal kesembilan.” Tetapi belum sampai setahun kemudian, Rasulullah telah wafat. Meski demikian, harapan Rasulullah ini dinilai sebagai sebuah sunnah yang oleh ulama dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 juga sebagai pembeda dengan orang Yahudi dan Nashrani.

Oleh karena itulah, kita niatkan pada tanggal 10 Muharram ini untuk berpuasa Asyura sebagai sunnah yang sangat dianjurkan. Dan bila memungkinkan kita tambah dengan puasa tanggal 9 Muharram yang disebut puasa Tasu’a, begitupun menurut ulama akan lebih baik lagi ditambah puasa pada tanggal 11. Intinya kita perbanyak amalan di bulan Muharram yang mulia ini, agar kita dapat mengawali tahun 1442 H dengan lebih baik.

 

Tentang Hijrah

Marilah sekarang kita menelisik peristiwa Hijrah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, sebagai titik tolak perhitungan tahun Hijriyah. Peristiwa yang didampingi oleh Abu Bakar dengan segala persiapannya. Seperti meminta Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan, lalu kedua anak Abu Bakar yaitu Abdullah dan Asma ditugasi masing-masingnya untuk memantau kondisi makkah dan mengantar makanan ke Gua Tsur, serta Amir bin Fuhairah selaku penggembala kambing diminta untuk menggembalakan di bekas lintasan agar menghilangkan jejak.

Peristiwa ini sungguh penuh heroisme dan pertolongan Allah. Dimulai dari meminta Ali bin Abi Thalib selaku sepupu Nabi untuk menggantikan tidur di kasur Nabi. Tujuannya sebenarnya bukan sekadar untuk mengelabui para Musyrikin Quraisy yang bersiap mengepung rumah Rasulullah malam itu untuk membunuhnya. Namun lebih untuk mewakili Rasulullah dalam mengembalikan barang-barang berharga masyarakat Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah. Tapi memang, malam itu pula Rasulullah keluar dan melalui sekumpulan orang yang mengepung rumahnya dengan melemparkan pasir ke arah mereka, sehingga dengan pertolongan Allah menutup penglihatan mereka. Sontak pada pagi harinya, Musyrikin Quraisy terkejut dengan fakta tiadanya Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Sehingga dibuatlah sayembara pencariannya dengan hadiah 100 unta. Dan dimulailah kisah hijrah yang menakjubkan ini.

Bahwa hijrah ini dari kota Makkah ke kota Madinah, karena ketidak-kondusifan dakwah di Makkah dan sambutan masyarakat Madinah yang kala itu bernama Yatsrib. Kota Makkah ada di selatan, dan kota Madinah ada di Utara. Namun ketika akan Hijrah, demi menghindari kejaran Musyrikin Quraisy, Rasulullah yang ditemani oleh Abu Bakar tidak langsung berjalan menuju ke utara, melainkan ke arah selatan dahulu dan transit di Gua Tsur. Saat itu hari Kamis tanggal 27 Safar atau 9 September 622. Keduanya kemudian bermalam tiga hari di Gua Tsur.

Pada hari Senin tanggal 2 Rabi’ul Awwal atau 13 September 622, keduanya melanjutkan perjalanan dengan berbelok ke arah Timur lalu melintasi sisi pemukiman Hudaibiyah hingga menembus lembah antara pemukiman Bathan Marrun dan pemukiman ‘Asfaan menyeberang lintasan utama kafilah Arab hingga masuk ke wilayah Barat di padang tandus dan berbukitan terjal. Lalu perlahan ke arah utara hingga sebelum pemukiman Amlaj berbelok ke kiri, kembali menyeberangi jalan utama. Selanjutnya ke arah utara hingga menembus pemukiman Ummu Ma’bad, dan kembali berbelok ke timur hingga mendekat bibir pantai jauh di luar jalur utama.

Setelah itu secara perlahan naik ke utara, menyisir di luar jalan umum hingga sampai di kota Quba pada Senin depannya yaitu tanggal 9 Rabi’ul Awwal atau 20 September 622. Selama perjalanan hingga sampai ke Quba dilalui Rasulullah dengan jalan-jalan kampung dan lembah. Tentu terbayang terjal dan berlikunya, sehingga menambah jarak tempuh dan tantangannya. Dalam perjalanan ini sebenarnya sempat terkejar oleh Suroqoh yang mengimpikan hadiah dari Quraisy. Namun ketika hendak menikam Rasulullah, kuda tunggangannya selalu terjatuh. Hingga Suroqoh pun terheran-heran dan akhirnya mengakui niat buruknya di hadapan Rasulullah. Mendapatinya, Rasulullah memaafkan dan memberikan jaminan keamanan dengan kembalinya Suroqoh ke Makkah.

Di Quba, Rasulullah tinggal selama dua pekan, untuk mempersiapkan diri masuk ke Madinah. Selama sepekan itulah Rasulullah membangun Masjid Quba sebagai masjid pertama yang hingga kini bisa kita saksikan, dan menunaikan shalat Jum’at pertama yaitu pada 13 Rabi’ul Awwal atau 24 September 622. Pada hari Senin tanggal 23 Rabi’ul Awal atau 4 Oktober 622, Rasulullah meninggalkan Quba dan menuju Madinah yang disambut meriah oleh masyarakatnya yang pada hari-hari sebelumnya setiap pagi lepas Shubuh selalu keluar ke jalan-jalan menanti kedatangan Rasulullah. Bergemuruhlah lantunan Thala’al badru alaina.

 

Selesai... Silakan lanjutkan di Kolom Komentar...

 

Tidak ada komentar: