Tegakah
kita meninggalkan generasi baru
Bila
tetiba zaman berangsur tak lagi menentu
Sebab
aura kehidupan semakin kelabu
Hingga
anak cucu tak tahu ke mana lagi menuju
Setelah
kita membangun kesadaran ulang bahwa “Hidup Ini Bukan Milik Seorang” dan “Hidup Ini Bukanlah Sendirian”, maka saatnya menegaskan kembali dalam diri kita
tentang satu tekad yang tak akan membiarkan anak cucu terombang-ambing pada
ketidak-tahuan ke mana lagi menuju. Prasyaratnya, ubah paradigma kepemilikan
individual menjadi kepemilikan kolektif, agar tak banyak lagi yang dikuasai
seorang diri sehingga hanya menumpuk kemubaziran dan membatasi kemanfaatan.
Toh, pewarisan kepada anak cucu dalam rentang masa yang panjang memerlukan estafeta
kolektif. Prasyaratnya lagi, bina paradigma bahwa zaman dalam kehidupan ini
bukanlah zaman kita sendiri sehingga menyadari bahwa usia kita sendiri tidak seberapanya usia hidup dunia
seluruhnya, agar mulai terpikirkan untuk menjaga kesinambungan warisan.
Bait di atas adalah bait ketiga puisi “Wakaf
Kita” yang hendak menggambarkan tentang kondisi yang akan dihadapi generasi
baru setelah kita. Bahwa semakin kompleksitasnya zaman modernitas, maka semakin
kompleksitas pula alurnya. Dengan demikian, segalanya menjadi serba tiba-tiba.
Itulah tabiat zaman yang akan dilalui oleh generasi baru.
Namun selain tiba-tiba, tabiat zaman
yang akan dilalui oleh generasi baru juga kian hari kian berangsur tak menentu.
Hal itu terjadi karena seiring menuanya usia zaman, maka semakin usanglah
tampilan kehidupan. Kelabu itulah pertanda
tampilan
usangnya zaman, yaitu sewarna abu-abu antara hitam dan putih yang menipu dan
menyesatkan pandang.
Dan, satu hal yang
perlu dipahami... Bahwa zaman menjadi semakin tiba-tiba dan berangsur tak menentu,
hal itu karena semakin kelabunya aura zaman. Sebab perencanaan memerlukan kejernihan
pandang, begitupun kepastian memerlukan kejelasan pandang. Bila yang ada adalah
kekelabuan, maka sulit bagi kita memastikan perencanaan dan merencanakan
kepastian.
Itulah yang akan dihadapi oleh anak cucu kita;
ketiba-tibaan dan ketidak-menentuan. Hampir-hampir perencanaan tak berguna,
hampir-hampir kepastian tiada.
Maka hadirlah kegalauan demi kegalauan. Ujung dari
kegalauan yang tak teratasi adalah kenestapaan. Berapa banyak yang akhirnya
galau mendapati sekian hektar tanah telah dikapitalisasi oleh seorang atau
sekelompok orang? Berapa banyak yang akhirnya galau mendapati kapitalisasi
pendidikan yang menghadirkan biaya studi nan mahal? Berapa banyak yang akhirnya
galau mendapati kapitalisasi industri yang membuat persaingan kerja bak medan
brutal hutan rimba? Berapa banyak bangsa yang galau kehilangan jati diri karena
tergusur dari kampungnya oleh pengembang imperialis kapitalis? Berapa banyak
yang merasakan kenestapaan seperti itu?
Lalu, ke mana lagi menuju? Sebagai kediaman, tempat
membangun keberdayaan, serta tempat bermasyuk hidup dalam keharmonian dan
keceriaan. Tanpa tikung-telikung, tanpa tikam-menikam, tanpa tindas-menindas.
Ke
mana lagi menuju? Tegakah kita
mendengar pertanyaan linglung itu terlontar dari anak cucu kita? Dalam kegalauan
karena ketidak-tahuan mereka.
Maka inilah saatnya kita meresapi ulang pemaknaan wakaf,
sebagai instrumen puncak jaminan sosial dari konsep ekonomi syariah. InsyaAllah,
novel ECONOM 3 (Menjelajahi Praktik Wakaf di Turki) siap menemani
perenungan-perenungan kita. Pesan segera novelnya ke nomor 085775478018, dan
nantikan pula nasyidnya! Yang berjudul: Wakaf Kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar