Jumat, 27 Januari 2017

(Kajian Hadits) ORIENTASI IMAN KITA ADALAH AMAL

sumber: kataislam.com

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ: "بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ, شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ."

Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.”


Inilah orientasi keberimanan kita, yaitu amal. Tetapi setiap amalan juga memiliki orientasinya sendiri. Dan lima pokok berikut adalah inti dari amalan Islam yang akan menjadi dasar bagi amalan-amalan lainnya. Ia pulalah wajah dari rangka bangunan keislaman kita.

Hadits ini tentang Rukun Islam. Memang hadits sebelumnya juga memuat pesan akan Rukun Islam, selain pesan Rukun Iman serta konsepsi Ihsan dan Hari Kiamat. Tapi pada hadits ketiga yang dipilihkan oleh Imam an Nawawi ini, Rukun Islam dihadirkan secara khusus. Seakan setelah kita membenahi konsepsi orientasi tujuan berupa niat lalu membenahi pondasi semua kerja kehidupan dengan konsepsi Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat yang solid, berikutnya secara khusus kita diharapkan mampu menyelami secara seksama poin-poin dari rukun Islam. Hal itu agar kita paham, bahwa inti dari amalan agama ini adalah kelima rukun tersebut. Lalu bila ada amalan-amalan lainnya, itu punya landasan ketertautan dari kelima amalan ini.

Zikir dan doa sangat erat tautannya dengan rukun kalimat syahadat yang tertuturkan. Sholat-Sholat sunah beserta perenungan diri akan ayat-ayat-Nya sangat erat tautannya dengan rukun Sholat. Infaq, shodaqah dan muamalah sosial lainnya sangat erat kaitannya dengan rukun Zakat. Puasa sunah dan semua rasa akan kesyukuran dan kesabaran sangat erat kaitannya dengan rukun Puasa. Serta kerja-kerja dakwah, pembelajaran dan kekhilafahan sangat erat kaitannya dengan rukun Haji.

Namun ada satu hal lagi yang ingin ditekankan. Bahwa setiap amalan itu memiliki tujuannya masing-masing, maka konsen terhadap orientasi amal adalah suatu hal yang diharapkan. Sebab beramal itu bukan semata untuk amalan tersebut, namun juga untuk mendapatkan tujuan-tujuan di balik amalan-amalan tersebut. Dan karena itulah kiranya hadits ini diletakkan di urutan ketiga, agar kita memahami sedini mungkin bahwa pada akhirnya dari semua perjalanan amal keberagamaan kita adalah tampilnya sosok pribadi yang kepribadiannya menjadi etalase bagi pesan-pesan agama. Inilah dasar kepahaman yang hendaknya kita selesaikan di muka.

Memang uniknya, para ulama hadits sepakat menempatkannya pada kitab Iman. Padahal jelas ini hadits tentang Rukun Islam, tentang amalan, bukan tentang keimanan secara khusus. Hal itu seakan ingin mengatakan bahwa iman memang tidak hanya terhenti pada pengetahuan dan keyakinan, melainkan hendaknya teramalkan.

Namun begitu, amal juga jangan teramalkan hanya untuk keterlaksanaan amal tersebut, melainkan lebih jauh lagi untuk mencapai orientasi-orientasi hakiki dari amalan-amalan yang telah ditetapkan. Maka, orientasi iman kita adalah amal, namun setiap amal memiliki orientasinya masing-masing. Jagalah orientasi ini, maka tujuan yang telah kita tetapkan di permulaan niat itu akan terus kokoh dan terjaga, serta landasan-landasan konsepsi tentang empat hal sebelumnya juga akan melahirkan bangunan yang sesungguhnya nan mempesona.

Yang membedakan dalam kitab-kitab hadits itu, Imam Bukhari meletakkan pada bab khusus tentang ‘Keimanan dan Perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa Islam Itu Terbangun atas Lima’, sementara Imam Muslim meletakkan pada bab khusus tentang ‘Penjelasan Rukun Islam dan Nilai Keutamaannya’. Begitupun Imam at Tirmidzi meletakkan pada bab khusus tentang ‘Apa yang Datang pada Kalimat Islam Dibangun atas Lima’, sementara Imam an Nasa’i meletakkan pada bab khusus yang unik karena dengan kalimat tanya yaitu ‘Islam Dibangun atas Berapa Hal?’.

Inilah dasar dari hukum-hukum Islam, yang mempersepsikan Islam sebagai sebuah bangunan. Sekiranya pondasi bangunannya adalah Syahadat, tiang bangunannya adalah Sholat untuk internal dan Zakat untuk halaman luarnya, serta kemegahan simbol bangunannya adalah Haji dan Puasa. Dalam ruang bangunan seperti itulah akan lahir hukum-hukum Islam lainnya yang sempurna.

Tentang Syahadat, kita telah mengenal sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa siapa yang mengatakan tiada Tuhan selain Allah secara ikhlas maka telah masuk surga. Artinya, Syahadat menjadi ukuran seseorang bisa diterima di surga atau tidak. Inilah pondasi awal, sebelum hal-hal lainnya yang juga akan menjadi daya dorong ke surga. Di atas pondasi seperti inilah bangunan amal lainnya terbangun dengan kokoh.

Tentang Sholat, kita telah membaca dalam surat al ‘Ankabut ayat 45 yang menyatakan bahwa sholat itu menghalangi dari perbuatan keji dan munkar. Artinya, produktivitas dan efektivitas waktu kehidupan kita ditentukan dengan sholat tersebut. Sedikit saja waktu hidup kita tidak produktif dan tidak efektif, maka kesia-siaan yang akan didapat. Bagaimana mungkin kita berlaku sia-sia bila tetiba panggilan sholat menyeru kehadiran kita? Selain juga kita menyimak sabda Rasulullah bahwa pemisah antara seorang yang terjatuh pada kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat. Artinya, bila sholat adalah totalitas penghambaan dan pengharapan pada Rabb semesta, maka tanpa sholat akan membuat kita tidak total lagi menghamba dan mengharap kepada-Nya, sehingga ada celah yang membuat kita menghamba dan mengharap kepada selain-Nya. Maka, minimalnya jadi syirik, lebih jauh lagi bisa jadi kufur. Maka tiang yang seharusnya tegak lurus ke atas menjadi miring dan rawan rapuh.

Tentang Zakat, kita telah membaca dalam surat al Ma’arij ayat 24 dan 25 yang menyatakan bahwa zakat adalah sebagian harta kita yang sengaja disisihkan untuk orang-orang miskin yang meminta maupun tidak meminta. Artinya, selalu ada kesadaran untuk menyisihkan harta kita sedari awal. Itulah kesucian harta, itupula yang membuat naungan sosial bangunan keislaman kita tetap tegak. Selalu ada stok untuk menaungi sosial tersebut. Bila tidak, maka tutup sudah etalase bangunan keislaman kita, dan orang tak lagi melihat tegak berdirinya.

Tentang Haji, kita telah membaca dalam surat al Hajj ayat 28 yang menyatakan bahwa haji memiliki tujuan agar setiap kita bisa menyaksikan berbagai manfaat bagi diri lalu mengagungkan Allah yang telah menciptakan manfaat tersebut, serta bersyukur dengan cara berbagi kenikmatan. Artinya, memang seharusnya kita menyaksikan ragam muka bumi, agar kita tahu begitu banyak manfaat yang telah dihadirkan oleh Allah, dan itulah pra-syarat demi maksimalnya keterlaksanaan peran khilafah kita di muka bumi. Maka kita akan mampu tampil dengan keagungan agama ini, bila kita mampu merasakan keagungan yang telah Allah berikan. Kita juga akan mudah berbagi kenikmatan, bila kita mengetahui bahwa anugerah kenikmatan itu amatlah besar untuk kita miliki sendiri.

Tentang Puasa, kita telah membaca dalam surat al Baqarah ayat 185 yang menyatakan bahwa puasa itu menjadi sarana untuk membina ketakwaan pada setiap diri orang beriman. Artinya, takwa yang sejatinya merupakan indikator utama keagungan seseorang memang semestinya selalu dijaga dan ditingkatkan. Agar kita tetap agung, agar bangunan keislaman kita tetap memancarkan keagungan. Dan langkah itu dengan puasa.

Tetapi dalam tataran realitanya, memang tidak semua orang bisa menunaikan lima hal pokok tersebut dalam kehidupan ini. Yang tidak bisa, sudah tentu merupakan orang kafir. Namun yang muslim sekalipun, tidak otomatis mudah menunaikan lima hal pokok tersebut.

Kita akan mendapatkan ada sekelompok orang muslim yang malas-malasan dalam menunaikan kelima hal pokok tersebut. Bahkan karena malasnya, akhirnya sampai mengabaikannya. Mereka inilah orang-orang Fasik. Mereka malas untuk mengetahui, dan kalaupun telah mengetahui malas untuk menunaikan. Malas itulah indikator orang fasik.

Namun kita juga akan mendapatkan ada sekelompok orang muslim yang semangat menunaikan kelima hal pokok tersebut. Bahkan karena semangatnya, seakan sangat sempurna. Sayangnya, mereka hanya mencukupkan pada pengamalannya, tanpa peduli terhadap tujuan dari pengamalannya. Mereka inilah orang-orang Munafik. Mereka semangat beramal, tetapi getar hatinya tak seirama dengan gerak fisiknya. Kontradiksi itulah indikator orang munafik.

Akhirnya kita mesti paham dengan sebaik-baik pemahaman. Bahwa iman itu harus membuahkan amal, namun amal itu juga harus mencapai tujuannya. Memang orientasi iman kita adalah amal, namun setiap amal memiliki orientasinya masing-masing. Semoga kita memahaminya dengan baik, sebelum beranjak kepada kehidupan beragama yang lebih luas.


Jakarta, 27 Januari 2017

Tidak ada komentar: