Senin, 04 Juli 2016

HASIL KESABARAN PASCA BERPUASA (1)


Secara Fiqh Bahasa, puasa juga dinamakan sabar. Karena puasa menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri. Menahan diri, itulah esensi kesabaran. Maka puasa memiliki esensi membina kesabaran. Demikianlah kiranya hasil dari serangkaian puasa Ramadhan kita.


Dalam ‘Uddah as Shabirin, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa sabar merupakan kekuatan puncak perbaikan jiwa seseorang dan sumber kebajikannya. Karakter ini ketika dibawa dalam ranah dakwah, maka kita akan dipertemukan dengan ayat ke 127 dan 128 dari surat an Nahl. Bahwa Allah subhanahu wata’ala pernah berfirman kepada Nabi-Nya, “Bersabarlah (hai Muhammad), tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.

Lebih jauh lagi, hendaknya kesabaran-kesabaran kita juga dipertemukan dengan motif-motif sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al ‘Ankabut ayat 1-3. “Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia telah mengetahui orang-orang yang berdusta.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun telah sabdakan, bahwasannya seseorang itu akan diuji berdasarkan kualitas agamanya. Sehingga semakin agamanya kuat, ujiannya pun akan bertambah besar.

Ibnul Qayyim pernah mengulas kesabaran ini dalam konteks seorang Da’i. Bahwa hendaknya kesabaran melekat pada seorang Da’i sebelum berdakwah, ketika berdakwah, dan setelah berdakwah. Sebelum berdakwah dengan meluruskan niat dan membulatkan tekad, sebab keduanya tidak mudah diluruskan dan dibulatkan kecuali dengan energi kesabaran. Ketika berdakwah dengan tidak terjebak dalam kemalasan dan sikap berlebih-lebihan, sebab untuk dapat proporsional dalam proses yang tak pasti durasinya memerlukan modal kesabaran. Setelah berdakwah dengan memelihara ketaatan, lebih-lebih saat harus berpindah dari hal yang sifatnya rahasia menuju hal yang sifatnya terbuka tentu sangat perlu mental kesabaran.

Ada yang menarik dari ungkapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya sabar adalah bagian dari iman, bagaikan kepala bagian dari badan. Tidak ada keimanan tanpa kesabaran.” Artinya, memang begitulah Allah azza wa jalla telah menetapkan bahwa sabar sebagai bagian dari unsur kehidupan beragama. Sebagaimana firman-Nya di surat al ‘Ashr, ia dimasukkan dalam salah satu dari empat unsur penting menuju kesuksesan dan kebahagiaan hidup manusia; Beriman, Beramal, Menasehati Kebaikan dan Menasehati Kesabaran.

Maka mengajarkan nilai kesabaran generasi keturunan kita merupakan hal penting, sebagaimana Luqmanul Hakim juga mengajarkannya kepada sang anak. “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar,” begitu nasehat Luqmanul Hakim. Lalu lanjutnya di surat Luqman ayat 17, “Dan bersabarlah terhadap apa yang telah menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Demikianlah kebijaksanaan seorang ayah mengajarkan kepada anaknya akan kesabaran. Sebab kata Allah azza wa jalla di surat as Sajdah ayat 24, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar.” Maka tidak ada seorang pun yang akan tampil memimpin dengan petunjuk-Nya, kecuali setelah ia bersabar. Kenapa?

Karena jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak akan mendatangkan kemudharatan kepadamu. Begitu pernyataan Allah subhanahu wata’ala dalam surat Ali Imran ayat 120.

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memohon kematangan pribadi dan tekad jiwa yang diabadikan dalam riwayat Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad, kita dapati ujung kalimat beliau yang menarik. “Pohon kematangan dan tekad yang kuat tidak akan tegak melainkan berasaskan kepada akar kesabaran.

Dengan kesabaran kita akan menemukan keyakinan dan kesyukuran. Dengan kesabaran pula kita akan mampu totalitas bertawakkal. Kita perlu kesabaran agar tidak mudah bosan, tidak mudah berkeluh, serta tidak mudah tergesa-gesa dan lepas kontrol dalam segala aspek.

Semoga kita bisa terus meningkatkan kualitas kesabaran hingga memenuhi tiga syaratnya; ikhlas karena Allah, tidak mengeluh kepada orang lain, serta tepat waktu pada awal permasalahan muncul. Itulah sebenar-benar kesabaran. Sehingga dengannya kita akan mendapatkan kesuksesan apapun, termasuk dalam dakwah. Seperti yang disampaikan oleh Syeikh Salim al Hilali dalam ash Shabru al Jamil-nya, “Sedikit sekali orang yang bersungguh-sungguh dalam suatu permasalahan dan ia selalu menyertakannya dengan kesabaran kecuali ia akan memperoleh kesuksesan.



Muhammad Irfan Abdul Aziz
29 Ramadhan 1437 H

Twitter: @Daybakh
BBM PIN: 56C730A3
Channel Telegram: @MadrasahRamadhan


Tidak ada komentar: