![]() |
sumber: Dream.co.id |
Jama’ah Tabligh Akbar Politik Islam yang saya hormati. Hari ini kita berkumpul, barusan
tadi kita mendengarkan, tausiyah dari KH. Bahtiar Nashir, menggambarkan
persatuan yang muncul, hikmah yang tak pernah diduga sebelumnya, dan dunia
terpukau pada umat Islam Indonesia. Ketika kita berbicara tentang Islam, umat
Islam, hampir selalu perhatiannya ke Timur Tengah. Kita yang paling ujung Timur
dari Dunia Islam, jarang dapat perhatian besar.
Kemarin muncul dengan zikir 212.
Sebetulnya yang berkumpul ini kumpulan orang marah, bukan? Dan tadi
diceritakan, mana goyang-goyangnya, mana rusaknya? Tapi apa yang terjadi?
Suasana damai yang luar biasa. Di tempat lain bila ini terjadi, ujungnya
mungkin kekerasan, dan ujungnya foto gambar umat Islam sedang melakukan
kekerasan. Di Indonesia, foto itu diputar-balikkan. Hadir bukan melakukan
kekerasan, menuntut keadilan melalui proses hukum konstitusional. Di tempat
mana lagi kita bisa menemukan kecuali umat Islam Indonesia hari ini?
Ini satu modal yang baik. Tadi
diceritakan betapa Shubuh kita akhir-akhir ini kosong. Betul. Bahkan beberapa
waktu yang lalu saya berdiskusi, alhamdulillah qunut ini sekarang sudah tidak
menjadi bahan perdebatan. Kenapa Pak, kok nggak menjadi bahan perdebatan? Sudah
nggak pada shubuhan di masjid. Jadi, bukan qunutnya, tapi sudah tidak lagi
shubuhan di masjid. Dan sekarang masjid-masjid kita penuh di waktu Shubuh.
Ini sebuah modal yang luar biasa.
Karena itu bapak – ibu sekalian, di Jakarta bulan depan, ini tanggal 15
sekarang, jadi persis tanggal 15 Februari aka nada pemilihan Gubernur. Saya
mendapat amanah untuk menjadi calon Gubernur. Dan saya perlu sampaikan di sini
Bapak – Ibu sekalian. Saya tidak pernah mendaftar menjadi calon Gubernur. Saya
tidak pernah mengajukan diri menjadi calon Gubernur. Saya bertugas di
Kementerian dan dicukupkan tugasnya bulan Juli, sesudah itu saya menjadi warga
negara biasa. Bulan September, saya dipanggil dan ditanya. Saya katakan, pada
waktu itu saya bilang, kalau yang tanya wartawan, saya sampaikan gak mikir,
memang belum mikir. Tapi ketika yang tanya adalah pimpinan Partai Politik, maka
saya jawab, “Izinkan saya berpikir sebentar.”
Dan, satu saya mau istikharah,
kedua saya mau konsultasi minta nasehat, satu ibunda, kedua istri. Kebetulan
ibunda saya dari Jogja ikut hadir di sini. Dan ketika bicara, apa jawaban
mereka semua? Bila ini adalah panggilan, tanggungjawab, maka jalani dan
sesudahnya tawakkal ‘ala Allah. Karena itu, saya katakana, saya siap, meskipun
tidak tahu siapa yang akan mencalonkan. Karena hanya ditanya kesiapan.
Di ujung, di paling ujung,
kemudian saya ditugaskan. Dan sesudah saya ditugaskan, Bapak – Ibu sekalian,
saya berkeliling Jakarta, mendatangi kampung-kampung di Jakarta,
kampung-kampung yang tidak pernah saya datangi sebelumnya.
Sebelum saya bertugas di sini,
saya mengelola sebuah program, namanya Indonesia Mengajar. Mengirimkan
sarjana-sarjana terbaik ke pelosok-pelosok tanah air. Alhamdulillah, saya
berkesempatan mendatangi tempat-tempat itu. Di sana tak ada listrik, tak ada
signal telepon, terbelakang, insfrastruktur minim, jauh dari mana-mana. Saya
datang, saya menyaksikan kemiskinan. Di tempat yang paling ujung, Bapak – Ibu
sekalian, saya pernah sampai pulau Selaru. Pulau Selaru itu bawahnya Darwin.
Sudah tidak ada lagi sesudah itu. Ujungnya Indonesia, nggak ada apa-apa di
sana.
Kemudian, tiga bulan ini, saya
berkeliling di Jakarta. Saya mendatangi kampung-kampung di Jakarta. Dan apa
yang saya temukan? Rasanya saya belum pernah melihat kemiskinan. Saya pernah
melihat berbagai kemiskinan di Indonesia, datang di Jakarta yang saya temukan,
di pusat perekonomian Indonesia, di sini adalah pusat kemiskinan ekstrim
Indonesia.
Datang ke kampung-kampung itu. Di
utara, di barat, di timur. Di sana, di pelosok-pelosok, miskin dalam udara
bersih, miskin dalam sumber daya alam berlimpah -ambil ikan gampang, tanaman
banyak-, miskin dalam keluarga besar yang hangat, miskin dalam kebersamaan.
Sampai di sini, miskin dalam ketimpangan, miskin dalam keterjepitan, miskin
dalam polusi yang luar biasa parah, miskin dalam kompetisi yang luar biasa
ketat, dan miskin dalam suasana kota yang timpangnya ekstrim.
Bapak – Ibu sekalian, datang di
tempat-tempat itu, saya melihat, rasanya kita di Jakarta harus kembalikan kota
ini disebut ibukota karena harusnya bisa mewakili Indonesia, tapi justru di
tempat ini kemiskinan ekstrim luar biasa. Karena itu, keadilan menjadi kata
kunci yang harus dikembalikan di Jakarta.
InsyaAllah, Bapak – Ibu sekalian,
bicara keadilan ini, bukan sekadar keadilan abstrak, tapi nyata. Dan kalau
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu datang ke sana, di kampung-kampung. Ini yang datang di
jama’ah al Azhar alhamdulillah, hampir semua dengan kendaraan pribadi. Kalaupun
bukan kendaraan pribadi, sewa kendaraan umum sama-sama. Semuanya yang datang ke
sini.
Bapak – Ibu sekalian, datang di
tempat itu, kita akan menyaksikan Jakarta yang berbeda. Karena itu, pemimpin
Jakarta ke depan tidak boleh Pemimpin yang hanya memikirkan mereka yang
ber-uang, mereka yang memiliki kapital, mereka yang hanya memikirkan
kepentingan usaha pribadinya. Yang dibutuhkan di Jakarta besok justru kepemimpinan
yang membela rakyat kecil, mereka yang mementingkan kepentingan itu.
Kemari nada debat, kami ditanya
soal integritas, saya sampaikan integritas itu lebih dari soal jujur. Kalau
jujur, Firaun itu jujur sekali. Jujur dalam menceritakan kezolimannya. Jujur
dalam mengungkapkan kesewenang-wenangannya. Jujur dalam menunjukkan
kepongahannya, sampai mengaku tuhan. Jadi Firaun pun bisa jujur, karena itu
kalau cari pemimpin jangan sekadar mengaku jujur.
Jujur saja di Jakarta tidak
cukup, yang dibutuhkan memihak pada nilai-nilai kebenaran, memihak kepada
kepentingan publik. Jadi, saya sampaikan di situ, kalau kita hanya bicara
tentang jujur, maka banyak orang jujur yang tidak memihak kepentingan orang
banyak. Dan di Jakarta contohnya nyata persis, nyata benar.
Rakyat kecil menjadi korban
penggusuran sistematis, massal. Dan yang digusur ini, bapak-ibu sekalian, saya
minggu lalu datang di Bukit Duri, yang digusur ini bukan mereka yang baru
datang ke Jakarta. Yang digusur ini adalah warga yang sudah di sana puluhan tahun,
yang sebenarnya mereka berhak atas tanah itu. Dan lalu, Pemerintah Daerah
Jakarta, dengan sewenang-wenang menggusur mereka, dan terbukti Pemda Jakarta
kalah di PTUN. Betul, sekalian?
Karena itu, ke depan saya usul
pada kita semua, mari kita pilih. Umat Islam ini sekarang punya dua pilihan
kalau bicara satu – tiga. Sebetulnya ada tiga pilihan, Cuma karena kemarin kita
diskusi kan dua pilihan, saya bilang begini, “Mau pilih pemimpin di antara yang
tiga ini? Maka pilih! Satu, siapa yang bicara soal reklamasi dengan ketegasan?”
Tadi disampaikan soal reklamasi.
Kami ambil posisi jelas,
reklamasi ini tidak mementingkan kepentingan warga Jakarta, dan reklamasi ini
meningkatkan justru ketimpangan. Karena itu saya katakan, “Kami tegas menolak
reklamasi dan akan menghentikan reklamasi.”
Ini bukan persoalan sederhana,
tadi disampaikan oleh ustadz Bahtiar Nashir, akan berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan besar. Tapi kami percaya, ada kekuatan yang lebih besar untuk
bekerja bersama melawan reklamasi.
Yang kedua, mengenai penggusuran
yang luar biasa, bapak – ibu sekalian, jangan pernah melihat warga miskin
seakan-akan imigran dari negara lain. Mereka saudara sebangsa yang datang ke
Jakarta ingin juga mendapatkan kue pembangunan di Jakarta. Kita harus
memberikan kepada mereka, justru ruang untuk tumbuh, ruang untuk berkembang.
Karena itu, bagi mereka, satu diamankan, dua siapkan lapangan pekerjaan.
Kemarin saya sampaikan di dalam debat, kita kebanyakan maunya ngasih ikan,
habis itu kail. Kasih ikan dan kail itu baik, tapi kalau kolamnya sudah habis
dikapling-kapling, kail sebagus apapun tak berfungsi. Karena itu yang harus
dipikirkan justru menyiapkan kolamnya, supaya yang bawa kail bisa mendapatkan
ikan. Dan ini, bapak – ibu sekalian, lapangan pekerjaan.
Yang ketiga, yang ingin saya
sampaikan di sini, ini penting sekali. Pendidikan. Kita di Al Azhar, ini adalah
Yayasan Pesantren Islam. Di sini bicara pendidikan. Bapak – Ibu sekalian,
pendidikan di Jakarta, baik di madrasah maupun pendidikan umum, adalah kunci
bagi pembentukan masa depan kita.
Dan di sini, mohon maaf, Jakarta
dibandingkan Jogja. Jogja itu kota kecil, pendidikannya maju. Bapak – Ibu
sekalian tahu, berapa uangnya di sana? Lima ratus ribu rupiah, per anak per
tahun. Di Jakarta, diberikan uang 6 juta per anak per tahun. Dua belas kali
lipat, dan hasilnya jauh di bawah Jogja. Kenapa? Ada masalah di sini. Bila itu
dibereskan, anak-anak dan keluarga miskin bisa mendapatkan pendidikan
berkualitas dan naik kelas. Siapa dididik apa hari ini, akan menentukan siapa
dan duduk di mana besok. Betul?
Karena itu, bicara umat maka
bicara pendidikan. Dan yang pendidikannya rendah hari ini adalah mayoritas umat
Islam. Datang ke madrasah-madrasah, maka kita akan menyaksikan suasana sekolah
yang sangat tertinggal. Mayoritas sekolah-sekolah kita terbelakang. Anaknya
abad 21, gurunya abad 20, gedungnya dan cara belajarnya abad 19. Gap-nya luar
biasa. Ini kita bereskan sama-sama.
Dan yang terakhir, saya ingin
sampaikan dalam kesempatan ini. Hari ini keberpihakan kepada perekonomian mikro
dan kecil hampir nggak ada. Kita harus dorong tumbuhnya dari mulai yang mikro
dan kecil untuk menjadi kuat. Karena itu di Jakarta, Bapak-Ibu sekalian,
Jakarta tak bisa dibiarkan seperti sekarang. Jakarta harus dibangun menjadi
kota di mana rakyat kecil dapat kesempatan untuk berusaha di mana-mana. Zona
berusaha itu membuat rakyat kecil nggak bisa berikhtiar di rumah, nggak bisa
berusaha di rumah. Ini semua harus kita kembalikan.
Dan terakhir sebagai catatan,
bapak – ibu sekalian, suatu saat nanti, mungkin 10 tahun, 15 tahun yang akan
datang, Indonesia wajahnya sudah berubah. Umat Islam Indonesia juga wajahnya
sudah berubah. Dan dalam perjuangan itu, bapak – ibu semua, 2016 dan 2017
adalah salah satu tahun bersejarah dalam perjalanan Indonesia dan Jakarta. Dan
Bapak – Ibu semua yang hadir di tempat ini, suatu saat akan bisa bercerita pada
anak-anak bapak – ibu semua. “Ayah – Ibu, saat Jakarta 2016 – 2017 harus
mengambil keputusan, saat Jakarta dalam suasana gonjang – ganjing, Bapak – Ibu
di mana?”
Dan Bapak – Ibu semua bisa
menceritakan, “Saya hadir di setiap pergerakan untuk mengembalikan keadilan di
Jakarta ini.” Itu makna kehadiran kita hari ini. Dan itu bagian dari peran kita
untuk mengembalikan keadilan di Jakarta.
InsyaAllah, Bapak – Ibu sekalian,
kami ingin Jakarta bukan sekadar tempat di mana simbol Islam hadir, tapi
keadilan harus hadir di Jakarta. Bukan sekadar nampak ada saudara seiman
dilantik menjadi Gubernur, tapi yang lebih penting lagi adalah sesudah dilantik
dia tidak bereksperimen dengan Jakarta. Dia tidak
menjadikan Jakarta tempat uji coba, tapi menjadikan Jakarta tempat untuk berpahala.
Tempat untuk kita semua merasakan bahwa di sini kita merasa sebagai rumah kita
sendiri.
Saya sampaikan, kita Tabligh di
sini leluasa, tapi tabligh di Monas dilarang. Begitu dilantik insyaAllah, maka
aturan itu langsung dicabut. Monas bisa kita pakai. Kita kembalikan negara kita
ini, sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Masak tidak boleh melakukan
kegiatan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di wilayah-wilayah Republik.
Kita akan kembalikan itu semua, supaya kita kembali lagi merasa bahwa Jakarta
adalah rumah kita, bukan rumah orang lain di mana kita numpang dan menonton di
tempat ini.
Sambutan Anies Baswedan dalam Tabligh Akbar Politik Islam (TAPI) ke-7 di Masjid Al Azhar - Jakarta, 15 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar