Wakaf kita itulah yang dituju
Rumah bagi generasi yang diburu
Oleh kezaliman para kaum serakah
Toh itu pula yang jadi amalan jariyah
Perlunya kita
meresapi ulang pemaknaan wakaf, sebanding perlunya kita pada instrumen jaminan sosial. Yaitu jaminan pengaman saat kondisi krisis sosial melibas
umat akibat kapitalisme dan egoisme yang memang setiap saat dapat mengancam
kehidupan sosial kita.
Wakaf
itulah yang potensial menjadi tujuan para korban penggusuran dan korban
konflik. Sehingga tak ada korban penggusuran yang sampai ternistakan harga
dirinya. Sehingga pula tak ada korban konflik yang sampai terhinakan agamanya,
akalnya, jiwanya, keturunannya, serta hartanya.
Maka di
saat-saat marak penggusuran, sesungguhnya kebutuhan kita akan wakaf semakin
meningkat. Begitu pula di saat-saat marak konflik, sesungguhnya kebutuhan kita akan
wakaf pun semakin tinggi. Dalam dua kondisi itulah, wakaf kita semakin
diperlukan daripada saat kondisi-kondisi selainnya. Karena wakaf kita itulah
yang dituju!
Pada saat
seperti itu, seketika wakaf kita akan menjelma rumah-rumah perlindungan bagi generasi
yang diburu. Sebab dalam kondisi penggusuran dan konflik, dunia menjelma bak
hutan rimba. Sekelompok kecil manusia atas nama kapitalisme dan egoisme berlomba memburu satu generasi yang menjadi incaran agenda eksploitasinya.
Siapakah
sekelompok kecil manusia itu? Merekalah para kaum serakah, yang selalu memburu
semua potensi sekitarnya untuk kepemilikan seorang dan kepentingan sendirian. Itulah
kaum yang selalu menorehkan kezaliman.
Dan, saya
sengaja menyandingkan ‘Kezaliman’ dengan ‘Keserakahan’. Bukan tanpa maksud.
Melainkan hendak mengingatkan, bahwa pangkal Kezaliman itu adalah Keserakahan.
Di saat mulai merebak keserakahan dalam suatu wilayah, maka akan meningkat pula
tingkat kezaliman dalam wilayah tersebut. Oleh karena itulah, hal yang mendasar
untuk menurunkan angka kezaliman adalah membangun ulang kesadaran bahwa hidup ini bukan milik seorang dan hidup ini bukanlah sendirian. Kesadaran inilah yang
akan menahan diri dari tindak menzalimi sesama manusia beserta lingkungan
sekitarnya.
Namun, setelah
kita mengulas beragam peta kehidupan sosial itu, tak lupa perlu menguatkan
kembali motivasi wakaf kita dengan kesadaran iman yang mendasar. Bahwa, lepas dari
semua kondisi itu, sesungguhnya kita tetap perlu berwakaf. Sebab, meskipun
tiada penggusuran dan tiada konflik, sesungguhnya kita tetap punya kebutuhan
pada amal jariyah yaitu amal yang pahalanya terus mengalir hingga hari
penghisaban. Adapun salah satu amal jariyah itu adalah Wakaf.
Jadi, meski
tanpa diburu dan tanpa kezaliman, teruslah kita berwakaf! Sebagaimana penekanan
pada baris terakhir dari bait keempat puisi Wakaf Kita di atas; Toh itu pula
yang jadi amalan jariyah! Toh, itulah penekanan, bahwa meski tiada yang diburu
oleh penggusuran dan tiada yang terzalimi oleh konflik, tetaplah kita perlu
berwakaf untuk mendapatkan pahala terus-menerus. Itulah satu dari tiga pahala
yang tak putus pasca tercabutnya nyawa kita; selain anak yang sholih dan ilmu
yang bermanfaat.
Sekali
lagi; hendaknya kita selalu membangun semangat berwakaf dalam kondisi apapun.
Sebab, lebih dari sekadar menyediakan kediaman bagi para korban penggusuran dan
konflik, kita lebih perlu pada pahala yang terus bertambah hingga beban
kebaikan kita melebihi beban keburukan kita di hari perhitungan kelak.
Lagi pula,
bila semangat berwakaf terus hidup dalam kondisi sosial yang aman sekalipun,
maka bila tiba-tiba kondisi sosial diliputi kelabunya penggusuran dan konflik,
kita akan dapat mengatasinya dengan efektif dan efisien karena adanya
wakaf-wakaf sebagai jaminan pengaman sosial.
Semangat
itulah yang hendak dihembuskan dari novel ECONOM 3 (Menjelajahi Praktik Waqaf
di Turki) dan nasyid Wakaf Kita. Yuk, pesan ke nomor 085775478018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar