![]() |
foto dokumen pribadi |
عنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي
بْنِ أبِي طَالِبٍ، سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ
يَرِيْبُكَ." [رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح]
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali
bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan
kesayangannya, dia berkata: Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam (sabdanya), “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang
tidak meragukanmu.” (Riwayat Tirmizi, dan dia berkata: haditsnya Hasan Shohih)
Sungguh apa yang dihafalkan oleh
cucu Rasulullah ini sangatlah padat akan pesan. Sabda Rasulullah itu ringkas,
namun menghimpun banyak makna. “Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang
tidak meragukanmu.” Begitu yang dihafalkan oleh Al Hasan, cucu Rasulullah,
putra dari pasangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Fathimah
binti Muhammad radhiyallahu ‘anha. Al Hasan yang kemudian memiliki putra
dengan nama Muhammad tersebut, telah mewariskan sabda ringkas itu kepada kita
semua. Maka, mari kita telaah warisan suratan tersebut!
Warisan itu oleh Imam at Tirmidzi
telah dihimpunkan dalam kumpulan bahasan Sifat-Sifat Kiamat, tepatnya pada bab
tentang perintah untuk berpikir dan bertawakkal. Sungguh arif Imam At Tirmizi
ketika meletakkan hadits ini dalam bahasan tersebut, yang kini kita dapat pahami
bahwa keragu-raguan adalah tabiat yang akan kian marak menjelang Kiamat. Kini
pun saat orang gencar menyatakan bahwa masa kehidupan semakin menuju akhir
zamannya, maka kita dapati pula bahwa di antara sekian tren yang marak dalam
kehidupan kita hari ini adalah tren kegalauan. Galau, itulah kosakata kekinian
yang tiba-tiba bisa menghinggapi kepribadian banyak orang.
Sementara Imam An Nasa’i meletakkan
hadits ini dalam bahasan yang lebih teknis yaitu tentang minuman. Bahwa Imam An
Nasa’i ingin memberikan contoh aplikasi dari hadits ini adalah pada perkara
minuman, yaitu pada bab tentang kesungguhan untuk meninggalkan hal-hal yang syubhat.
Sebab, di antara yang sering mengandung syubhat adalah pada konsumsi
kita, termasuk dalam hal yang kita minum.
Jadi kalau Imam Tirmizi hendak
memandang hadits ini dengan sudut pandang umum - filosofis, sementara Imam An
Nasa’i ingin memandangnya dari sudut pandang khusus – aplikatif. Selain pada
dua kitab Sunan yang disusun kedua Imam Hadits tersebut, hadits ini juga
termuat dalam Musnad Imam Ahmad.
Lalu, apa istimewanya hadits ini? Ibnu
Hajar al Haitsami telah menyodorkan dua kaedah yang berkaitan dengan hadits
ini. Pertama; sifat wara’ adalah inti dari ketakwaan, atau bahasa lainnya bahwa
ketakwaan kita tidak akan sempurna bila belum ada sifat wara’ dalam diri kita.
Kedua; hal yang meragukan akan menutup cahaya keyakinan, atau bahasa lainnya
bahwa kita tidak akan mendapatkan pencerahan dari keyakinan bila masih ada
keraguan yang menyelimuti.
Dua kaedah itulah yang disodorkan
oleh Ibnu Hajar Al Haitsami, yang sekaligus menguak urgensi dari hadits ini.
Sebab hadits ini akan mengantarkan setiap pribadi kita untuk memiliki sifat
wara’, yaitu menahan diri dari hal-hal yang meragukan. Sebab pula hadits ini
akan mengantarkan setiap pribadi kita untuk menyingkirkan keragu-raguan.
Memiliki sifat wara’ tersebut akan mengantarkan kita pada kesempurnaan Takwa,
sementara menyingkirkan keragu-raguan akan mengantarkan kita pada cayaha Keyakinan.
Sementara Taqwa dan Keyakinan adalah dua hal yang paling mahal dalam kehidupan
ini, karena pada keduanya kehidupan beragama kita akan menjadi baik.
Maka, mungkin kita bisa katakan bahwa
kegalauan itu bukanlah bagian dari keimanan. Atau bahasa lainnya, bahwa seorang
Mu’min tidak akan galau. Bagaimana akan galau, sementara dia meyakini akan
Qadha dan Qadar-Nya adalah baik seluruhnya? Bagaimana akan galau, sementara dia
bertakwa dan bertawakkal kepada Allah setiap waktunya?
Oleh karena itu, bila hadits ini
menghendaki adanya sifat wara’ dalam setiap pribadi kita, maka sesungguhnya
yang akan dihasilkan adalah sebuah mentalitas yang solid. Bahwa seorang mu’min
sejatinya memiliki mentalitas yang selalu berani bersikap, tidak mudah
ikut-ikutan, dan kehidupannya selalu berdasar pada pemahaman rasionalitas yang
kokoh.
Memang menariknya, dalam hadits ini
kita tidak hanya diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan, namun
juga diperintahkan untuk menuju hal-hal yang tidak meragukan. Artinya, seorang
muslim tidak cukup hanya berlepas tangan dengan hal-hal yang meragukan, namun
seharusnya segera mencari hal-hal yang tidak meragukan. Mencari itu perlu
pemahaman, karena itu perlu proses belajar yang terus-menerus. Itulah yang
dikehendaki dari hadits ini.
Sayangnya, sekarang umat Islam bila
dihadapkan pada hal-hal yang meragukan, hanya memilih menghindarinya. Bahkan
seringkali tidak mau membahasnya. Hingga ujungnya hanya melahirkan sikap tak
acuh pada persoalan-persoalan. Padahal, selain dipinta untuk meninggalkan yang
meragukan, kita juga dituntut untuk beralih ke hal-hal yang tidak meragukan.
Karena itu, keyakinan itu adalah hal yang harus kita usahakan. Kita akan yakin
pada sesuatu, kalau kita telah sungguh-sungguh mempelajari dan memahami
seluk-beluknya.
Sementara untuk dapat meninggalkan syubhat,
maka yang paling utama harus dipastikan bahwa kita telah meninggalkan yang
haram. Sebab, selama kita masih menyentuh yang haram, maka kita akan sulit
meninggalkan yang syubhat. Atau bisa dikatakan, bila kita kesulitan
meninggalkan yang syubhat, kemungkinan kita masih berinteraksi dengan
yang haram.
Adapun bila kita telah meninggalkan
yang syubhat dan memegang keyakinan, maka secara teknis ulama fiqh kita
telah merumuskan sebuah kaedah: “Bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan.” Artinya, apa yang telah kita yakini tidak bisa tiba-tiba
ditinggalkan hanya karena ada desas-desus yang meragukannya. Begitulah
sederhananya kehidupan beragama kita; tetaplah pada yang kita yakini, tidak
perlu goncang kejiwaan kita hanya karena ada keragu-raguan yang dihembuskan
oleh setan, kecuali bila datang hal lain yang lebih meyakinkan.
Semoga dengan kita meninggalkan syubhat
dan berpegang teguh pada hal yang tidak meragukan, maka kehidupan kita akan
diridhoi-Nya. Sebab itulah indikasi ketenangan hidup kita. Semua itu dimulai
dari kejujuran, maka jujurlah pada perkara yang sesungguhnya memang kita
yakini! Kejujuran itu sendiri memang akan melahirkan keyakinan. Karenanya
mereka yang tidak jujur, akan tampak tidak yakin, dan selanjutnya akan
menjalani kehidupan dengan penuh keragu-raguan.
Begitulah. Mereka yang jujur akan
hidup dengan penuh keridhoan dan ketenangan. Mereka yang menjalani kehidupan
dengan sepenuh keyakinan, akan hidup dengan tenang.
Maka, adakah tempat bagi kegalauan
dalam pribadi Imani seperti itu?
Jakarta, 4
Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar