Masjid Nurul Iman, Cijantung
KH. Ahmad Cholil Ridwan, Lc.
Ahad, 25 Desember 2016
I
SANTRI
Santri tamat pesantren, menjadi ustadz, menjadi Kyai, menjadi
Muballigh, menjadi Khatib; itu biasa. Saya bilang, mestinya santri Husnayain,
tamatan Husnayain, punya cita-cita menjadi Presiden, RI 1. Jadi Kapolri, jadi
Panglima TNI. Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,
Gubernur. Jangan jadi Kyai, Kyai banyak. Otomatis. Sudah lumrah, kan. Santri,
Ustadz, Kyai, Muballigh, Khatib, Penceramah. Tapi yang kita butuhkan adalah
ulama yang menjadi pemimpin. Ulama yang memimpin. Bukan hanya memimpin sholat
di dalam masjid, tetapi juga memimpin Negara di luar masjid. Itu yang kita
cari. Dan itulah jebolan pesantren Arqom bin Abi Arqom yang Kyai-nya Muhammad shalallahu
‘alaihi wasallam di Makkah. Sebelum Hijrah, Nabi Muhammad bikin pesantren
di Makkah, di rumah Arqom bin Abi Arqom. Alamatnya di kaki bukit Shafa.
Kemudian pindah Hijrah ke Madinah, yang menjadi orang nomor satu, Madinah
Munawarah 1, adalah jebolan pesantren Nabi Muhammad di Makkah. Abu Bakar
menjadi pemimpin di Madinah. Pemimpin Negara, pemimpin pemerintahan, pemimpin
perang setelah Rasulullah wafat, menggantikan Rasulullah. Makanya namanya
Khalifah, pemimpin yang datang belakangan setelah Rasulullah. Yang kedua Umar,
juga jebolan pesantren Makkah. Utsman, Ali, semuanya.
II
ULAMA
Jadi al Ulama waratsatul anbiya’, ulama pewaris para
Nabi. Apanya yang diwarisi? Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, memberikan contoh
sebagai sunnah sahabat. Ada sunnah Rasul, ada sunnah sahabat. Sunnah Rasul
artinya teladan yang diberikan oleh Rasulullah ketika masih hidup. Tetapi kalau
Rasul sudah meninggal, tidak ada lagi sunnah Rasulullah, yang ada sunnah
sahabat. Boleh tidak sahabat bikin sunnah? Ada haditsnya, “Hendaknya kalian
dengan sunnahku dan sunnah Khalifah-Khalifah yang mendapatkan petunjuk setelahku.”
Jadi jelas, bahwa pewaris para Nabi sesudah Nabi adalah Ulama. Tapi yang
diwarisi apa? Kepala Negara, kepala pemerintahan, panglima perang. Itu yang
diwarisi. Kita tidak. Ulama yang diwarisi apa? Imam shalat, Imam do’a, Imam
zikir, bukan Imam pemerintahan. Imam Haji, amirul Hajj, amirus Safar,
bukan Amir kayak di Imarat. Amir itu kan artinya pemerintah, Imarat itu
pemerintahan. Maka sudah lama saya canangkan, bahwa pesantren itu tempat
mengkader calon pemimpin umat, pemimpin bangsa, pemimpin Negara, pemimpin
pemerintahan, pemimpin militer. Itulah para jama’ah sekalian, bahwa santri itu
para kader pemimpin. Kader calon ulama, tapi yang memimpin. Seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali. Cuma bagaimana pemimpin Negara, apakah ia memiliki derajat
yang lebih rendah daripada ulama? Maaf, ulama ibadah mahdhoh, ulama
zikir, ulama shalat, ulama ibadah haji. Ini ternyata ulama yang memimpin, dicantumkan
namanya oleh Allah subhanahu wata’ala melalui lidah Rasulullah, sebagai
orang yang disebut namanya pasti masuk surga. Sepuluh orang yang dapat berita
gembira sebagai calon penghuni surga yang pasti, adalah modalnya 4 khulafa
ar rasyidin. Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman, di surga, Ali di
surga, baru yang lain. Zubair bin Awwam, jawara. Abdurrahman bin Auf;
konglomerat, pengusaha, pebisnis, pedagang. Sa’ad bin Abi Waqas, jenderal
perang juga. Kesemuanya, sepuluh besar yang dipastikan masuk surga, yang
menyebut Nabi Muhammad sendiri, secara eksplisit namanya disebut, tidak ada
pemimpin zikir, pemimpin sholat, pemimpin ibadah – spiritual. Semuanya adalah
tokoh politik dan tokoh ekonomi. Bukan itu salah; memimpin sholat, memimpin
haji. Itu perlu, tapi itu ibadah mahdhoh. Apa bedanya ibadah mahdhoh
dengan ibadah ghairu mahdhoh? Ibadah mahdhoh targetnya akhirat, hasanah
fil akhirat. Jadi sekarang ini, kita sholat Shubuh-nya cari pahala, kita
dengerin taushiyah-nya cari pengertian untuk merebut hasanah fiiddunya.
III
JIHAD
Untuk sholat Shubuh berjama’ah perlu jihad. Jihad melawan
kantuk, jihad melawan bisikan setan, jihad melawan jarak yang jauh. Jihad itu
kan pengerahan segala potensi yang kita miliki untuk mencapai tujuan fii
sabilillah. Yang paling tinggi perang, membunuh atau dibunuh. Membunuh
dapat pahala, dibunuh lebih besar pahalanya syahid. Orang mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Yaitu
kuat imannya. Dengan kekuatan iman, kita bisa mengalahkan semua musuh. Musuh
apa saja bisa kita kalahkan dengan kekuatan iman. Musuh politik bisa kita
kalahkan dengan kekuatan iman. Sekarang kan ada bisikan dari setan, politik itu
harus punya uang. Kalau tidak punya uang, gak mungkin menang. Itu namanya
politik uang. Saya bilang, politik uang hanya bisa dikalahkan dengan politik
iman. Karena iman itu tidak bisa dibeli.
IV
POLITIK
Di Indonesia ini kan partai dibagi menjadi dua. Partai
nasionalis – Islam dan partai nasionalis – sekuler, semuanya nasionalis. Jangan
bilang partai Islam gak nasionalis, gak bener itu. Nah, yang memimpin partai
nasionalis – sekuler juga muslim, agamanya Islam. Yang memimpin partai
nasionalis – Islam, juga muslim. Mestinya, umat Islam itu tidak hanya Islam
agama, tapi juga Islam ideologi. Secara ideologi, partai nasionalis –
Islam ini insyaAllah ideologinya Islam. Partai sekuler adalah agamanya
Muslim, baik pemimpin partainya maupun pengurusnya maupun jama’ahnya mayoritas
muslim, tapi ideologinya bukan Islam. Inilah bagian dari pendidikan politik
yang perlu dipahami umat Islam. 2013, saya dirikan PPI, Pengajian Politik
Islam. Karena kita tidak boleh lagi berpolitik diam-diam, sembunyi-sembunyi,
malu-malu, segan-segan, ogah-ogahan. Kita harus kibarkan bendera politik. Dari
mana? Dari masjid. Maka PPI yang saya dirikan itu, Pengajian Politik Islam,
markaznya di Masjid yaitu Masjid Al Azhar. Kan Masjid Al Azhar itu milik umat
secara politik. Masjid Al Azhar itu didirikan oleh Walikota Syamsu Rizal.
Syamsu Rizal itu adalah tokoh Partai Masyumi. Karena itu, masjid politik
warisan dari Masyumi. Makanya, pengurusnya Hasan Basri -tokoh Masyumi-, Buya
Hamka –tokoh Masyumi-. Sampai sekarang juga, orang-orang Masyumi ngumpul di
situ. Jadi PPI itu markaznya di masjid, pengajiannya di masjid, tapi yang
dikaji politik. Ngajinya ngaji kitab, kitab kuning. Judulnya kitab namanya As
Siyasah asy Syar’iyah, Politik Syariah, dikarang oleh Ibnu Taimiyah. Al
Ahkam as Sulthaniyah, dikarang oleh Imam Al Mawardi. Ahkam Sulthaniyah
itu artinya hukum tata Negara, hukum pemerintahan.
V
MASJID
Apa salahnya kita ngomong politik di masjid? Siapa bilang tidak
boleh ngomong politik di masjid? Nabi ngomong politik di masjid. Ngomong
ekonomi, ngomong akhirat, ngomong dunia, jadinya di masjid. Khatib khutbah
kedua bilang, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan.”
Ayatnya ayat politik, buat kepala Negara, buat menteri, buat polisi, buat
jaksa. Jadi, bahwa masjid itu pusat kegiatan umat sekaligus pusat pemerintahan
di zaman Nabi. Jadi saya bikin pengajian politik Islam; dari masjid, ngajinya
di masjid, markaznya di masjid. Tabligh Akbar Politik Islam, saya namakan
politik agar umat Islam melek politik, kenal politik, dan tidak segan-segan
untuk berpolitik. Karena politik itu adalah dakwah, politik itu adalah ibadah ghairu
mahdhoh. Motto dari PPI, “Berbeda dalam mazhab, bersatu dalam politik.”
Bersatu dalam politik artinya bersatu dalam ekonomi. Mazhab apa saja asal
jangan Syiah, jangan Ahmadiyah, jangan Islam Jama’ah.
VI
UMAT
212 itu adalah kekuatan umat Islam dalam bentuk kuantitas,
jumlah. Ketika dia disinggung dengan al Qur’an, dia bisa bersatu. Tetapi dia
tidak sadar bahwa yang punya kekuasaan adalah lawan-lawan politik Islam,
lawan-lawan ideologi Islam. Agamanya Islam. Sama dengan yang memberontak tahun
58, PKI. Ketuanya namanya Muso. Muso itu Muslim, tapi ideologinya komunis. Maka
dia berontak. Kenapa dia bunuhin Ulama, bunuhin Kyai? Di Wonogiri, di Ponorogo,
dia bikin rumah jagal tapi isinya Kyai. Karena ideologinya, bukan karena
agamanya. Ideologinya komunis. Komunis itu sistem politiknya adalah merebut
kekuasaan. Dengan kudeta, dengan berontak. Kalau tidak berontak, bukan PKI.
Kalau tidak kudeta, bukan PKI. Masyumi, mungkin. Masyumi kan pernah punya
jabatan Presiden di Sumatera Barat, PDRI, pak Syafruddin Prawiranegara. Jadi,
kalau Masyumi jadi Presiden, setelah Soekarno keluar dari penjara, dipulangin
lagi ke Soekarno. Ada serah-terimanya itu penyerahan kekuasaan. Itu kekuasaan
sudah di Partai Masyumi, itulah adilnya umat Islam. Dan PKI, Komunis, nggak
pernah adil, nggak pernah fair, selalu berontak. Ribuan Kyai menjadi
korban. Ulama, polisi, lurah dan sebagainya. Tahun 65, berontak lagi. Maka yang
disembelih bukan lagi Kyai, tetapi Jenderal. Jenderal bintang empat.
VII
IDEOLOGI
Dekat dengan kita, Lubang Buaya. Anak-anak wajib kita bawa ke
situ untuk paham sejarah bahwa di Indonesia pernah ada partai politik yang
berontak membunuh sekian Jenderal, sekian kepolisian. Bawa anak kita, anak-anak
sekolah bawa ke situ. Supaya paham, bahwa PKI itu orangnya Muslim tapi
ideologinya komunis. Akhirnya memberontak, menguasai Indonesia, dan akhirnya
Indonesia menjadi cabang dari Rusia, cabang dari Tiongkok. Sekarang pemimpin
kita minimal ideologinya sekuler. Karena sekuler itu ibarat tenda semua
ideologi, kecuali Islam. Islam ada tenda sendiri. Jadi ada dua tenda yang
berhadapan, merupakan front, tenda Islam dan tenda sekuler. Jadi orang
Islam yang ada di tenda sekuler ini, Muslim secara ibadah, secara lahiriah.
Tapi secara ideologi, secara hati, dia kafir. Sholat-nya Islam, Haji-nya Islam,
formalnya Islam, pakai tasbih lagi. Tapi politiknya kafir, sehingga ketika ada
pemilu berhadapan dengan partai Islam, berhadapan dengan orang-orang yang
berideologi Islam.
VIII
PERTARUNGAN
Ini harus kita pahami. Jadi hanya ada dua, setiap perang. Apakah
perang politik, perang ekonomi, perang budaya, perang intelijen, perang media,
selalu unsurnya yang paling tinggi adalah ideologi. Perang budaya, itu perang
ideologi. Yang kita tahu kan budaya barat dengan budaya lokal di Indonesia.
Tapi sebetulnya, kita perang budaya karena perang dua ideologi, Ideologi Islam
dan ideologi sekuler. Dalam sekuler ada ideologi Kristen, kristenisasi. Ini
budaya menyerbu, sesungguhnya ideologi yang menyerbu ini, namanya Ghazwul
Fikri. Penyerbuan ini sudah sampai ke rumah-rumah orang Islam. Sampai
kepada Kyai-Kyai, Ulama-Ulama, kepada masjid. Masjid kita ini diserbu dengan Ghazwul
Fikri-nya kristenisasi, westernisasi, sekulerisasi. Seperti tempat
kencing berdiri. Itu budaya kufur, yang telah masuk ke masjid. Menurut Islam
kalau buang air kecil, buang air besar, berdiri atau nongkrong? Makanya di kota
Makkah – Madinah, dua tempat suci, nggak ada WC yang tempat kencing pakai
berdiri. Itu budaya Islam, budaya Makkah, budaya Madinah. Tapi kalau dalam
budaya ini kita berkiblat ke barat, maka itulah kencing berdiri. Kyai
ngawinin anaknya, pesta di aula. Sama nggak dengan pestanya orang sekuler,
sama orang Kristen? Nggak ada bedanya. Laki sama perempuan nggak dipisah, makan
– minum berdiri. Padahal ada haditsnya, “Janganlah salah satu dari kalian
minum sambil berdiri.” Walaupun tidak haram, tapi ini makruh muakkad.
Kalau ada sunnah muakkad, ini makruh muakkad. Tapi kita dipaksa
oleh tuan rumah untuk makan berdiri, minum berdiri, sambil ngobrol, sambil
jalan-jalan lagi. Pakai peci, pakai jilbab, nyampur. Apa bedanya dengan pesta
orang Eropa, orang Barat? Ini adalah serbuan budaya kepada umat Islam di
Indonesia. Selesai budaya nanti dia masuk ke ideologi. Maka jadi lemah.
IX
MENTAL
Saya punya teman di kerajaan, kaya sekali. Jauh lebih kaya
daripada kita. Gaji pembantunya 1000 real. Teman saya itu pegawai kantor pos,
pembantunya dari Indonesia. Punya kolam renang, punya mobil, kalau liburan ke
Indonesia jalan-jalan. Padahal hanya pegawai pos yang jual prangko di depan.
Teman saya sekolah di Madinah. Jadi dia lebih kaya, lebih makmur, daripada
kita. Tetapi pesta perkawinan nggak pernah dicampur, sampai sekarang. Raja,
apalagi ulama, nggak pernah dicampur. Ada pemisahan antara laki-laki dan
perempuan, kayak di masjid. Kita, masjid itu memberikan contoh untuk kita
lakukan di luar masjid. Jadi dipisah. Karena ikhtilat itu haram. Kecuali dalam
keadaan darurat dan sebagainya, kayak di pasar darurat. Tapi kalau di pesta
walimah kita sendiri, kita yang ngadakan, kita yang kuasa, kita mau ngapain itu
pesta, kenapa kita harus ikut budaya Barat? Budaya musuh, budaya Sekuler. Nah,
itulah yang saya maksud bahwa perang budaya itu sebetulnya perang ideologi.
X
TANTANGAN
Sekarang kita ini lemah. Dilemahkan oleh lawan-lawan politik
umat. Oleh tirani minoritas. Dia minoritas, namun berkuasa. Maka kalau saya
bilang, zaman Nabi ada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang bisa hidup
berdampingan dengan orang Islam, punya hak dan kewajiban yang sama dengan orang
Islam, tunduk kepada sistem Islam – hukum Islam, tunduk terhadap pemimpin
Negara Islam yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, tapi dia harus
bayar jizyah / pajak. Nah, kita ini juga sama. Kita orang Islam, bayar pajak
kepada penguasa yang bukan Islami, hukumnya bukan hukum Islam, bukan hukum
Qur’an, bukan hukum hadits, tapi kita bayar pajak dan taat, tapi hak-hak
politik kita tidak bisa terpenuhi. Artinya apa? Kita ini muslim dzimmi.
Iya, nggak? Kalau kafir dzimmi masih bagus nasibnya, karena minoritas.
Yahudi, Nasrani, Majusi, semuanya tunduk sama Nabi Muhammad, sama pemerintahan
Islam, dan dilindungi oleh pemerintahan Islam dari segala aniaya – kezoliman
umat Islam mayoritas. Tapi bayar jizyah, dia taat hukum, kalau mencuri
dipotong, berzina dirajam, maka dia menjadi kafir dzimmi. Kafir itu
dibagi menjadi dua, ada kafir dzimmi, ada kafir harbi. Kafir dzimmi
itu kafir yang mau hidup berdampingan dengan umat Islam, dan taat kepada hukum
Islam. Kalau kafir harbi adalah kafir yang memerangi umat Islam. Bukan
hanya perang fisik, tapi juga perang ideologi, perang ekonomi, perang politik
dan sebagainya. Perang intelijen, perang budaya, perang medsos.
XI
KESADARAN
Jadi kalau saya melihat 212 adalah merupakan satu keinginan
Allah untuk memberikan kesadaran kepada umat. Begitu lemahnya kalian, begitu
hinanya kalian, di mata penguasa yang sebetulnya mereka minoritas. Tolikara,
itu di Indonesia bukan? Tolikara di Papua. Papua itu Indonesia bukan?
Indonesia. Dua tahun yang lalu, umat Islam lagi shalat Idul Fitri dibubarin
oleh satu jama’ah gereja. Bukan oleh umat Kristen, bukan oleh umat Katolik,
nggak punya Dirjen dia di Departemen Agama. Oleh satu gereja, membubarkan orang
lagi sholat Idul Fitri. Sudah Allahu Akbar – Allahu Akbar, bubar,
batal nggak jadi sholat. Itu di negeri Indonesia, yang dikatakan negeri
mayoritas jumlah penduduk muslimnya. Bingung kita, gimana Negara mayoritas
muslim kok sholat Idul Fitri bisa dibubarin? Oleh gereja, dilempari batu dan
anak panah. Dan yang dibakar itu masjid, bukan musholla. Ada plangnya, Masjid.
Kalau tentara, polisi, pemerintah kan bilang Musholla. Itupun bilangnya bukan
dibakar, tapi terbakar. Padahal dibakar, pakai bom molotov. Cuma kena genteng,
kena tembok, mental kena toko di sebelahnya. Jadinya terbakar pasar. Akhirnya,
terbakar pula masjid itu. Nah, itulah gambaran bahwa umat Islam mayoritas
tetapi lemah. Dalam politik, dalam ekonomi, dalam intelijen, dalam semua
urusan. Media, lemah. Bahkan muncul TV Kompas (Komando Pastur), TV DAAI, tapi
bukan Dai Islam, dai Budha. Jadi Kristen punya TV, Budha punya TV, yang
sekuler-sekuler punya TV, tapi kita tidak punya TV. Jadi, gimana mau menang?
Padahal sekarang TV itu merupakan instrumen yang paling depan, sebelum perang
terjadi, dia sudah bisa masuk ke kandang musuh. Ke rumah kita, ke kamar kita.
Ada orang kaya Islam, kamar mandinya itu lebar – luas, ada TV. Sembari buang
air, sembari nonton TV. Itu artinya, senjata musuh sudah masuk ke WC-nya. Bukan
hanya ruang makan, ruang tidur, ke WC-nya sudah masuk. Mana bisa kita menang?
Nah, inilah yang harus kita ubah. Mengubah itu bagian dari perintah Allah,
nggak boleh kita statis. Harus dinamis, harus selalu berubah. Ayatnya, “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu mengubah keadaan
mereka sendiri.”
XII
PERUBAHAN
Allah tidak akan mengubah nasib umat Islam Indonesia dari urusan
politik, urusan ekonomi, urusan pasar, urusan media dan sebagainya, kecuali
umat Islam sendiri yang harus berjihad – beramal untuk mengubah nasibnya. Kalau
tidak sekarang, maka nasib anak-cucu kita yang kita ubah. Saya sedih, saya
susah, bagaimana nasib anak-cucu saya yang akan datang setelah saya mati? Dia
akan dimut’ah oleh Syi’ah. Dia akan menjadi kader komunis. Sekarang di DPR itu,
ada kader PDIP yang mengarang buku ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’, sekarang jadi
Ketua Komisi di DPR. Karena Pemilu, Pilkada, Pilpres dimenangkan oleh
partai-partai musuh lawan ideologis, maka nasib kita menjadi seperti PPP
(dipecah). Jangan gara-gara ketuanya masuk penjara, kita hijrah ke partai
sekuler. Dan inilah semangat perjuangan 212 adalah bagaimana menyadarkan umat
melek politik, sadar politik. Agar suatu saat, orang-orang muslim yang ada di
partai sekuler, hijrah dari partai sekuler ke partai Islam. Itulah target
daripada PPI, Pengajian Politik Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar