Rabu, 10 Mei 2017

JANGAN BIARKAN ANAK CUCU TAK TAHU KE MANA LAGI MENUJU!


Tegakah kita meninggalkan generasi baru
Bila tetiba zaman berangsur tak lagi menentu
Sebab aura kehidupan semakin kelabu
Hingga anak cucu tak tahu ke mana lagi menuju


Setelah kita membangun kesadaran ulang bahwa “Hidup Ini Bukan Milik Seorang” dan “Hidup Ini Bukanlah Sendirian”, maka saatnya menegaskan kembali dalam diri kita tentang satu tekad yang tak akan membiarkan anak cucu terombang-ambing pada ketidak-tahuan ke mana lagi menuju. Prasyaratnya, ubah paradigma kepemilikan individual menjadi kepemilikan kolektif, agar tak banyak lagi yang dikuasai seorang diri sehingga hanya menumpuk kemubaziran dan membatasi kemanfaatan. Toh, pewarisan kepada anak cucu dalam rentang masa yang panjang memerlukan estafeta kolektif. Prasyaratnya lagi, bina paradigma bahwa zaman dalam kehidupan ini bukanlah zaman kita sendiri sehingga menyadari bahwa usia kita sendiri tidak seberapanya usia hidup dunia seluruhnya, agar mulai terpikirkan untuk menjaga kesinambungan warisan.

Bait di atas adalah bait ketiga puisi “Wakaf Kita” yang hendak menggambarkan tentang kondisi yang akan dihadapi generasi baru setelah kita. Bahwa semakin kompleksitasnya zaman modernitas, maka semakin kompleksitas pula alurnya. Dengan demikian, segalanya menjadi serba tiba-tiba. Itulah tabiat zaman yang akan dilalui oleh generasi baru.

Namun selain tiba-tiba, tabiat zaman yang akan dilalui oleh generasi baru juga kian hari kian berangsur tak menentu. Hal itu terjadi karena seiring menuanya usia zaman, maka semakin usanglah tampilan kehidupan. Kelabu itulah pertanda tampilan usangnya zaman, yaitu sewarna abu-abu antara hitam dan putih yang menipu dan menyesatkan pandang.

Dan, satu hal yang perlu dipahami... Bahwa zaman menjadi semakin tiba-tiba dan berangsur tak menentu, hal itu karena semakin kelabunya aura zaman. Sebab perencanaan memerlukan kejernihan pandang, begitupun kepastian memerlukan kejelasan pandang. Bila yang ada adalah kekelabuan, maka sulit bagi kita memastikan perencanaan dan merencanakan kepastian.

Itulah yang akan dihadapi oleh anak cucu kita; ketiba-tibaan dan ketidak-menentuan. Hampir-hampir perencanaan tak berguna, hampir-hampir kepastian tiada.

Maka hadirlah kegalauan demi kegalauan. Ujung dari kegalauan yang tak teratasi adalah kenestapaan. Berapa banyak yang akhirnya galau mendapati sekian hektar tanah telah dikapitalisasi oleh seorang atau sekelompok orang? Berapa banyak yang akhirnya galau mendapati kapitalisasi pendidikan yang menghadirkan biaya studi nan mahal? Berapa banyak yang akhirnya galau mendapati kapitalisasi industri yang membuat persaingan kerja bak medan brutal hutan rimba? Berapa banyak bangsa yang galau kehilangan jati diri karena tergusur dari kampungnya oleh pengembang imperialis kapitalis? Berapa banyak yang merasakan kenestapaan seperti itu?

Lalu, ke mana lagi menuju? Sebagai kediaman, tempat membangun keberdayaan, serta tempat bermasyuk hidup dalam keharmonian dan keceriaan. Tanpa tikung-telikung, tanpa tikam-menikam, tanpa tindas-menindas.

Ke mana lagi menuju? Tegakah kita mendengar pertanyaan linglung itu terlontar dari anak cucu kita? Dalam kegalauan karena ketidak-tahuan mereka.

Maka inilah saatnya kita meresapi ulang pemaknaan wakaf, sebagai instrumen puncak jaminan sosial dari konsep ekonomi syariah. InsyaAllah, novel ECONOM 3 (Menjelajahi Praktik Wakaf di Turki) siap menemani perenungan-perenungan kita. Pesan segera novelnya ke nomor 085775478018, dan nantikan pula nasyidnya! Yang berjudul: Wakaf Kita.

Tidak ada komentar: