Pertama, tema pernikahan adalah tema klasik, karenanya
saya selalu berpikir lebih dalam jika ingin membahas tema ini
agar tidak mengulang bahasan yang sudah biasa terbahas. Kedua, tema niat
adalah tema yang paling luas, sebab semua pergerakan di dunia ini simpulnya ada
pada niat. Karenanya saya berpikir untuk menyederhanakan
kompleksitasnya. Ketiga, tema pemahaman adalah tema yang sangat dalam,
sehingga harus ditelusuri hingga akarnya, dan pemahaman inilah yang akan
mengubah segalanya, ialah pangkalnya. Karena itu ketika hendak membahas
tema ‘Pemahaman Niat Menikah’, selain berpikir agar tidak mengulang bahasan
yang biasa terbahas dan berpikir penyederhanaannya, kita juga perlu berpikir
bagaimana mencapai pada akar permasalahan agar sampai pada pondasi pemahaman.
Maka tema ‘Pemahaman Niat Menikah’ ini
sangat berat. Tapi secara sederhana kita bisa petakan bahasan ini pada
3 hal:
Pertama, Niat.
Kedua, Pemahaman.
Ketiga, Menikah.
Terkait Niat, kita
telah mengetahui bahwa kata kunci niat yang baik adalah murni untuk Allah. Tapi secara
sederhana, niat adalah pembeda antara ikhlas dan tidak ikhlas. Fungsi
pembeda ini menjadi sangat penting dipenuhi, karena ia akan membedakan dua
hal atau lebih yang tampak sama. Misalkan secara tampilan sama-sama menikah,
namun sesungguhnya ada beda antara keduanya. Itulah fungsi niat.
Nah, karena
itu terkait niat pemetaannya pada 4 hal:
a. Lillah / liajlillah
(karena Allah)
b. Fillah / fii
sabilillah (dalam lingkup Allah / di jalan Allah)
c. Ma'allah (bersama
Allah)
d. Min dunillah (tanpa
Allah)
Dari
keempat poin tersebut, kita hendaknya memiliki niat dalam lingkup poin
pertama dan kedua.
Terkait Pemahaman, maka sesuai
dengan kemampuan merumuskan niat yang fungsinya menjadi pembeda. Jadi bila
niat itu hendaknya berfungsi membedakan dua hal yang seakan sama, maka
ketidak-mampuan membedakan dua hal yang tampak sama akan membawa seseorang buruk
dalam menilai sesuatu. Sehingga berakibat pada kesalahan dalam bersikap dan
bertindak. Termasuk dalam hal menyikapi pernikahan ataupun bertindak untuk
mengkhitbah dan menikah. Karena itu, pemahaman terkait 4 peta niat itu
perlu diperdalam. Targetnya agar kita bisa membedakan dua hal yang seakan sama.
Terkait Menikah, kita perlu
merenungi beberapa arahan dalam al Quran dan Hadits tentang tujuan
pernikahan. Saya beri kata kuncinya sebagaimana kata-kata yang ditulis
kapital. Dalam al Qur’an ada surat ar Ruum ayat 21, ".....SUPAYA kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang."
Sementara ada Hadits yang menyatakan, “Wahai para
pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah mampu secara materi dan jasmani maka
menikahlah karena hal itu BISA MENJAGA mata dan kemaluan, maka barangsiapa
tidak mampu hendaknya ia berpuasa karena pada puasa terdapat obat.”
(H.R. Muttafaqun Alaih)
Juga ada Hadits yang menyatakan, “Jika seorang
hamba menikah, maka ia telah MENYEMPURNAKAN separuh agamanya; oleh karena itu
hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”
Saya rasa cukup itu
pendahuluannya. Silakan didiskusikan...
Pertanyaan
1:
Bagaimana
maksud niat mindunillah, tanpa Allah?
Jawaban:
Menempatkan Allah dalam niat dan
maksud di bawah maksud lain. Misalnya menikah karena rasa cinta mati
terhadap seseorang. Sehingga cintanya kepada seseorang itu melebihi cintanya
kepada Allah. Indikasinya, tidak peduli istikharah kepada Allah karena merasa
pasti dia berjodoh dengannya. Atau biasanya dengan indikasi tidak mau lagi
musyawarah karena sangat yakin dia jodohnya.
Pertanyaan
2:
Bagaimana caranya agar mindset kita
tentang pernikahan itu siap segalanya (tidak melulu soal cinta atau
bahagianya saja)? Karena dalam menjalani rumah tangga selalu ada halangan dan
rintangannya. Bagaimana cara menyiapkan mental dan pemahaman ke arah
sana?
Jawaban:
Pahami bahwa misi kehidupan kita adalah beribadah dan
menjadi khalifah. Dengan mindset ibadah, maka apapun yang
terjadi adalah peluang amal baginya. Dengan mindset khalifah,
maka lingkungan bagi kita adalah amanah untuk ditata. Jadi baik-buruknya
lingkungan, nyaman atau tidak nyamannya pasangan, adalah tugas kita menatanya.
Biasanya kalau sudah mindset ibadah
dan khalifah, fokusnya pada tujuan. Untuk apa dia menikah? Adapun person
pasangan, waktu dan tempat pernikahan akan dipandang sebagai perkara teknis.
Dahulu saya menikah hanya memikirkan tujuan kenapa
saya harus menikah. Perkara calon dan waktunya, saya fleksibel. Hingga akhirnya
saya menjajaki seorang perempuan, tanpa tahu usianya dan anak ke berapa.
Ketemu sekali, melamar sepekan kemudian, dan aqad tiga hari setelahnya.
Pertanyaan
3:
Bagaimana membuat pemahaman ke keluarga bahwa
menyegerakan pernikahan sangat perlu? Bagaimana jika niat kita menikah
muda yang cuma ingin menjauhi maksiat dipandang sebelah mata oleh keluarga?
Jawaban:
Memahamkan orang lain memang butuh
proses. Maka langkah pertama, mulai dari pembicaraan ringan. Lalu langkah
kedua, bangun kedribilitas diri kita.
Kadang keluarga bukannya tidak paham,
tapi mungkin memandang kita belum layak menikah. Atau sebaliknya, mereka memandang
kita layak punya pasangan, tapi bagi mereka tidak perlu segera menikah. Nah, maka yang diperlukan adalah memahamkan dan
membangun kredibilitas diri di hadapan mereka.
Saya sampai sekarang belum terlalu yakin bahwa niat
menikah untuk menjauhi maksiat yang belakangan sering dilontarkan itu
adalah alasan sesungguhnya. Sebab itu terlalu naif. Seakan-akan setelah
menikah mereka tidak akan maksiat.
Sebab, seseorang akan diuji pada titik terlemahnya.
Bila ia lemah dalam hal lawan jenis, maka meskipun sudah menikah akan diuji
dengan lawan jenis sampai dia tidak lagi punya kelemahan itu. Sebab
prinsip ujian adalah meningkatkan kapasitas. Maka ujian akan terus berulang
bila kapasitas belum juga meningkat. Sama seperti di sekolah, akan remedial
kalau memang belum lulus.
Saran saya, bangun Perspektif pernikahan sebagai
bagian dari misi ibadah dan khalifah di muka bumi. Jangan sekadar untuk
menghindari maksiat.
Pertanyaan 4:
Bagaimana tindakan agar senantiasa istiqomah menjaga
niat menikah karena beribadah kepada Allah? Karena dalam
prosesnya mungkin berbelok.
Jawaban :
Sangat mungkin. Karenanya konsep niat itu dalam hadits
Arba'in pertama, dengan bahasa umum, karena ada peluang perbaikan di
tengah jalan. Oleh karenanya, niat itu memang harus dijaga di awal, di
pertengahan dan di akhir. Ketika hendak melamar, bagaimana niatnya. Ketika
proses aqad, bagaimana niatnya. Setelah aqad, bagaimana niatnya. Kira-kira
seperti itu.
Langkah praktisnya, pahami bahwa kita
menikah itu adalah proses mewujudkan tatanan masyarakat islami. Jadi setelah
kita membenahi diri sendiri, lalu menikah membentuk keluarga muslim. Tapi
keluarga muslim itu bukan tujuan, dia hanya sarana mencapai tujuan setelahnya
yaitu terwujudnya tatanan masyarakat islami.
Nah,
kalau kita memahami menikah adalah proses atau sarana, maka kita akan lebih
mudah menjaga niat. Tapi kalau kita memahami menikah adalah tujuan, maka
setelah itu kita tidak punya lagi narasi. Kejumudan itulah yang berpotensi
memperkeruh niatan kita.
Maka kita dapati, berapa banyak yang setelah menikah
tidak lagi aktif dalam dakwah. Kita juga mendapati, berapa banyak yang setelah menikah sulit betul diajak kumpul. Dan lainnya.
Pertanyaan 5:
Apa
syarat dan indikator dari niat menikah karena Allah?
Jawaban:
Syaratnya harus Lillah / liajlillah (untuk Allah) atau
fillah / fii sabilillah (dalam cakupan Allah). Maksudnya, semua tujuan
yang ingin dicapai dengan menikah tidak boleh kontradiksi dengan tujuan
ketaatan kepada Allah.
Contohnya dahulu Nabi Sulaiman berniat menggauli 70
istrinya dengan niat agar hamil dan melahirkan anak yang akan menjadi
mujahid. Nah, tujuan itu masih selaras dalam ketaatan kepada Allah.
Pertanyaan 6:
Bagaimana caranya meluruskan dan meneguhkan niat,
ketika tahu bahwa kehidupan pernikahan tidak selamanya indah?
Jawaban:
Tanyakan ke diri,
menikah untuk apa? Mendapatkan kebahagiaan atau mendapatkan peluang amal?
Dahulu sebelum menikah, saya membangun perspektif diri
saya yang mungkin sedikit nakal, bahwa haruskah kita mendapatkan pasangan
yang shalihah? Sebagai sebuah impian, sangat dianjurkan. Tapi sebagai
sebuah patokan, tidak semestinya.
Saya berpikir, kalau saya mendapatkan pasangan yang
shalihah, maka enak betul saya tinggal menikmati hasil pembinaan orang tuanya
atau lingkungannya. Dan mungkin saya tidak punya peran membuat dia shalihah. Tapi
kalau saya mendapatkan pasangan yang mungkin kurang shalihah, maka kita punya
peluang membuatnya shalihah.
Ingat, cinta adalah memberi bukan menerima. Kalau kita
hanya ingin menerima pasangan shalihah dari sebuah keluarga, maka itu belumlah
cinta sejati. Tapi hendaknya kita menyiapkan diri, apa yang bisa kita berikan
untuk memperbaiki pasangan atau keluarganya bila kita ternyata ditakdirkan menikah
dengan seorang muslimah yang perlu dibimbing dan keluarganya yang perlu
dibenahi.
Setelah perspektif itu terbangun kokoh dalam benak
saya, lalu saya melangkah untuk proses pernikahan. Akan lebih ringan langkah kita, karena
akhirnya kita siap dengan kondisi apapun atas taqdir pasangan yang
diberikan.
Epilog
Cinta adalah memberi, bukan menerima. Pahamilah
bahwa menikah adalah proses atau sarana, agar kita lebih mudah menjaga
niat. Niatkan menikah Lillah karena Allah dan di jalan
Allah. Semoga Allah senantiasa meluruskan niat kita, dan Allah pertemukan
dengan jodoh yang terbaik.
Catatan Kamis malam
tanggal 20 bulan Oktober tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar