Sabtu, 24 Desember 2016

(Kajian Hadits) BERGINILAH MEKANISME ORISINAL YANG DITAWARKAN ISLAM UNTUK PERBAIKAN SOSIAL

Foto Dokumentasi ibu Yeni, Pengurus PD Aisyiyah Kapuas Hulu

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى  اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. [رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antaramu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Keistimewaan hadits ini di antaranya karena riwayatnya oleh Abu Hamzah, bapaknya singa, julukan bagi keperkasaannya. Yaitu seorang sahabat yang bernama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Seakan ingin menekankan sosok periwayat hadits ini, dalam penyebutan periwayatnya ditambah dengan keterangan Pembantu Rasulullah setelah penyebutan namanya. Itulah istimewanya Anas bin Malik, sahabat yang paling terakhir meninggal ini dalam hidupnya memerankan diri sebagai pembantu Rasulullah.

Maka meski hanya 10 tahun ia membersamai Rasulullah dari total usianya 107 tahun, ia dapat meriwayatkan 2286 hadits sehingga menjadi sahabat yang paling banyak ketiga dalam periwayatan sabda Rasulullah. Hal itu karena kecerdasannya, juga karena intensitas pertemuannya dengan Rasulullah yang tinggi karena merupakan pembantunya. Kearifan agamanya pun semakin mendalam, sebab setelah Rasulullah wafat, ia terus hidup dan berinteraksi dengan para sahabat senior dari masa ke masa hingga mereka semua wafat.

Kira-kira demikianlah keistimewaan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ia menjadi sahabat periwayat hadits terbanyak ketiga. Karena ia menjadi pembantu Rasulullah sehingga sering mendengar sabda Rasulullah. Dan karenanya pula, ia menjadi sosok yang kehidupan beragamanya paling menyerupai Rasulullah. Maka menyimak hadits yang diriwayatkan olehnya tentu menjadi keistimewaan tersendiri. Dan inilah yang akhirnya menjadi salah satu keistimewaan hadits ini.

Selain itu, memang ulama juga telah mengidentikkan hadits ini sebagai salah satu poin penting dalam kaedah Islam. Seperti yang dikatakan oleh al Jurdani dalam Syarh Hadits Arba’in an Nawawiyah, “Bahwa hadits ini merupakan bagian dari kaedah-kaedah Islam.” Lebih detail lagi salah seorang ulama mazhab Maliki di Maroko yaitu Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid menyatakan bahwa hadits ini termasuk salah satu dari empat hadits yang menjadi azas akhlak yang baik. Ketiga hadits lainnya menurut beliau adalah hadits untuk meninggalkan hal-hal yang tidak manfaat (hadits ke 12 di Arba’in An Nawawiyah), hadits untuk mencukupkan berkata baik atau diam (hadits ke 15 di Arba’in An Nawawiyah), serta hadits larangan marah (hadits ke 16 di Arba’in An Nawawi).

Namun menariknya, tidak hanya karena diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan diidentikkan oleh ulama sebagai hadits azas Islam dan azas akhlak, melainkan juga merupakan bahasan penting bagi awal mula kehidupan beragama kita karena termasuk bagian dari bahasan tentang iman. Sebagaimana Imam Bukhari dan Imam Muslim meletakkannya di kitab Iman dalam Shahih-nya. Begitupun Imam An Nasa’i meletakkannya di kitab Iman pula dalam Sunan-nya.

Tapi yang lebih menarik lagi ketika kita mendapatinya dalam kitab Sifat Hari Kiamat dalam Sunan At Tirmidzi, itu seakan-akan bahwa Hari Kiamat kita tidak akan selamat kecuali bila kita juga telah tuntas dengan amalan hadits ini. Bahkan Ibnu Majah meletakkannya di Muqoddimah Sunan-nya, seakan mengisyaratkan bahwa kajian dan amalan hadits ini seharusnya sudah tuntas di permulaan sebelum kita menyelami agama ini lebih dalam.

Lalu, apa hubungannya dengan mekanisme perbaikan sosial? Yaitu pada pesan kepedulian sosialnya. Kepedulian kepada saudaranya yang seharusnya melebihi kepedulian kepada dirinya sendiri. Syeikh Musthafa Dieb Al Bugha merincikan tentang kepedulian ini hendaknya meliputi 3 hal: Kesukaan dan Kebencian kita, Kesungguhan memberikan nasehat, serta Penerimaan saudara dan Penunaian haknya.

Pertama; Kesukaan dan Kebencian kita hendaknya juga kita harapkan ada pada saudara kita. Sebagaimana kita suka akan sesuatu, maka hendaknya saudara kita pun suka terhadap sesuatu itu. Sebagaimana kita benci akan sesuatu, maka hendaknya saudara kita pun benci terhadap sesuatu itu. Dalam ukuran beragama, maka sukanya kita terkait hal-hal yang dibolehkan dan mengandung ketaatan. Sementara bencinya kita terkait hal-hal yang merusak dan mengandung maksiat. Sebab dengan menyukai dan membenci hal tersebut, maka ada kebaikan bagi masa depan abadi akhirat kita. Dan kebaikan seperti itulah yang kita inginkan juga ada pada saudara kita, bukan saja menjadi kenikmatan yang kita rasakan sendiri.

Kedua; Kesungguhan memberikan nasehat kepada saudara kita agar dapat menyukai hal-hal yang dibolehkan dan membenci hal-hal yang merusak, hingga menyukai ketaatan dan membenci kemaksiatan. Jadi bila kita hendaknya mencintai saudara kita melebihi kecintaan kepada diri kita sendiri, maka seharusnya kita tidak cukup hanya mengharapkan saudara kita menyukai hal yang baik dan membenci hal yang buruk. Melainkan hendaknya ada usaha yang sungguh-sungguh dari kita untuk membuat saudara kita sungguh-sungguh mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Usaha itu berupa kesungguhan memberi nasehat kepada saudara kita tersebut. Jadi tidak cukup hanya menyodorkan kebaikan kepadanya dan menyingkirkan keburukan darinya, tapi kita juga mengusahakan agar ia benar-benar menjadi pribadi yang mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Itulah hakikat mencintai saudara yang seharusnya.

Ketiga; Penerimaan saudara dan Penunaian haknya. Setelah dua hal tersebut, maka secara teknis sehari-hari wujud cinta kepada saudara kita adalah menerimanya dengan sebaik penerimaan dan menunaikan haknya dengan sebaik penunaian. Sungguh menjadi kebahagiaan bagi saudara kita, bila disambut kehadirannya maupun keberadaannya. Sungguh pula menjadi kebahagiaan bagi saudara kita, bila ditunaikan hak yang memang menjadi tanggungan kita maupun yang sekadar menjadi keinginannya. Sebab hakikatnya, semua yang diinginkan saudara kita adalah hak persaudaraan yang harus kita bantu penunaiannya. Dan membantu mewujudkan keinginan saudara tentu merupakan wujud kecintaan yang sejati kepada saudara, sebagaimana kitapun senang bila keinginan kita terwujud.

Dengan gambaran seperti itu, maka akhirnya kita paham bagaimana berakhlaknya seorang yang memiliki kecintaan kepada saudara melebihi kecintaannya kepada diri sendiri. Sebab ia tak lagi hanya mementingkan dirinya sendiri, namun lebih mementingkan orang lain. Sebab ia mendahulukan bagi orang lain, sebelum dirinya sendiri. Itulah akhlak yang sejati. Sebab yang akhirnya merusak akhlak adalah munculnya ego diri yang meretakkan kehidupan sosial.

Walaupun bukan berarti pula menghilangkan sikap berlomba-lomba dalam kehidupan sosial. Sebab agama Islam telah menetapkan kaedah, bahwa kita boleh saling mendahului dalam urusan ibadah, namun hendaknya saling mempersilakan dalam urusan muamalah. Karena itu, imbauan berlomba-lomba dalam surat al Muthaffifin ayat 26 kaitannya pada segala harapan akan kenikmatan akhirat yang dicapai dengan ibadah.

Akhirnya bila kita renungi tentang kaedah cinta seperti ini, yang oleh para ulama hadits dikaitkan dengan sifat keimanan, maka kita dapat memahami bahwa orang-orang beriman memang sejatinya memiliki kecintaan yang lebih besar kepada saudaranya daripada kepada dirinya sendiri. Dan karena itulah, segala sifat seperti dengki, fitnah, dan egoisme sesungguhnya bukan bagian dari keimanan. Atau makna sebaliknya adalah tidak mungkinnya seorang mu’min sejati memelihara sifat dengki, fitnah dan egoisme. Atau makna lainnya bila ada sifat dengki, fitnah dan egoisme dalam diri seseorang, maka keimanannya tidak sempurna.

Dari kaedah cinta seperti ini, kita seakan disadarkan bahwa agama Islam telah menawarkan mekanisme yang orisinal untuk melakukan perbaikan sosial. Mekanisme orisinal itu adalah kaedah cinta ini, yaitu mencintai saudara melebihi kecintaan kepada diri sendiri. Maka hilanglah dengki, hilanglah fitnah dan hilanglah egoisme yang selama ini meretakkan kehidupan sosial kita dan seringkali menggagalkan semua agenda perbaikan yang telah dirancang.

Bahwa semua agenda perbaikan sosial akan efektif dan efisien bila kehidupan sosial kita memiliki keberdayaan cinta seperti ini. Maka tanpa perlu rekayasa aturan pemerintah, semua aspek kehidupan sosial kita akan terbenahi bila masing-masing kita punya kemandirian untuk memperbaiki orang-orang di sekitar kita sehingga memiliki kebaikan sebagaimana kita sendiri pun menginginkannya. Baik itu bidang ekonomi, politik maupun tata sosial lainnya.

Dan, bila itu merupakan indikasi kesempurnaan iman, maka sejatinya seorang Muslim menjadi pelaku inti dalam perbaikan sosial di manapun dan kapanpun. Wallahu a’lam.




Jakarta, 24 Desember 2016

Tidak ada komentar: