Senin, 19 Desember 2016

INILAH PERJUANGAN UMAT DALAM BELA NEGARA

Tebing kokoh di kabupaten 50 Kota. (dokumen pribadi)

Ceritanya, Republik ini pasca diproklamasikan tidak otomatis langgeng kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Sebab nusantara yang kemudian menjadi wilayah Republik ini teramat luas terpisah jarak yang jauh, tentu tidak mudah mendistribusikan maklumat Proklamasi dan mendapatkan respon mufakat dari daerah-daerah yang berbeda karakteristiknya. Kebhinekaan, itulah wajah khas bangsa ini sejak awal kalinya menemukan kemerdekaannya. Selain itu, jelas penjajah pun tak mau begitu saja merelakan bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya.


Maka pasca Proklamasi Republik Indonesia di Jakarta, barulah kemudian bergabung wilayah Sumatra setelah 12 hari berlalu. Saat itu masyarakat Sumatra diwakili Moehammad Syafei di Bukittinggi, menandatangani pengakuan Proklamasi Republik Indonesia tersebut. Jadilah Sumatra dengan masyarakat Muslim-nya resmi sebagai wilayah pertama yang menjadi bagian dari Republik Indonesia. Disusul sepekan kemudian oleh Yogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, yang berstatus Daerah Istimewa.

Tapi, apakah setelah bergabungnya secara resmi wilayah Sumatra dan kerajaan Yogyakarta membuat Republik Indonesia langgeng tanpa hambatan? Ingat, masih ada penjajah yang tak akan rela begitu saja membiarkan bangsa ini merdeka. Dan benar, dua bulan kemudian pasukan Sekutu menyerang Republik Indonesia. Belanda pun ada di dalamnya. Hingga puncaknya 10 November, saat Bung Tomo yang gagah berani menghadapi serangan Sekutu itu dengan komando Allahu Akbar. Jadilah hari itu sebagai Hari Pahlawan! Hari di mana lahfadz Allahu Akbar bergema di seantero Surabaya dan wilayah-wilayah lainnya.

Lalu, selesaikah persoalan eksistensi Republik Indonesia? Hari inilah, 19 Desember, kita layak mengenang etape selanjutnya dalam mempertahankan eksistensi negeri ini. Sepuluh tahun sudah penetapan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara, dan itulah hari perjuangan ummat dalam mempertahankan eksistensi negeri ini.

Berawal pada 19 Desember 1948. Itulah sejarah pengkhianatan Belanda untuk kedua kalinya. Yaitu pengkhianatan atas Perjanjian Renville yang ditandatangani 17 Januari 1948. Dimulai malam hari 18 Desember jam 23.30, saat Dr. Beel selaku Wakil Tinggi Mahkota Belanda dengan khianat menyatakan tak lagi terikat perjanjian. Maka pagi harinya jam 06.00 tanggal 19 Desember pun dimulai serangan Belanda ke Yogyakarta yang saat itu statusnya sebagai Ibukota. Sejam kemudian, Bukittinggi juga diserang. Bukittinggi memang saat itu dikenal sebagai Ibukota kedua. Sehingga, jadilah detik itu sebagai perang kemerdekaan kedua dengan semboyan “Tiada Lebih Berharga dari Kemerdekaan”. Semboyan itu lahir dari pikiran para pejuang Muslim di tanah minang, yang sangat mencintai kemerdekaan negeri ini.

Selanjutnya, apa yang dilakukan pemerintah? Sidang Darurat pun digelar jam 09.00 dengan dipimpin langsung Soekarno – Hatta di Jogjakarta. Ada dua keputusan, salah satunya adalah: “Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera.

Adapun keputusan kedua adalah antisipasi bila keputusan pertama tidak berhasil, yang ditujukan kepada Dr. Soedarsono di New Delhi – India. Isinya adalah perintah untuk membentuk Exile Government Republic Indonesia di India, bila usaha Sjafruddin Prawiranegara gagal membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.

Sementara di jam yang sama, di tempat terpisah yaitu di Bukittinggi, juga berlangsung pertemuan darurat. Bertempat di Gedung Tamu Agung Tri Arga yaitu Istana-nya Bung Hatta, hadirlah Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera (Teuku Mohammad Hasan), Menteri Kemakmuran (Sjafruddin Prawiranegara), dan Gubernur Sumatera Tengah (Mohammad Nasroen). Selain tiga orang itu, ada pula Lukman Hakim, Kolonel Hidayat, dan Komisaris Besar Polisi Umar Said. Tapi kondisi yang mencekam membuat pertemuan itupun tidak memungkinkan dilanjutkan, sehingga diundur tanpa kejelasan. Hingga sore harinya, Sjafruddin Prawiranegara mengajak Kolonel Hidayat untuk menemui Teuku Mohammad Hasan di Jl. Atas Ngarai untuk melanjutkan pembicaraan pagi harinya.

Hasilnya pun segera ditetapkan sore hari itu jam 18.00, bahwa dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil. Kebijakan pertama Pemerintahan Darurat ini adalah menginstruksikan seluruh pejabat di Bukittinggi agar malam hari itu juga jam 21.00 siap mengungsi ke perkebunan Halaban yang berada dekat Payakumbuh. Sjafruddin Prawiranegara dan Teuku Mohammad Hasan beserta rombongannya sendiri baru tiba jelang Subuh.

Dan benar, dua hari kemudian Bukittinggi menjadi target pembumi-hangusan yang dilakukan oleh Belanda. Bahkan Gedung Tamu Agung yang sempat menjadi tempat Rapat Darurat menjadi target penghancuran pertama. Setelah menghancurkan dan membumi-hanguskan dari udara, esoknya tanggal 22 Desember 1948 pasukan Belanda pun mulai memasuki Bukittinggi melalui Padang Panjang.

Tapi dini harinya di Halaban, sekitar jam 04.30, Pemerintah Darurat Republik Indonesia telah resmi diumumkan lengkap dengan susunan pemerintahannya. Sutan Mohammad Rasjid yang baru tiba didaulat menjadi Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Menteri Pembangunan dan Menteri Pemuda. Sementara Lukman Hakim menjadi Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman. Jabatan Menteri lainnya adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kesehatan yang dipegang oleh Ir. Muhammad Sitompul, Menteri Perhubungan dan Menteri Kemakmuran dipegang oleh Ir. Indracaya, serta Sekretaris Kabinet-nya adalah RM. Danubroto.

Sementara untuk perlawanan bersenjata, ditetapkanlah Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Saat diamanahi sebagai Panglima Besar itu, Jenderal Sudirman sudah sakit paru-parunya dan memimpin peperangan dengan ditandu sebagaimana telah kita ketahui. Maka untuk merapihkan dan memperkuat barisan perlawanan bersenjata, Kolonel A.H. Nasution ditetapkan sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa dan Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatera. Adapun Angkatan Laut diserahkan kepada Kolonel M. Nazir dan Angkatan Udara diserahkan kepada Kolonel Sudjono.

Sebagaimana namanya Pemerintahan Darurat, maka perjalanan pemerintahan ini memang dalam medan yang serba darurat. Pemerintahan dikontrol dengan pola berpencar. Rapat-rapat Kabinet dilakukan dalam kondisi-kondisi mencekam. Untungnya Sumatera Barat telah lama siap dengan kekuatan militernya. Dimulai dengan adanya Front Pertahanan Nasional (FPN), lalu menjadi Dewan Perjuangan, dan akhirnya jadi Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD). Markas itulah yang kemudian memiliki Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) hingga dilengkapi menjadi Pasukan Mobil Teras (PMT) BPNK.

Maka selama dua pekan pertama bagi Pemerintahan Darurat ini relatif mudah bertahan dan melakukan perlawanan, dengan pola Perang Rakyat Semesta. Hingga terjadilah Peristiwa Situjuh pada 15 Januari 1949. Chatib Sulaiman selaku perumus strategi Perang Rakyat Semesta gugur bersama 80 orang. Hingga Syeikh Abbas Abdullah dari Padang Jopang segera membentuk Barisan Sabilillah (Pasukan Syahid) untuk mengawal kelanjutan PDRI. Beliau menggerakkan pasukan tersebut dengan fatwanya “Syahid membela Republik”.

Setelah itu, hingga kini, dan selamanya. Umat akan selalu punya amanah Bela Negara. Dan InsyaAllah, umat Islam selalu siap mengemban amanah itu. Bela Negara adalah tanggungjawab umat Islam, agar negeri ini tetap ada serta menjadi negeri yang baik dan mendapatkan pengampunan dari Tuhan yang Maha Esa. Allahu Akbar!!!


Depok, 19 Desember 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)


Tidak ada komentar: