Kamis, 07 April 2016

(Kajian Hadits) BEGINILAH ISLAM MENUNJUKKAN TANDA KEBAIKAN DAN TANDA KEBURUKAN


عَنْ النَّوَّاسِ بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ."
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: جِئْتَ تَسْألُ عَنِ الْبِرِّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ! الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ."

Dari Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.”

Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: Engkau datang untuk menanyakan kebaikan? Aku menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Mintalah fatwa dari hatimu! Kebaikan adalah perkara yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tenteram, dan dosa adalah perkara yang terasa mengganjal dalam jiwa dan terasa meragukan dalam dada, meskipun orang-orang telah memberi fatwa kepadamu.”


Hadits yang pertama itu terdapat dalam Shahih Muslim pada kitab Kebaikan dan Hubungan Baik di bab Tafsir tentang Kebaikan dan Dosa. Adapun hadits kedua yang berderajat Hasan itu terdapat dalam musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan musnad Ad Darimi. Hadits ini singkat dan penuh makna, begitu komentar Ibnu Hajar al Haitsami. Lalu beliau katakan, bahwa hadits ini telah menghadirkan dua sisi kehidupan yang saling dihadapkan; yaitu Kebaikan dan Keburukan.

Ada empat pilihan kata yang unik dalam hadits ini. Pertama adalah al Birr (Kebaikan), tanpa menyinggung Pahala; seakan ingin mengatakan bahwa kebaikan itu nyata dan tak disangsikan maka lakukan saja, sedangkan pahala itu kuasa Allah Ta’ala yang pasti akan diberikan bila kebaikan itu memang sungguh dilakukan dengan niat dan cara yang baik, sebab sejatinya pahala melekat dengan kebaikan. Kedua adalah al Itsm (Dosa), dan tidak dikatakan Keburukan; seakan ingin menyampaikan bahwa seringkali keburukan itu disangsikan sehingga tetap saja dilakukan ketika masih disangsikan, maka alangkah baiknya kita mengingat dosa di ujungnya yang semestinya kita hindari sehingga kita lebih berhati-hati untuk tidak melakukan keburukan meskipun masih sangsi bahwa itu keburukan. Akan tetapi, istilah al Birr dan al Itsm juga dipakai dalam firman Allah dalam surat al Ma’idah ayat 2.

Ketiga adalah Husnul Khuluq (Akhlaq yang Baik), bahwa inilah inti segala kebaikan yaitu pada akhlaknya, maka bila akhlak baik akan baik pula segala kehidupannya. Keempat adalah Maa Haaka fii Nafsi (yang menggundahkan dalam jiwa), bahwa inilah inti sarana pendeteksi keburukan yaitu rasa gundah dalam jiwa, maka bila jiwa gundah kemungkinan ada sesuatu yang tidak baik pada diri kita.

Baiklah. Mari kita cermati beberapa poin yang dapat kita dapatkan dari hadits ini!

Definisi Kebaikan

Kebaikan itu ada dua; Muamalah dan Ibadah. Muamalah itu hubungan dengan sesama manusia. Ibadah itu hubungan dengan Allah Ta’ala.

Terkait Muamalah, kita dapat mencermati surat al Ma’idah ayat 2: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Dalam ayat ini al Birr dipasangkan dengan Taqwa; ulama mengatakan bahwa yang pertama adalah muamalah bil insaan (interaksi dengan manusia) dan yang kedua adalah muamalah billah (interaksi dengan Allah), namun ada pula yang mengatakan bahwa yang pertama adalah terkait Kewajiban dan yang kedua adalah terkait Larangan. Jadi, definisi kebaikan dalam hal muamalah adalah melaksanakan Kewajiban dan meninggalkan Larangan.

Terkait Ibadah, kita dapat mencemati surat al Baqarah ayat 177: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” Jadi, definisi kebaikan dalam hal ibadah adalah mencakup segala amal lahir dan amal batin.

Tanda Kebaikan

Kebaikan itu sesungguhnya adalah fitrah manusia. Karenanya, Rasulullah memberikan tanda akan kebaikan itu terkait dengan fitrah; yaitu jiwa dan hati. “Jiwamu tenang dan hatimu tenteram,” demikian sabda Rasulullah.

Oleh karenanya, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat ar Ruum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Fitrah, itulah tanda kebaikan. Bila sesuatu itu sesuai fitrah, maka ia baik. Namun bila sesuatu itu tidak sesuai fitrah, maka ia buruk. Dan fitrah itu terasa dalam jiwa dan hati.

Tanda Dosa

Dosa itu dapat ditandai dari dua aspek; Internal dan Eksternal. Secara internal, seperti yang disabdakan Rasulullah, “Mengganjal dalam jiwa dan meragukan dalam dada.” Secara eksternal, seperti juga yang disabdakan Rasulullah, “Tidak suka jika dilihat manusia.”

Itulah dua indikasi dosa. Bila mengganjal dalam diri, dan bila tidak suka dilihat manusia. Sesederhana itulah Rasulullah memberikan ukurannya. Sehingga kita ditekankan untuk lebih bertanggungjawab terhadap diri sendiri, sebab diri kitalah kontrol dari keburukan.

Menyikapi Keraguan

Setelah kita mengenali kebaikan, lalu mencermati tanda kebaikan dan tanda dosa, akhirnya kita berkesimpulan bahwa dalam menjalani kehidupan ini mesti fokus pada titik tolak jiwa dan hati kita. Maka mencermati getaran jiwa dan hati adalah pekerjaan mulanya. Di antara getaran itu wujudnya adalah keraguan. Di sinilah kita perlu membina kecakapan diri dalam menyikapi keraguan.

Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Tinggalkan yang meragukanmu, kepada yang tidak meragukanmu.” Maka sikap kita terhadap keraguan diri adalah meninggalkannya, kecuali ada ketetapan syariatnya. Sebab pada keraguan itu ada indikator dosa. Namun bila sudah ada ketetapan syariat sementara jiwa dan hati kita ragu, maka ikutilah ketetapan syariat dan jauhilah keraguannya karena itu berasal dari syaitan.

Hanya ketetapan syariat yang dapat menaklukkan keraguan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al Ahzab ayat 36, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Lalu ditegaskan lagi untuk meninggalkan keraguan dan menuju ketetapan syariat seperti dinyatakan dalam surat an Nisa’ ayat 65, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Epilog

Akhirnya kita paham, bahwa perkara kebaikan dan keburukan itu dipisahkan oleh fitrah yang mewujud dalam getaran jiwa dan hati. Maka berpeganglah dengan ketenangan jiwa dan ketenteraman hati. “Mintalah fatwa dari hatimu!” begitu perintah Rasulullah.

Maka, untuk menuju kebaikan dan meninggalkan keburukan yang perlu kita lakukan dua hal: Meningkatkan Akhlak Terpuji dan Membina Hati. Kita harus terus memotivasi diri dan semua manusia untuk berakhlak yang baik. Kita juga harus terus melakukan pembinaan hati diri dan semua manusia. Karena akhlak yang baik itulah pangkal segala kebaikan. Dan pembinaan hati itulah penguat indikator untuk menghindari keburukan. Wallahu a’lam.



Jakarta, 7 April 2016

Tidak ada komentar: