Jumat, 22 Juli 2016

Bagian V: POTRET TURKI DARI PARA TOKOH (Kesan-Kesan yang Tersimpan)


“Mereka para pelaku kudeta harus membayar harga mahal pengkhianatannya terhadap Negara. Mereka telah menangkap dan membawa sekretaris umum Kepresidenan. Perintah kudeta ini berasal dari Pensylvania. Keputusan penangkapan sudah dilakukan. Operasi pembersihan terus dilanjutkan. Kami akan membebaskan Negara ini dari pendudukan tidak sah. Upaya kudeta ini hanya dilakukan oleh satu kelompok kecil tentara.”


Itu adalah press release Presiden Erdogan setibanya di Bandara Internasional Ataturk pada Sabtu 16 Juli yang disiarkan oleh ahaber.com. Dalam rilisnya itu Erdogan sempat menyebut Pensylvania, itulah tempat Fethulleh Gulen kini. Bahkan Erdogan juga telah menambahkan seruan kepada Fethulleh Gulen dan pengikutnya untuk menghentikan pengkhianatan.

Tidak berjeda lama setelah pernyataan Erdogan itu, polisi dan massa sigap meringkus para pelaku kudeta. Sampai siang harinya, sebanyak 1563 tentara kudeta telah berhasil ditahan. Sementara korban terus bertambah sebanyak 90 orang meninggal dan 1154 orang luka-luka.

Erdogan dengan lantang lalu menyatakan, “Masjid adalah barak kami. Kubah masjid adalah topi baja kami. Menara masjid adalah bayonet kami. Orang-orang beriman adalah tentara kami.”

Menyikapi hal itu, serta-merta pula para pelaku kudeta kocar-kacir. Bahkan sebagian tentara Kudeta mencoba kabur ke Yunani dengan helikopter, meminta suaka politik. Sayangnya Yunani masih berpikir sepenuh kesadaran, mereka yang datang ini adalah pesakitan yang sama sekali tidak memiliki kekuatan apa-apa walaupun sekadar kekuatan moril. Maka ditolaklah permohonan itu oleh Yunani.

Orang mengatakan, bukankah Yunani juga mendukung Kudeta? Bukankah Yunani juga tidak suka dengan Turki sejak sejarah silam? Lalu kenapa menolak permohonan suaka para pelaku Kudeta?

Persoalannya, mereka datang dalam kondisi kalah yang paling kalah. Seandainya mereka datang membawa sejumput saja keberhasilan, sangat mungkin Yunani menjadi tempat rehat yang indah bagi mereka. Itulah naasnya para pelaku Kudeta, mereka kembali dalam kondisi gagal. Siapa yang mau menerima kegagalan begitu saja?

Bahkan Yunani kemudian mengatakan, “Kami akan kembalikan helikopter-helikopter yang dipakai para tentara pemberontak ke pemerintah Turki sesegera mungkin.”

Baiklah. Kita tinggalkan sejenak hiruk-pikuk dalam negeri Turki. Mari kita menyodorkan telinga menyimak kesan-kesan yang tersimpan dalam benak-benak beberapa tokoh umat di dunia. Di bumi Palestina, Ismail Haniyah dan Khalid Misy’al beserta masyarakatnya mengucapkan terima kasih kepada Erdogan. Karena Erdogan telah menjaga amanah untuk memelihara negerinya, dan terpelihara negerinya akan bermanfaat bagi terpeliharanya tanah Palestina.

Dr. Yusuf al Qorodhowy dalam status media sosialnya pun menerakan apa yang dahulu pernah dinyatakan Khadijah kepada Muhammad saat menanggung rasa takut di awal penerimaan wahyu. “Berbahagialah wahai rakyat Turki. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya, karena kamu menanggung kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu, serta engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” Begitu gubah beliau sebagai persembahan untuk bangsa Turki.

Sementara Dr. Ali al Amiri, justru terpancing untuk menghadirkan kenangan silamnya tentang Turki. “Setahun lalu saat saya berada di Istanbul pada masa pemilihan Presiden,” tulisnya mengenang di media sosialnya. “Saya bertanya kepada resepsionis hotel, ‘Siapa yang akan kamu pilih?’ Dia mengatakan, ‘Saya sekuler dan benci Erdogan, karena dia mewajibkan hijab di sekolah-sekolah.’ Lalu katanya, ‘Tetapi aku akan memilihnya.’”

“‘Apa sebabnya?’ tanyaku,” begitu Syeikh Al Amiri melanjutkan catatannya. “Iapun menjawab, ‘Pertama, partai-partai sekuler mengambil pajak dan tidak melakukan apa-apa, dan Erdogan serta Partai Pembangunan telah mengambil pajak dan membangun negeri. Kedua, dahulu saya tidak menjenguk ibuku kecuali sebulan sekali karena jauhnya kota terpencil kami dari Istanbul, tetapi sekarang saya dapat menjenguknya setiap pekan karena Erdogan dan partainya membuat jalan cepat ke kota kami. Ketiga, kami bila mengundang masyarakat yang datang paling seribuan orang, sedangkan Erdogan bila mengundang masyarakat akan datang padanya jutaan orang.’”

“Itulah tiga keberhasilan yang disimpulkan oleh perempuan sekuler itu,” begitu simpul Dr. Ali al Amiri menutup catatan kenangannya yang ia sampaikan di akun media sosialnya.

Yang terakhir itu, baru saja kita saksikan bersama. Bertemunya jutaan massa dengan Erdogan dalam kondisi paling pelik di Bandara Internasional Ataturk.



Nusantara, 21 Juli 2016

Tidak ada komentar: