Pembeda
antara Muslim dengan lainnya adalah pada konsepsi Tauhid. Bertolak dari
konsepsi ini pula hendaknya kita menata ulang cara pandang kehidupan kita. Maka
menjadi muslim adalah menjadi pribadi baru yang kembali pada nilai fitrah
asalnya.
Lalu,
bagaimanakah pribadi yang berkonsepsi Tauhid? Sebelum kita mengulasnya,
terlebih dahulu kita urai nilai-nilai yang lahir dari konsepsi tauhid tersebut.
Nilai-Nilai
Konsepsi Tauhid
Konsepsi
Tauhid ini adalah landasan aqidah Islam. Ialah kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, yang akan menurunkan nilai-nilai sebagaimana yang telah
difirmankan-Nya berikut:
Pertama;
hanya Satu tali ikatan manusia kepada Allah.
Sebagaimana
yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al Mujaadilah ayat
22, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan
merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan
Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang
beruntung.”
Kedua;
hanya Satu tentara Allah.
Sebagaimana
yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat an Nisaa’ ayat 76, “Orang-orang
yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di
jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena
sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”
Ketiga;
hanya Satu jalan menuju Allah.
Sebagaimana
yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al An’am ayat 153, “Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah agar kamu bertakwa.”
Keempat;
hanya Satu sistem hukum.
Sebagaimana
yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al Ma’idah ayat 50, “Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Kelima;
hanya Satu syariat.
Sebagaimana
yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al Jatsiyat ayat 18,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Keenam;
hanya Satu kebenaran.
Sebagaimana
yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Yunus ayat 32, “Maka
(Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan
(dari kebenaran)?”
Nilai-nilai
itulah yang menjadi nilai satu-satunya bagi setiap individu Muslim. Sehingga
dengan nilai-nilai itulah sebuah tatanan masyarakat akan dibangun. Bila enam
nilai itu berhimpun menjadi satu, maka itulah wujud Negara Islam yang juga
hanya satu, sesempit atau seluas apapun wilayahnya. Sedangkan wilayah di luar
negara Islam itu merupakan daerah yang berada dalam kondisi perang atau kondisi
perdamaian.
Keluarga
yang Berkonsepsi Tauhid
Demikianlah
konsepsi Tauhid menata perspektif baru kita akan kehidupan yang sejati, yaitu
kehidupan yang semuanya bernasab pada Sang Pencipta. Setelah setiap individu
muslim tampil dengan perspektif Tauhid tersebut, selanjutnya konsepsi Tauhid
menata pengelolaan keluarga. Setidaknya ada 5 contoh yang pernah ada dalam
perjalanan kehidupan manusia dan dihadirkan dalam al Qur’an sebagai perumpamaan
bagi kita.
Pertama;
konsepsi Tauhid seorang Ayah yang beriman terhadap Anak yang kufur.
Ialah
Nuh alaihissalam, seorang hamba yang beriman sekaligus Nabi-Nya. Namun Allah
azza wa jalla takdirkan baginya menjadi ayah bagi seorang anak yang
kufur. Maka terputuslah hubungan ayah dan anak; tersebab sang anak memutus mata
rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat Huud ayat 45 –
47, “Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.
Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’” Ia memang tetap sayang terhadap
anaknya, namun ia tak mampu menolong yang menyelisihi ketetapan Allah.
Kedua;
konsepsi Tauhid seorang Anak terhadap Ayah yang kufur.
Ialah
Ibrahim alaihissalam, seorang hamba yang beriman sekaligus Nabi-Nya.
Namun Allah azza wa jalla takdirkan baginya menjadi anak dari seorang ayah
yang kufur. Maka terputuslah hubungan anak dan ayah, tersebab sang ayah memutus
mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat Al
Mumtahanah ayat 4, “Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya
aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun
dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata): ‘Ya Tuhan kami hanya kepada
Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya
kepada Engkaulah kami kembali.’” Ia memang tetap hormat terhadap ayahnya, namun
ia tak mampu menolong yang menyelisihi ketetapan Allah.
Ketiga;
konsepsi Tauhid seorang Suami terhadap Istri yang kufur.
Ialah
Nuh dan Hud alaihimassalam, dua orang hamba yang beriman sekaligus
Nabi-Nya. Namun Allah azza wa jalla takdirkan baginya menjadi suami bagi
istri yang kufur. Maka terputuslah perlindungan suami terhadap istri, tersebab
sang istri memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan
dalam surat at Tahriim ayat 10, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai
perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua
orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu
berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat
membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya):
‘Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).’”
Keempat;
konsepsi Tauhid seorang Istri terhadap Suami yang kufur.
Ialah
Asiyah, seorang hamba yang beriman. Namun Allah azza wa jalla takdirkan
baginya menjadi istri bagi suami yang kufur. Maka terputuslah pengabdian istri
terhadap suami, tersebab sang suami memutus mata rantai Tauhid kepada Allah.
Inilah yang diabadikan dalam surat at Tahriim ayat 11, “Dan Allah membuat istri
Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Rabb-ku,
bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah
aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.’”
Kelima;
konsepsi Tauhid terhadap Masyarakat atau Suku yang kufur.
Ialah
para pemuda Kahfi, sekelompok hamba yang beriman. Namun Allah azza wa jalla
takdirkan memiliki suku dan masyarakat asal yang kufur. Maka terputuslah loyalitas
kesukuannya, tersebab Suku-nya memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah
yang diabadikan dalam surat al Kahfi ayat 13 – 16, “Kami kisahkan kepadamu
(Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda
yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan
Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Tuhan
kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan
selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang
amat jauh dari kebenaran.’ Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai
tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang
terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan apabila kamu
meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah
tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian
rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan
kamu.”
Konsepsi
Tauhid Melahirkan Umat Moderat
Dengan
konsepsi Tauhid yang tercermin pada setiap individu beriman tersebut dan tampil
dalam sikap tatanan keluarganya, maka akan lahirlah sebuah umat yang moderat.
Bahwa loyalitas dibangun bukan berdasar pada sentimen kekerabatan maupun
kedekatan, namun karena faktor kebenaran. Inilah letak moderatnya, sebab semua
ditimbang berdasar kacamata keadilan yang terukur, buka perasaan yang kabur.
Hal ini bukan mustahil, sebab sejarah telah mengajarkan dan al Qur’an telah
mengabadikan.
Beginilah
umat ini dibangun, jauh dari kefanatikan yang menjijikkan. Sebagaimana sabda
Rasulullah, “Tinggalkanlah hal itu, karena itu adalah sikap yang menjijikkan.”
Beliau juga bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang yang menyerukan
fanatisme; bukan termasuk golongan kami, orang yang berperang atas nama
fanatisme; dan bukan termasuk golongan kami, orang yang mati demi sebuah
fanatisme.”
Maka
Allah telah mengajarkan melalui Rasul-Nya. Sebagaimana sikap Rasulullah terhadap
Abu Lahab (pamannya) dan Abu Jahal (sepupunya). Meski mereka memiliki hubungan
keluarga, namun penolakan Abu Lahab dan Abu Jahal akan konsepsi Tauhid telah
membuat mereka membenci Muhammad.
Begitupun
selanjutnya sejarah permulaan umat ini telah mengajarkan. Sebagaimana
berhimpunnya Shuhaib dari Romawi, Bilal dari Habasyah, dan Salman dari Persia.
Meski mereka tidak memiliki hubungan keluarga, namun berangkat dari konsepsi
Tauhid maka mereka dipersaudarakan dan hidup saling mengasihi.
Inilah
umat moderat yang tidak ada fanatisme kesukuan, keturunan dan kedaerahan.
Menjadi moderat, karena mengukur segalanya bukan berdasar pada kedekatan suku,
keturunan maupun kedaerahan; melainkan berdasar kebenaran yang hakiki.
Epilog
Beginilah
Kepribadian Islam yang seharusnya. Bahwa Islam tumbuh dalam setiap individu
kita; tidak sebatas ucapan lisan, tidak sekadar simbol, dan juga bukan warisan.
Bahwa Islam tidak cukup hanya dinyatakan, namun juga diimplementasikan. Bahwa
Islam tidak cukup hanya tampil dengan simbol-simbol, namun juga ditanamkan
nilainya dalam ruh kehidupan. Bahwa Islam tidak cukup hanya sebagai warisan,
namun harus diselami dengan sepenuh pemahaman.
Dengan
demikian, maka Tanah airnya bukanlah sepetak tanah sebatas negara yang kita
diami, Identitasnya bukanlah hanya legal-formal kartu identitas, Kekerabatannya
bukanlah dibatasi ikatan darah, serta Panjinya bukanlah sebatas kebangsaan.
Inilah
konsepsi Tauhid yang sesungguhnya. Bahkan kemenangannya pun bukanlah secara
militer. Sebab Allah subhanahu wata’ala telah nyatakan bahwa perspektif
kemenangan dalam konsepsi Tauhid adalah Berbondong-bondongnya manusia memeluk
Islam, bukan sekadar penaklukan militer. Sebagaimana yang telah dinyatakan
dalam surat an Nashr.
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar