Kamis, 19 Januari 2017

INI PESAN ANIES BASWEDAN UNTUK UMAT ISLAM DI INDONESIA

sumber: Dream.co.id

Jama’ah Tabligh Akbar Politik Islam yang saya hormati. Hari ini kita berkumpul, barusan tadi kita mendengarkan, tausiyah dari KH. Bahtiar Nashir, menggambarkan persatuan yang muncul, hikmah yang tak pernah diduga sebelumnya, dan dunia terpukau pada umat Islam Indonesia. Ketika kita berbicara tentang Islam, umat Islam, hampir selalu perhatiannya ke Timur Tengah. Kita yang paling ujung Timur dari Dunia Islam, jarang dapat perhatian besar.


Kemarin muncul dengan zikir 212. Sebetulnya yang berkumpul ini kumpulan orang marah, bukan? Dan tadi diceritakan, mana goyang-goyangnya, mana rusaknya? Tapi apa yang terjadi? Suasana damai yang luar biasa. Di tempat lain bila ini terjadi, ujungnya mungkin kekerasan, dan ujungnya foto gambar umat Islam sedang melakukan kekerasan. Di Indonesia, foto itu diputar-balikkan. Hadir bukan melakukan kekerasan, menuntut keadilan melalui proses hukum konstitusional. Di tempat mana lagi kita bisa menemukan kecuali umat Islam Indonesia hari ini?

Ini satu modal yang baik. Tadi diceritakan betapa Shubuh kita akhir-akhir ini kosong. Betul. Bahkan beberapa waktu yang lalu saya berdiskusi, alhamdulillah qunut ini sekarang sudah tidak menjadi bahan perdebatan. Kenapa Pak, kok nggak menjadi bahan perdebatan? Sudah nggak pada shubuhan di masjid. Jadi, bukan qunutnya, tapi sudah tidak lagi shubuhan di masjid. Dan sekarang masjid-masjid kita penuh di waktu Shubuh.

Ini sebuah modal yang luar biasa. Karena itu bapak – ibu sekalian, di Jakarta bulan depan, ini tanggal 15 sekarang, jadi persis tanggal 15 Februari aka nada pemilihan Gubernur. Saya mendapat amanah untuk menjadi calon Gubernur. Dan saya perlu sampaikan di sini Bapak – Ibu sekalian. Saya tidak pernah mendaftar menjadi calon Gubernur. Saya tidak pernah mengajukan diri menjadi calon Gubernur. Saya bertugas di Kementerian dan dicukupkan tugasnya bulan Juli, sesudah itu saya menjadi warga negara biasa. Bulan September, saya dipanggil dan ditanya. Saya katakan, pada waktu itu saya bilang, kalau yang tanya wartawan, saya sampaikan gak mikir, memang belum mikir. Tapi ketika yang tanya adalah pimpinan Partai Politik, maka saya jawab, “Izinkan saya berpikir sebentar.”

Dan, satu saya mau istikharah, kedua saya mau konsultasi minta nasehat, satu ibunda, kedua istri. Kebetulan ibunda saya dari Jogja ikut hadir di sini. Dan ketika bicara, apa jawaban mereka semua? Bila ini adalah panggilan, tanggungjawab, maka jalani dan sesudahnya tawakkal ‘ala Allah. Karena itu, saya katakana, saya siap, meskipun tidak tahu siapa yang akan mencalonkan. Karena hanya ditanya kesiapan.

Di ujung, di paling ujung, kemudian saya ditugaskan. Dan sesudah saya ditugaskan, Bapak – Ibu sekalian, saya berkeliling Jakarta, mendatangi kampung-kampung di Jakarta, kampung-kampung yang tidak pernah saya datangi sebelumnya.

Sebelum saya bertugas di sini, saya mengelola sebuah program, namanya Indonesia Mengajar. Mengirimkan sarjana-sarjana terbaik ke pelosok-pelosok tanah air. Alhamdulillah, saya berkesempatan mendatangi tempat-tempat itu. Di sana tak ada listrik, tak ada signal telepon, terbelakang, insfrastruktur minim, jauh dari mana-mana. Saya datang, saya menyaksikan kemiskinan. Di tempat yang paling ujung, Bapak – Ibu sekalian, saya pernah sampai pulau Selaru. Pulau Selaru itu bawahnya Darwin. Sudah tidak ada lagi sesudah itu. Ujungnya Indonesia, nggak ada apa-apa di sana.

Kemudian, tiga bulan ini, saya berkeliling di Jakarta. Saya mendatangi kampung-kampung di Jakarta. Dan apa yang saya temukan? Rasanya saya belum pernah melihat kemiskinan. Saya pernah melihat berbagai kemiskinan di Indonesia, datang di Jakarta yang saya temukan, di pusat perekonomian Indonesia, di sini adalah pusat kemiskinan ekstrim Indonesia.

Datang ke kampung-kampung itu. Di utara, di barat, di timur. Di sana, di pelosok-pelosok, miskin dalam udara bersih, miskin dalam sumber daya alam berlimpah -ambil ikan gampang, tanaman banyak-, miskin dalam keluarga besar yang hangat, miskin dalam kebersamaan. Sampai di sini, miskin dalam ketimpangan, miskin dalam keterjepitan, miskin dalam polusi yang luar biasa parah, miskin dalam kompetisi yang luar biasa ketat, dan miskin dalam suasana kota yang timpangnya ekstrim.

Bapak – Ibu sekalian, datang di tempat-tempat itu, saya melihat, rasanya kita di Jakarta harus kembalikan kota ini disebut ibukota karena harusnya bisa mewakili Indonesia, tapi justru di tempat ini kemiskinan ekstrim luar biasa. Karena itu, keadilan menjadi kata kunci yang harus dikembalikan di Jakarta.

InsyaAllah, Bapak – Ibu sekalian, bicara keadilan ini, bukan sekadar keadilan abstrak, tapi nyata. Dan kalau Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu datang ke sana, di kampung-kampung. Ini yang datang di jama’ah al Azhar alhamdulillah, hampir semua dengan kendaraan pribadi. Kalaupun bukan kendaraan pribadi, sewa kendaraan umum sama-sama. Semuanya yang datang ke sini.

Bapak – Ibu sekalian, datang di tempat itu, kita akan menyaksikan Jakarta yang berbeda. Karena itu, pemimpin Jakarta ke depan tidak boleh Pemimpin yang hanya memikirkan mereka yang ber-uang, mereka yang memiliki kapital, mereka yang hanya memikirkan kepentingan usaha pribadinya. Yang dibutuhkan di Jakarta besok justru kepemimpinan yang membela rakyat kecil, mereka yang mementingkan kepentingan itu.

Kemari nada debat, kami ditanya soal integritas, saya sampaikan integritas itu lebih dari soal jujur. Kalau jujur, Firaun itu jujur sekali. Jujur dalam menceritakan kezolimannya. Jujur dalam mengungkapkan kesewenang-wenangannya. Jujur dalam menunjukkan kepongahannya, sampai mengaku tuhan. Jadi Firaun pun bisa jujur, karena itu kalau cari pemimpin jangan sekadar mengaku jujur.

Jujur saja di Jakarta tidak cukup, yang dibutuhkan memihak pada nilai-nilai kebenaran, memihak kepada kepentingan publik. Jadi, saya sampaikan di situ, kalau kita hanya bicara tentang jujur, maka banyak orang jujur yang tidak memihak kepentingan orang banyak. Dan di Jakarta contohnya nyata persis, nyata benar.

Rakyat kecil menjadi korban penggusuran sistematis, massal. Dan yang digusur ini, bapak-ibu sekalian, saya minggu lalu datang di Bukit Duri, yang digusur ini bukan mereka yang baru datang ke Jakarta. Yang digusur ini adalah warga yang sudah di sana puluhan tahun, yang sebenarnya mereka berhak atas tanah itu. Dan lalu, Pemerintah Daerah Jakarta, dengan sewenang-wenang menggusur mereka, dan terbukti Pemda Jakarta kalah di PTUN. Betul, sekalian?

Karena itu, ke depan saya usul pada kita semua, mari kita pilih. Umat Islam ini sekarang punya dua pilihan kalau bicara satu – tiga. Sebetulnya ada tiga pilihan, Cuma karena kemarin kita diskusi kan dua pilihan, saya bilang begini, “Mau pilih pemimpin di antara yang tiga ini? Maka pilih! Satu, siapa yang bicara soal reklamasi dengan ketegasan?” Tadi disampaikan soal reklamasi.

Kami ambil posisi jelas, reklamasi ini tidak mementingkan kepentingan warga Jakarta, dan reklamasi ini meningkatkan justru ketimpangan. Karena itu saya katakan, “Kami tegas menolak reklamasi dan akan menghentikan reklamasi.”

Ini bukan persoalan sederhana, tadi disampaikan oleh ustadz Bahtiar Nashir, akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar. Tapi kami percaya, ada kekuatan yang lebih besar untuk bekerja bersama melawan reklamasi.

Yang kedua, mengenai penggusuran yang luar biasa, bapak – ibu sekalian, jangan pernah melihat warga miskin seakan-akan imigran dari negara lain. Mereka saudara sebangsa yang datang ke Jakarta ingin juga mendapatkan kue pembangunan di Jakarta. Kita harus memberikan kepada mereka, justru ruang untuk tumbuh, ruang untuk berkembang. Karena itu, bagi mereka, satu diamankan, dua siapkan lapangan pekerjaan. Kemarin saya sampaikan di dalam debat, kita kebanyakan maunya ngasih ikan, habis itu kail. Kasih ikan dan kail itu baik, tapi kalau kolamnya sudah habis dikapling-kapling, kail sebagus apapun tak berfungsi. Karena itu yang harus dipikirkan justru menyiapkan kolamnya, supaya yang bawa kail bisa mendapatkan ikan. Dan ini, bapak – ibu sekalian, lapangan pekerjaan.

Yang ketiga, yang ingin saya sampaikan di sini, ini penting sekali. Pendidikan. Kita di Al Azhar, ini adalah Yayasan Pesantren Islam. Di sini bicara pendidikan. Bapak – Ibu sekalian, pendidikan di Jakarta, baik di madrasah maupun pendidikan umum, adalah kunci bagi pembentukan masa depan kita.

Dan di sini, mohon maaf, Jakarta dibandingkan Jogja. Jogja itu kota kecil, pendidikannya maju. Bapak – Ibu sekalian tahu, berapa uangnya di sana? Lima ratus ribu rupiah, per anak per tahun. Di Jakarta, diberikan uang 6 juta per anak per tahun. Dua belas kali lipat, dan hasilnya jauh di bawah Jogja. Kenapa? Ada masalah di sini. Bila itu dibereskan, anak-anak dan keluarga miskin bisa mendapatkan pendidikan berkualitas dan naik kelas. Siapa dididik apa hari ini, akan menentukan siapa dan duduk di mana besok. Betul?

Karena itu, bicara umat maka bicara pendidikan. Dan yang pendidikannya rendah hari ini adalah mayoritas umat Islam. Datang ke madrasah-madrasah, maka kita akan menyaksikan suasana sekolah yang sangat tertinggal. Mayoritas sekolah-sekolah kita terbelakang. Anaknya abad 21, gurunya abad 20, gedungnya dan cara belajarnya abad 19. Gap-nya luar biasa. Ini kita bereskan sama-sama.

Dan yang terakhir, saya ingin sampaikan dalam kesempatan ini. Hari ini keberpihakan kepada perekonomian mikro dan kecil hampir nggak ada. Kita harus dorong tumbuhnya dari mulai yang mikro dan kecil untuk menjadi kuat. Karena itu di Jakarta, Bapak-Ibu sekalian, Jakarta tak bisa dibiarkan seperti sekarang. Jakarta harus dibangun menjadi kota di mana rakyat kecil dapat kesempatan untuk berusaha di mana-mana. Zona berusaha itu membuat rakyat kecil nggak bisa berikhtiar di rumah, nggak bisa berusaha di rumah. Ini semua harus kita kembalikan.

Dan terakhir sebagai catatan, bapak – ibu sekalian, suatu saat nanti, mungkin 10 tahun, 15 tahun yang akan datang, Indonesia wajahnya sudah berubah. Umat Islam Indonesia juga wajahnya sudah berubah. Dan dalam perjuangan itu, bapak – ibu semua, 2016 dan 2017 adalah salah satu tahun bersejarah dalam perjalanan Indonesia dan Jakarta. Dan Bapak – Ibu semua yang hadir di tempat ini, suatu saat akan bisa bercerita pada anak-anak bapak – ibu semua. “Ayah – Ibu, saat Jakarta 2016 – 2017 harus mengambil keputusan, saat Jakarta dalam suasana gonjang – ganjing, Bapak – Ibu di mana?”

Dan Bapak – Ibu semua bisa menceritakan, “Saya hadir di setiap pergerakan untuk mengembalikan keadilan di Jakarta ini.” Itu makna kehadiran kita hari ini. Dan itu bagian dari peran kita untuk mengembalikan keadilan di Jakarta.

InsyaAllah, Bapak – Ibu sekalian, kami ingin Jakarta bukan sekadar tempat di mana simbol Islam hadir, tapi keadilan harus hadir di Jakarta. Bukan sekadar nampak ada saudara seiman dilantik menjadi Gubernur, tapi yang lebih penting lagi adalah sesudah dilantik dia tidak bereksperimen dengan Jakarta. Dia tidak menjadikan Jakarta tempat uji coba, tapi menjadikan Jakarta tempat untuk berpahala. Tempat untuk kita semua merasakan bahwa di sini kita merasa sebagai rumah kita sendiri.

Saya sampaikan, kita Tabligh di sini leluasa, tapi tabligh di Monas dilarang. Begitu dilantik insyaAllah, maka aturan itu langsung dicabut. Monas bisa kita pakai. Kita kembalikan negara kita ini, sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Masak tidak boleh melakukan kegiatan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di wilayah-wilayah Republik. Kita akan kembalikan itu semua, supaya kita kembali lagi merasa bahwa Jakarta adalah rumah kita, bukan rumah orang lain di mana kita numpang dan menonton di tempat ini.

Sambutan Anies Baswedan dalam Tabligh Akbar Politik Islam (TAPI) ke-7 di Masjid Al Azhar - Jakarta, 15 Januari 2017

Tidak ada komentar: