Minggu, 11 September 2022

Kecintaan Kita Kepada Al Qur’an

 


Al Qur’an itu istimewa. Satu-satunya yang bukan makhluk di sekitar kita, sehingga tak melekat padanya sifat-sifat kemakhlukan yang serba berkekurangan, menjadi pudar dan punah. Al Qur’an kekal dan terjaga, maka ia cocok di segala ruang dan waktu, hingga hari inipun al Qur’an tetap relevan dan diperlukan dalam kehidupan kita.

Menyinergikan aksi untuk masyarakat cinta al Qur’an tentunya merupakan aktivitas yang utama. Sebab bila masyarakat dekat dengan al Qur’an, maka masyarakat akan mudah diajak berkebaikan. Bagi para aktivis dakwah, Al Qur’an adalah tema pemersatu. Sebab wujudnya yang mutawatir, diterima secara sepakat oleh seluruh umat Islam, serta karena merupakan perkataan Allah maka akan terasa nikmat di hati semua orang. Maka dakwah akan mudah bila berangkat dari al Qur’an, dan dalam perjalanannya jangan sampai lepas interaksi kita dengan al Qur’an.

Teladan bagi kita yang terbaik dalam interaksi al Qur’an tentunya Rasulullah dan para sahabatnya. Ada satu ayat yang menggambarkan bagaimana para sahabat menyikapi al Qur’an. Kita bisa baca surat at Taubah ayat 124:

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنًا ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَزَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.

Jadi saat kita menggalakkan interaksi dengan al Qur’an, sangat mungkin ada orang-orang yang tidak suka. Bahkan saling mengolok, bahwa al Qur’an itu tidak ada pengaruhnya bagi kehidupannya. Dan itu dalam konteks tafsir ayat tersebut, merupakan sikap orang-orang munafik. Adapun orang yang beriman, maka al Qur’an ini berfungsi menambah keimanan dan membuat hidup kita merasa gembira.

Ada dua ayat yang disampaikan Syeikh Hasan saat menulis Muqaddimah fii Tafsir atau dalam terjemahan Penerbit Pustaka dijuduli dengan Panggilan Al Qur’an. Ayat yang pertama beliau sampaikan di awal tulisannya adalah surat an Nahl ayat 97:

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Lalu ayat kedua yang beliau sampaikan adalah surat Thaha ayat 124:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".

Jadi, kalau kita mau mendapatkan kehidupan yang baik, maka kita harus beramal shalih dan menjaga betul rasa keimanan, termasuk dengan semua yang datang dari Allah. Tapi kalau menolak peringatan dari Allah, maka diberikan kehidupan yang sempit.

Sikap kita kepada al Qur’an menurut Syeikh Hasan dalam kitab tadi yang bisa kita simpulkan setidaknya tiga hal sebagai berikut:

Pertama, al Qur’an adalah kata keputusan, bukan sendau gurau. Barangsiapa yang meninggalkannya dengan sombong, dia akan dibinasakan Allah. Jadi kita mestinya memandang al Qur’an ini sebagai ketetapan atau keputusan Allah yang penting kita perhatikan. Kita tidak boleh sombong, baik menolak yang ada dalam al Qur’an maupun dengan menganggap al Qur’an itu tak penting diperhatikan. Kita harus memandang al Qur’an itu penting, sehingga apapun yang akan kita lakukan maka referensi utama dan pertamanya adalah al Qur’an.

Kedua, Para ulama tidak merasa kenyang terhadapnya dan para muttaqin pun tidak merasa bosan kepadanya. Inilah sikap berikutnya, setelah kita membersihkan rasa sombong terhadap al Qur’an, maka kita mesti berinteraksi dengan al Qur’an secara rutin tanpa merasa bosan.

Ketiga, Berkahnya yang terbesar ialah dalam memikirkannya dan memahami makna-makna dan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, kemudian mewujudkannya dengan perbuatan-perbuatan yang bersifat keagamaan dan keduniaan. Nah, sikap kita tidak cukup hanya dengan interaksi rutin dengan al Qur’an, namun juga memikirkan dan memahami yang terkandung di dalamnya. Inilah yang disebut dengan keberkahan terbesar dari interaksi al Qur’an.

Adapun dalam memahami makna dan maksud yang dikandung al Qur’an, tentu kita perlu menyelami tafsir demi tafsir ayat-ayatnya. Syeikh Hasan pernah ditanya tentang tafsir terbaik bagi al Qur’an, yang jawabannya adalah tafsir hati. Maksudnya tafsir dengan sanubari kita saat merasakan interaksi al Qur’an. Untuk bisa menghidupkan hati kita dalam menafsirkan al Qur’an, kita mesti menempuh 5 jalan ini:

Pertama, membaca dengan pemikiran dan khusyu’. Jadi saat membacanya, kita harus khusyu’ dan memikirkan betul kalimat demi kalimatnya.

Kedua, meminta ilham dan petunjuk. Bahwa pemahaman itu dari Allah, maka kita mesti minta kepada Allah agar mendapat ilham tentang kandungan-kandungan al Qur’an.

Ketiga, membulatkan pikiran yang tercecer ketika membacanya. Jadi kita ingat-ingat lagi lintasan-lintasan pikiran kita, lalu kaitkan dengan al Qur’an yang kita baca sehingga kita bisa merasakan ayat yang kita baca dalam perspektif yang beragam.

Keempat, memahami sejarah suci Nabi. Dalam interaksi al Qur’an, kita perlu juga membaca sejarah Nabi. Bagaimana pun al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, maka kita perlu mengetahui frame sejarah Nabi saat ayat demi ayat al Qur’an itu diturunkan.

Kelima, memperhatikan asbabun nuzul, serta hubungkan dengan tempat-tempat yang ada dalam sejarah ini. Langkah berikutnya adalah mengetahui sebab-sebab suatu ayat diturunkan. Selain juga perlu kita perhatikan tempat-tempat diturunkannya suatu ayat atau surat. Tentu bukan tanpa maksud Allah menurunkan al Qur’an di suatu tempat tertentu, pada waktu tertentu, serta terkait orang tertentu. Ini perlu menjadi perhatian kita agar hati kita dapat menyibak pemaknaan surat atau ayat dalam al Qur’an.

Begitulah kita menghidupkan tafsir hati kita. Adapun buku-buku tafsir bisa pula kita baca, namun bagaimanapun tafsir sangat terkait dengan ruang dan waktu saat dituliskan, juga terkait dengan kecenderungan sudut penafsirannya. Tentu kita secara pribadi perlu meningkatkan sensitivitas rasa saat menyelami al Qur’an dengan 5 jalan tadi.

Syeikh Ahmad Raisuni yang pernah menjadi Ketua Ikatan Ulama Muslim Internasional pernah menuliskan bahwa tujuan tertinggi dari al Qur’an adalah ilmu dan amal. Bahwa kita mestinya menambah ilmu dengan al Qur’an, serta mengoreksi pengetahuan kita dengan al Qur’an. Selanjutnya tentu mengamalkan ilmu dan pengetahuan yang didapat dari al Qur’an tersebut.

Bagaimana dengan para sahabat? Ibnu Abbas pernah menceritakan tentang sosok Umar bin Khaththab yang ketika memasuki rumahnya akan selalu menyebarkan al Qur’an dan membacanya. Begitu pula ketika ke pasar. Jadi di kalangan sahabat punya semangat untuk terus membagikan al Qur’an, membacakannya kepada orang lain, termasuk membagikan pencerahan-pencerahan darinya.

Cerita lainnya tentang Ibnu Mas’ud, yang bila berkumpul dengan saudara-saudaranya maka membacakan dan menjelaskan kepada mereka. Suatu ketika ada orang Badui bertanya, “Apa yang orang-orang ini lakukan?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Mereka berbagi warisan Muhammad, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian.”

Kita hari ini pun bisa melakukan hal serupa. Kita sebarkan al Qur’an di manapun, di rumah kita, di tempat kerja, bahkan di dinding-dinding media sosial kita. Bukan hanya teks ayatnya, namun juga pencerahan yang diambil dari ayat tersebut. Sehingga bukan sebatas kaligrafi yang menghiasi, namun pesan-pesan yang menginspirasi. Termasuk dalam hal ini memunculkan istilah-istilah yang digunakan dalam al Qur’an pada kehidupan sehari-hari kita. Karena diksi dari Kalam Allah tentu memiliki keunggulan yang tak tertandingi, tidak seperti diksi-diksi lontaran manusia yang akan sampai pada batas bosan dan usang.

Dan sesungguhnya, al Qur’an itu warisan Nabi Muhammad. Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, lalu diwariskan kepada umatnya. Maka kita perlu berebut untuk mendapatkan sebanyak mungkin bagian dari warisan ini, sebagaimana berebutnya kita pada warisan-warisan pada umumnya. Begitulah, kita harus saling berlomba menjadi yang terdekat dengan al Qur’an, menjadi yang paling memiliki al Qur’an. Allahummarhamna bilquran.[]

Tidak ada komentar: