Beberapa saat lalu, saya diminta untuk membahas tema "Cinta, Jodoh, Penyakit Cinta". Tema yang sangat padat. Yang saya pikirkan ketika ingin mengupasnya adalah bagaimana membedah tema klasik ini dari sisi yang
kira-kira belum pernah teman-teman masuki.
Lalu saya juga diberi poin-poin yang perlu dibahas, yaitu:
1. Apa yang membedakan cinta dengan penyakit cinta?
Bagaimana cara mengobatinya?
2. Menata hati dan menghadapi gejolak saat jomblo.
3. Kaidah jodoh.
4. Jodohku cerminan diriku.
5. Kapan aku akan bertemu jodohku?
6. Mengundang jodoh terbaik.
Kira-kira dari enam poin itu, intinya ada pada poin ketiga yaitu
Kaedah Jodoh.
Baiklah. Maka kira-kira peta bahasan kita berkisar antara:
1. Aktor atau Pelaku (yaitu Jodoh)
2. Kegiatannya (yaitu Cinta)
3. Keterangan dampak (yaitu Penyakit Cinta)
Kalau dibahasakan kira-kira bisa menjadi kalimat seperti ini: Sepasang atau seorang JODOH melakukan CINTA yang berakibat PENYAKIT
CINTA.
Nah, karena seperti itu, maka mari kita kupas
satu-persatu. Dari Subjek, lalu Predikat, dan Keterangan.
Subjek JODOH. Biasanya pertanyaan terkait subjek adalah SIAPA? Siapakah Jodoh?
a. Apakah yang menjadi pasangan kita? Bila iya, kenapa ada kaedah
perceraian dalam agama? Artinya meskipun sudah menikah, berarti belum tentu
jodoh karena adanya potensi cerai?
b. Apakah yang mirip kita? Jika iya, berapa banyak kita mendapati
sepasang suami-istri yang sama sekali tidak mirip bahkan bertentangan?
c. Apakah yang kita impikan? Jika iya, berapa banyak impian yang
akhirnya hanya menjadi kenangan? Apakah boleh mengimpikan jodoh? Bukankah ada
kaedah menyatakan, bahwa jodoh itu rahasia Tuhan? Lalu kenapa kita sok-sokan
mengetahuinya?
Silakan direnungkan masing-masing!
Predikat CINTA. Biasanya pertanyaan terkait predikat adalah APA? Apa itu Cinta? Dengan meletakkan CINTA dalam susunan predikat, maka secara
tidak langsung saya ingin menyampaikan bahwa cinta itu adalah kata kerja. Maka belum termasuk cinta yang hanya dirasakan dan dipikirkan,
tapi cinta itu yang dikerjakan. Silakan direnungkan masing-masing!
Keterangan PENYAKIT CINTA. Biasanya pertanyaan terkait keterangan adalah BAGAIMANA? Bagaimana PENYAKIT CINTA? Sederhananya adalah penyakit yang menjangkiti perasaan, karena
hilangnya rasional dan ketawadhu'an di hadapan Yang Maha Kuasa. Silakan direnungkan masing-masing!
Bagaimana cara mengetahui yang namanya jodoh atau bukan?
Saya kira tidak akan muncul pertanyaan seperti ini bila kita
fokus pada Cinta, bukan pada jodoh. Sebab cinta adalah kata kerja yang kita
bisa lakukan. Sedangkan jodoh adalah pelaku yang tidak ada kuasa atasnya
kecuali Allah. Maka tidak dibenarkan memaksakan seseorang untuk jadi jodoh kita,
sedangkan ketauhidan kita telah membebaskan diri dari penghambaan kepada sesama
menuju penghambaan kepada Allah semata.
Tapi kira-kira yang dimaksud oleh pertanyaan ini adalah Siapa itu
Jodoh? Saya mencari definisi dalam agama ini tidak ada persamaan kecuali
diwakili dengan kata Taqdir. Jodoh ini kan logika barat, dalam logika Islam tidak ada
istilah jodoh.
Tapi kita bisa membuat makna dari penggunaan kata dalam kalimat. Misalnya
setelah menikah biasa dikatakan, "Dia adalah jodohku." Jadi maksudnya kira-kira, "Dia adalah taqdirku."
Nah, karena itu saya cenderung memaknai jodoh itu adalah taqdir.
Sebagian taqdir tidak bisa berubah, sebagiannya bisa berubah-ubah. Karena itulah
ada yang langgeng, ada pula yang berpisah.
Karena jodoh adalah taqdir, maka tidak ada cara
mengetahuinya kecuali setelah itu terjadi. Karena itu tidak ada istilah mematok
jodoh. Bila itu terjadi, maka kemungkinan ada pergeseran nilai dari kuasa Allah
kepada kuasa kita, dari menghamba kepada Allah semata menjadi menghamba kepada
diri sendiri. Inilah awal mula munculnya penyakit cinta. Karena tumbuh tidak
sesuai alur semestinya, maka berpenyakitan.
Apakah dosa bisa menghalangi jodoh?
Jodoh sebagai sebuah karunia rezeki, maka bisa jadi dosa akan
menghalangi kita mendapatkannya. Tapi jangan mutlak dipahami bahwa yang belum mendapatkan karunia
jodohnya maka pasti karena dosa-dosanya. Sebab berapa banyak ulama yang hingga
meninggal tidak ditaqdirkan menikah?
Sekali lagi, kuasa kita ada pada kata kerja cinta, bukan pada
menentukan subjek (jodoh). Sebab yang kuasa atas semua subjek di muka bumi ini
hanya Allah semata.
Apa sebenarnya calon jodoh kita itu banyak? Atau cuma 1?
Sebagaimana kemungkinan karunia rezeki dan taqdir, ia bisa
sangat banyak. Tapi meskipun sangat banyak kan kita tidak tahu, sebab yang
mengetahui ketetapan rezeki kita hanya Allah pun yang mengetahui segala taqdir
hanya Allah semata.
Sekali lagi, fokuslah pada hal yang kita kuasa atas itu. Jangan
fokus pada yang kita tidak punya kuasa. Kuasa kita adalah bekerja (Cinta), tapi subjek cinta penguasanya hanya Allah.
Ikhtiar seperti apa yang diridhoi Allah untuk menemukan
cinta-Nya?
Allah akan ridho bila tidak menyelisihi kehendak-Nya. Ikhtiar yang diridhoi adalah Ikhtiar yang tidak melampaui batasan
kuasa diri dan tidak mengabaikan kuasa-Nya.
Bila dalam Ikhtiar kita merasa yakin sekali bahwa dia jodoh kita
lalu mengejar-ngejarnya, maka inilah Ikhtiar yang sudah melampaui kuasa diri. Sebab kita
selamanya tidak pernah punya kuasa atas orang lain.
Bila dalam Ikhtiar kita melakukan pendekatan yang melanggar syariat
dengan pacaran atau membuka batasan komunikasi lawan jenis sehingga menimbulkan
perasaan yang tak terkendali sampai akhirnya hilang rasionalitas kita dan
ketawadhu'an di hadapan-Nya, maka ini berarti telah mengabaikan kuasa Allah yang
Maha Berkehendak membuat aturan bagi kita.
Maka berikhtiarlah dengan perantara yang dapat dipercaya, sembari
terus berdoa. Dengan demikian kita akan menjunjung tradisi musyawarah sehingga kita
tetap tawadhu' di hadapan Allah.
Bagaimana cara mendapatkan jodoh yang cocok?
Cocok itu sangat subjektif. Ada yang cocoknya bila ada Kesamaan.
Ada yang cocoknya bila butuh Keseimbangan. Ada yang cocoknya bila butuh
Kelengkapan. Nah, kita tinggal memahami diri kita tipe yang mana?
Bila kita tipe yang butuh Kesamaan, maka cocoknya kita bila jodoh
itu punya hobi atau kecenderungan yang sama. Bila kita tipe yang butuh Keseimbangan, maka cocoknya kita bila
jodoh itu menyeimbangi kita. Misalkan kita suka marah, maka pasangan kita yang
penyabar. Bila kita tipe yang butuh Kelengkapan, maka cocoknya kita bila
jodoh itu melengkapi kita. Misalnya kita suka masak tapi malas bersih-bersih, maka
pasangan yang cocok adalah yang suka bersih-bersih.
Agak rumit memang membaca kepribadian diri.
Apa yang menyebabkan saat usia matang belum juga menemukan
jodohnya?
Jawabannya karena memang taqdirnya demikian. Kita harus ikhlas
menerima taqdir. Tapi kalau mau mengoreksi diri sendiri, silakan dicermati beberapa
poin ini:
Pertama, mungkin kita belum sungguh-sungguh ingin menikah. Tanyakan ke
hati terdalam.
Kedua, mungkin kita sudah sangat ingin menikah, namun kita
sesungguhnya belum mampu menikah.
Ketiga, mungkin kita sangat ingin dan sudah mampu, tapi Allah belum
berkenan atas kita. Bisa karena Allah ingin menghukum kita karena kesalahan kita, atau karena Allah ingin menguji kita karena keshalihan kita.
Epilog
Bila memang sudah berusaha, insyaAllah pada usaha itu ada nilai pahalanya. Adapun siapa calon yang ditetapkan, itulah ketetapan Allah bagi kita. Bilapun dari calon itu ada kekurangan, memang akan selalu seperti itu siapapun calonnya. Tapi kekurangan itu dalam manajemen kehidupan kan selalu bisa diubah menjadi kelebihan.
Kekurangan menjadi beban ketika kita berpikir menerima. Tetapi kekurangan akan menjadi peluang amal, ketika kita berpikir memberi. Dan cinta adalah kata kerja memberi.
Terakhir, saya ingin menggarisbawahi istilah Penyakit Cinta. Penyakit Cinta itu hanya akan muncul bila kita mulai mematok
jodoh kita. Sebab itu artinya sudah melampaui batasan diri.
Mereka yang terlalu larut dengan perasaan dan hilang rasionalitas akan
terjangkit penyakit cinta. Contohnya ketika mengatakan bahwa dia sepertinya
cocok jadi jodohku, itu kan tidak rasional. Belum terikat apa-apa sudah berani-beraninya
membuat kaplingan.
Tapi yang rasional sekalipun bila tidak ada ketawadhu'an di hadapan
Allah, juga akan terjangkit Penyakit Cinta. Contohnya dia memang tidak mematok
jodoh, tapi mulai menghitung-hitung kemungkinan kecocokan. Rasional sih, tapi di mana
ketawadhu'an dia kepada Allah? Seakan-akan dia lebih tahu dari Allah.
Nah, karena itu sebaiknya kita selalu sadar bahwa di atas
perasaan itu ada rasionalitas, tapi di atas rasionalitas itu ada ketawadhu'an
kepada Allah.
Dahulu saya ingin menikah tidak peduli kapan, di mana dan dengan
siapa. Karena itu perkara teknis. Yang terpenting adalah kita menikah untuk apa?
Semoga bermanfaat untuk teman-teman semua...
Catatan Senin malam tanggal 17 bulan Oktober tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar