Jumat, 12 Juni 2015

INNALILLAHI… ANAKKU DIBAWA KABUR FLASHDISK!


IRFAN AZIZI, (7/12/2010) _ Aku terpukul. Seakan lebam dalam benakku tak pula hadirkan jumput belas kasih sang masa padaku. Seharian ini, aku terdera dengan panik dan pilu. Awal tahun baru yang tidak indah, resahku.
            Menjalani hari pertama di tahun 1432 H dengan nuansa jiwa seperti ini sungguh tak nyaman. Aku linglung. Aku lunglai. Ah, memang semua kepunyaan Allah dan pasti kan kembali kepada-Nya. Tapi…
            Ya, tapi flashdiskku telah tiada. Itu yang menikam jiwaku. Tepat pada 1 Muharram flashdisk itu tiada. Hilang. Entah ke mana. Aku sudah memburunya di lorong-lorong bus kampus, di selasar gedung kuliah, di tapak jalan yang semula kulewati. Namun tetap tak ada.
            Seharian ini aku lemas sekali. Bukan karena tiadanya wujud sang flashdisk, tapi karena dia telah kabur membawa anak-anakku. Ya, anak-anak pikiranku telah dibawanya kabur menghilang. Tega dan kejamnya.
            Sebab, ada empat anak pikiranku yang telah besar dan siap tuk dilepas mengembara di pelataran dunia ini. Mereka adalah naskah-naskah yang hampir genap sempurna. Memang sudah enam bulan ini aku biarkan mereka di ruang flashdiskku. Rencananya, esok akan kugarap lagi. Kuajak lagi ia untuk menyempurnakan diri. Sekaligus mengawali langkah di awal tahun.
            Namun, ternyata ia telah hilang dibawa sang flashdisk dan tak terlacak oleh radarku. Mungkin ia terjatuh, sebab saku celanaku ternyata berlobang. Itu yang baru kusadari belakangan. Sesalnya lagi, celana yang kukenakan ini adalah celana pemberian. Uh.., mungkin lain waktu jangan suka pakai celana pemberian orang lain ya.. Batinku menerka hikmah di balik itu.
            Akibatnya, begini beratnya ditinggal naskah-naskah itu. Ini kejadian yang kedua, sebelumnya 3 tahun yang lalu -sebelum berangkat ke Pakistan- aku pernah juga kehilangan naskah yang teronggok di sekeping CD. Gara-garanya aku salah mengkopi filenya, dan filenya keburu dihapus.
            Tapi sudahlah. Kekecewaan dan keterpukulan ini biarlah mencair dalam sujudku, atau menguap dalam tengadah tanganku. Mungkin ini cara Allah meleraikan aku dari kecamuk dunia. Mungkin ini skenario Allah untuk mengosongkan kamar dataku, agar benakku di tahun ini bisa lebih giat menetaskan anak-anak ide dan pikiranku.
            Aku memang sedang bersiap untuk terlibat lebih intensif dalam proyek kehidupan ini. Anak-anak pikiranku akan kularikan di lahan lokal, nasional, dan dunia. Ke sanalah naskah-naskah itu akan kugiring.
            Di sini, aku tidak dalam sendiri dalam kerja ini. Bersama bahtera FLP-ku, kan kulabuh dan hampirkan sauh di dermaga-dermaga peradaban insani. Bahkan peradaban hewani dan nabati. Karena kekhalifahan kita di dunia memang untuk semesta itu.
            Ini bukan sekadar ternak mimpi. Bahkan ini telah menginjak masa penetasan ide, dan terus merawat tumbuh berkembangnya narasi kehidupan nan rimbun teduh  bersahaja.
            Dan soal hilangnya naskah-naskah itu, sudahlah. Aku memang harus memulai kembali. Menyiapkan rombongan narasi berikutnya. Toh, penaku tetap tak boleh kering tintanya. Lagi pula, sumber ilmu sebagai bahan racikan tak pernah hilang. Allah azza wa jalla itulah sumber ilmunya.
            Sebab, bagaimanapun ini takdir-Nya. Aku tetap yakin, pada kehendak baik-Nya bagiku. Karena itu konsepsi aqidahku. Itu pula rahmat yang sejuk menyiramiku saat gersang melanda.
            Dan esok tanggal 8 Desember, tampaknya aku harus mulai menikam huruf demi huruf ke lembar kehidupan. Menikam dan terus menikam. Hingga kata terjuntai merajut kalimatnya. Dan narasi terentang memenuhi kreasi kita.
            Sebagaimana 23 tahun yang lalu, anak-anak Palestina harus menikam batu demi batu untuk menampar penjajah Zionis. Menikam dan terus menikam. Hingga tunggang langgangnya tank-tank beserta pasukan penjajah itu. Hingga terabadikannya revolusi masjid itu, atau yang sering kita sebut sebagai gerakan intifadhah.
            Pedihku kehilangan anak-anak pikiranku itu tentu tak seperih ibu-ibu Palestina yang kehilangan anak-anaknya karena diculik dan dibunuh. Aku tahu, itulah kaedah sejarah. Berlaku bagi peradaban massa dan individu. Berlaku bagi Negara dan sesosok manusia sepertiku. Seperti itu pula kaedah yang terpapar dalam Al-Qur'an.
            Namun, hamparan nestapa itu akan menjadi secercah hasrat cita bagi insan beriman. Bukankah begitu yang ada dalam surat ketiga ayat 138?
            Dan aku, yang meyakini keabsahan Al-Qur'an, keabsahan pembawanya, dan lebih-lebih dengan kerendahan hati menerima maknanya, akan berusaha belajar untuk melaksanakannya. Agar kata menjadi laku, dan laku itu mensolidkan pengetahuanku akan Al-Qur'an dan pesan-pesannya.
            Maka, walau aku terpukul dan telah lebam, dalam tatihku tetap kutiti taut demi taut harapan. Merentang peta perjalanan selanjutnya. Menyiapkan lahan-lahan bermain bagi anak-anak pikiranku. Dan tentunya juga, menyiapkan pendamping hidupku.
            Ya, pendamping ini sungguhan. Karena kerja dan karya semakin menuntut adanya pendamping. Ini bukan racau manusia jalanan. Ini adalah kesadaran manusia petualang. Ini adalah kaedah pula. Karena, biasanya para ‘orang besar’ tumbuh berkat topangan dua wanita hebat. Dua wanita itu adalah ibunya, dan juga istrinya. Bisa dua-duanya. Bisa pula salah satunya.
            Dan aku mulai merasa beban kerja dan karya dakwah yang kian semakin. Dan pendamping hidup itu, bukan lagi keinginan, tapi kebutuhan.
            Maka rencana strategis selanjutnya adalah memadukan capaian kognitif, afektif, dan psikomotorku. Antara daya cita dan daya aksi, yang dibalut kekayaan intelektual, kekayaan finansial, dan kekayaan sanubari.[]

Refleksi awal tahun 1432 H
Dalam himpitan dinginnya hutan dan liku lembaran teks aqidah yang kan diujikan hari esok.

Tidak ada komentar: