Jumat, 18 November 2016

7 TANYA – JAWAB TENTANG PENYAKIT CINTA

foto dokumen pribadi

Berikut adalah 7 tanya - jawab tentang Penyakit Cinta yang merupakan kelanjutan dari materi Penyakit Cinta. Semoga dapat memperkaya materi tersebut dan menjadi pemicu diskusi-diskusi selanjutnya.


1. Seberapa besar pengaruhnya usaha kita perihal siapa dan bagaimana jodoh kita? Lalu mengenai "perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik pula dan sebaliknya", apakah Allah sudah takdirkan dulu siapa jodoh kita barulah kita sama-sama sedang saling menyesuaikan hingga setara? Atau Allah buatkan opsi-opsi jodoh kita (seperti skenario berlapis) yang disesuaikan dengan ikhtiar masing-masing pribadi dalam memperbaiki diri?

Jawaban:
Usaha kita adalah bagian dari proses sebab - akibat. Sementara jodoh adalah taqdir rahasia-Nya. Adapun bila Allah menghendaki taqdir bagi hamba-Nya, maka Allah juga akan menurunkan sebab-sebab bagi taqdir tersebut. Oleh karena itu, usaha kita hakikatnya adalah sebab-sebab yang juga ditetapkan Allah untuk menuju taqdir pasangan kita. Tapi ketetapan Allah terkait usaha ini bukanlah ketetapan yang final, melainkan bisa berubah dengan doa dan kesungguhan kita. Maka bila ditanyakan pengaruh usaha bagi jodoh, jawabannya memang ada pengaruhnya. Sebab kita akan dipertemukan dengan sesuatu yang kita cari.

Sementara untuk firman "perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik" itu lengkapnya ayat ke 26 di surat an Nuur. Itu adalah rangkaian ayat yang dimulai dari ayat ke 11 dan diakhiri di ayat ke 26. Konteks sebab turunnya adalah fitnah terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka dikatakan bahwa Aisyah itu suci dan layak menjadi istri Rasulullah. Jadi ini bukan konteks menuju pertemuan jodoh. Tapi konteksnya pembelaan. Walaupun bisa pula diambil hikmahnya untuk proses memilih jodoh atau keyakinan akan jodoh. Terutama perihal kesucian moral. Namun yang harus dipahami, poin perjodohan itu kesesuaian apapun yang dalam penjelasan saya pada materi ada yang karena Kelengkapan atau Keseimbangan atau Keserasian. Karena itu pula, ada dalam sejarah seorang Nabi beristrikan seorang yang kufur. Atau sebaliknya seorang perempuan shalihah bersuamikan seorang raja yang kufur. Jadi tidak otomatis yang Sholih akan mendapatkan Sholihah atau sebaliknya. Tapi setidaknya sama-sama suci moralnya atau sama-sama kotor moralnya, karena itu terkait pergaulan sosialnya.

Jodoh sebagai rahasianya, maka tidak ada yang tahu kecuali Allah. Jangan bebankan diri dengan segala hal di luar pengetahuan kita. Termasuk membebankan diri untuk mengira-kira seseorang sebagai jodoh kita. Jalani proses secara alami, dan di manapun mendapatkan peluang menuju jenjang pernikahan maka sambut saja. Sebab pada akhirnya yang dinilai dari kita bukanlah siapa pasangan yang kita dapatkan, tapi yang dinilai adalah bagaimana proses kita mendapatkan pasangan.


2. (a) Bagaimana cara kita mengetahui bahwa dia itu benar jodoh kita dan Allah ridha? Jika jawabannya adalah dengan istikharah, maka bagaimana mengetahui jawaban dari istikharah kita? (b) Sebagai seorang akhwat bolehkah kita berpikir bahwa ikhwan A adalah baik untuk menjadi jodoh kita dan bagaimana membedakannya dengan penyakit hati? Dan apa yang harus kita lakukan jika ada pikiran-pikiran seperti itu?

Jawaban:
a. Doa istikharah itu terjemahan lengkapnya, "Wahai Allah, bahwasannya aku mohon pilihan oleh-Mu dengan ilmu-Mu, dan mohon kepastian-Mu dengan kekuasaan-Mu, serta mohon kepada-Mu dari anugerah-Mu Yang Maha Agung, karena Engkaulah Dzat yang berkuasa, sedang aku tiada kuasa, dan Engkaulah Dzat Yang Maha Mengetahui, sedang aku tiada mengetahui, dan Engkaulah Dzat yang mengetahui yang ghoib. Wahai Allah, jika Engkau ketahui bahwa urusan ini ........ adalah baik bagiku, untuk duniaku, akhiratku, penghidupanku, dan akibat urusanku untuk masa sekarang maupun besoknya, maka kuasakanlah bagiku dan permudahkanlah untukku, kemudian berkahilah dalam urusan itu bagiku. Namun jikalau Engkau ketahui bahwa urusan ini ......... menjadi buruk bagiku, untuk duniaku, akhiratku, penghidupanku, dan akibat urusanku pada masa sekarang maupun besoknya, maka hindarkanlah aku dari padanya, lalu tetapkanlah bagiku kepada kebaikan bagaimanapun adanya, kemudian ridhoilah aku dengan kebaikan itu."

Maka berdasar doa itu, yang kita yakini sebagai jawaban dan keridhoan Allah adalah apabila kemudian kita diberi kemampuan dan cenderung dimudahkan. Jadi kalau kemudian kita cukup mampu untuk menjalani proses menuju pernikahan dan sampai dengan aqad dengan kemudahan, maka insyaAllah itu adalah jodoh yang diridhoi Allah. Ingat, dalam menyikapi taqdir kita tidak boleh bersu'udzon kepada Allah, termasuk menganggap Allah tidak ridho.

b. Silakan berpikir bahwa ikhwan A baik untuk jodoh kita setelah bermusyawarah dan beristikharah. Itupun tetap dalam ruang 'mungkin', sebab dia tetap bukan jodoh kita kecuali telah berlangsung aqad. Tapi ingat, kita boleh berpikir demikian bila memang sudah siap dilamar. Apabila kita belum siap dilamar, maka berpikir demikian hanya menjadi anganan sia-sia yang tidak akan berujung pada amalan.

Bila kita telah berpikir demikian, yang perlu dilakukan adalah menyampaikan ke orang terpercaya dan lebih dewasa untuk meneliti ikhwan tersebut apakah berminat melamarnya. Apabila ternyata ikhwan tersebut siap melamarnya, maka ia segera bersiap untuk dilamar. Namun apabila ikhwan itu tidak bersedia melamar, maka yakini itulah yang terbaik dari Allah. Sebagaimana Khadijah menyampaikan perasaannya akan Muhammad melalui perantara Maisarah.

Hal seperti itu dibolehkan dan lumrah. Yang tidak boleh dan cenderung menjadi penyakit hati adalah bila kita mulai mengkapling seseorang sebagai calon kita sebelum adanya lamaran. Sehingga kita hanya menyiapkan ruang dalam jiwa kita untuk dia dan tidak untuk selainnya. Atau kita telah menganggap dia milik kita dan tidak boleh diambil orang lain.


3. Terkait dengan jodoh cerminan diri. Sejauh mana kita meyakinkan diri jika ia adalah cerminan diri kita? Mengingat bahwa setiap manusia memiliki perbedaan, sehingga sejauh mana perbedaan tersebut tetap dapat meyakinkan kita bahwa ia adalah cerminan diri kita?

Jawaban:
Dari mana kaedah jodoh itu cerminan diri? Yang ada dalam konteks syariat pernikahan bahwa jodoh itu untuk keseimbangan kehidupan. Sehingga tidak mesti selamanya karena Keserasian, karena sebagiannya karena Kelengkapan atau Keseimbangan. Jadi tidak mesti yang tinggi berjodoh dengan yang tinggi. Terkadang yang tinggi berjodoh dengan yang pendek, karena sesungguhnya dengan pasangan tinggi maka yang pendek akan terlengkapi bila ada perlu dengan ketinggian. Begitupun terkadang yang gemuk berjodoh dengan yang kurus, karena sesungguhnya dengan pasangan yang kurus maka yang gemuk akan terimbangi bila masuk ke ruang-ruang yang dibatasi bobot maksimalnya. Kira-kira begitu permisalannya.

Nah, siapa yang tahu hakikat kebutuhan kita? Apakah kita lebih butuh pada sosok yang serasi atau yang dapat melengkapi atau yang dapat mengimbangi? Yaitu diri kita sendiri, walaupun sebagian besar kita agak sulit memahami diri sendiri. Maka kita sangat perlu tawadhu kepada Allah dalam hal ini, bahwa Allah Maha Tahu akan kebutuhan kita. Maka siapapun orang yang ditaqdirkan menjadi pasangan kita, sesungguhnya itulah sosok yang sesuai kebutuhan kita. Tinggal nanti setelah menikah, kita bisa menyelaminya kira-kira apakah ia bagi kita serasi atau merupakan sosok yang akan melengkapi atau mengimbangi? Sesuai identifikasi itulah kemudian kita menyikapi pasangan kita sepanjang perjalanan pernikahan.

Dengan demikian pula, jangan terlalu banyak mengira-kira calon pasangan kita sebelum proses. Jalani saja dan berprasangka baik kepada Allah, bahwa semua yang terjalani adalah ketetapan-Nya dan semua ketetapan-Nya adalah kebaikan bagi kita.


4. Misalnya kita dilamar oleh orang yang baik agamanya, tapi orang tua tidak setuju. Sudah dijelaskan kepada orang tua, tapi orang tua tetap kekeuh tidah setuju. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya harus menghadapi situasi tersebut? Dan kalaupun saya menolak, bagaimana menolak dengan cara yang baik sesuai ajaran Islam?

Jawaban:
Bila lelaki tersebut masih bisa menunggu, silakan terus melakukan pendekatan kepada orang tua. Lebih baik bila diperantarai oleh orang yang sederajat maupun di atas orang tua. Memang memahamkan seperti itu butuh proses. Tidak bisa dipatok waktunya.

Tapi kalau lelaki tersebut tidak bisa menunggu, maka boleh saja menolak. Menolak dengan alasan selera dibolehkan, sebagaimana muslimah Madinah menolak Salman al Farisi. Maka silakan menolak karena orang tua belum merestui. Sebab, meskipun hak jawab ada pada perempuan yang dilamar, namun perempuan tersebut masih punya kewajiban berbakti dan taat kepada orang tua selama masih dalam koridor yang dibolehkan syariat.

Terkait cara menolaknya, bisa melalui perantara orang yang dipercaya dan lebih dewasa. Sehingga tidak langsung bersinggungan perasaan. Kalau muslimah Madinah dalam cerita Salman al Farisi melalui perantara ibunya.


5. Banyak yang bilang kalau mencari jodoh harus yang sekufu, apa landasan atau parameter yang mengukur kalau kita sekufu sama calon kita? Lalu terkait kaidah cinta, apa benar bagi seorang akhwat itu hakikatnya lebih baik dicintai daripada mencintai?

Jawaban:
Karena pernikahan adalah proses membentuk masyarakat Islami, maka perlu menimbang hal-hal yang bisa dikolaborasikan antara kedua mempelai. Dalam konteks inilah kaedah sekufu itu disampaikan. Bahwa sekufunya kita dengan pasangan apabila ada hal yang bisa dikolaborasikan bersama, dan tidak menjadi timpang. Dalam hal apa saja, selama dapat mengisi ruang bangunan masyarakat Islami. Bisa dalam hal kecerdasan, bisa dalam hal watak, bisa dalam hal pengalaman, bisa dalam hal hobi, dan sebagainya.

Adapun kaedah cinta bagi siapapun tetap lebih baik proaktif mencintai dan ada ruang untuk dicintai. Sebab yang disebut makhluk sosial itu laki-laki dan perempuan, dan Islam telah memberikan kemerdekaan individu kepada keduanya. Tentu dengan proporsinya masing-masing.


6. Bagaimana meyakinkan bahwa ia jodoh kita kalau saja di tengah jalan ada pertentangan dan keduanya memutuskan bercerai? Apa indikator yang tepat untuk tahu bahwa benar dia jodoh kita?

Jawaban:
Bahwa pernikahan itu sebuah proses, secara internal keluarga merupakan proses menumbuhkan cinta terus-menerus, sementara secara eksternal keluarga merupakan proses berkontribusi mewujudkan masyarakat Islami. Karena pernikahan merupakan proses, maka ia tidaklah final. Akan ada dinamika dalam perjalanannya. Termasuk kemudian bercerai, yang itu memang diatur juga dalam syariat. Boleh, meskipun merupakan pilihan yang terburuk dan dibenci Allah.

Adapun kita, sampai kapanpun tidak akan tahu secara pasti bahwa seseorang jodoh kita. Dan memang tidak penting memastikan seseorang jodoh kita ataupun bukan. Sebab memastikan demikian hanya akan berujung pada perkiraan-perkiraan yang mana sebagian perkiraan itu datangnya dari syaitan. Maka kemudian hanya melahirkan keragu-raguan.

Yang perlu kita lakukan hanya menata sikap dalam merespon semua yang Allah takdirkan untuk kita, termasuk takdir jodoh. Pilihan sikap itu ada dua; bersabar atau bersyukur. Dan dua-duanya baik.

Jadi tidak penting kita memastikan apakah seseorang itu benar jodoh kita atau bukan. Yang penting apakah kita bisa bersyukur atau bersabar akan keberadaannya.

Lalu bilapun akhirnya tidak ada pilihan kecuali bercerai, hal itu dibolehkan dalam agama. Namun tetap harus melalui proses usaha perbaikan yang maksimal, dan tidak diputuskan dengan tergesa-gesa. Pertimbangan maslahat dan mudhorot harus dicermati secara integral dari segala sisi, dengan musyawarah yang melibatkan orang-orang terpercaya dan dewasa dalam menghadapi masalah. Sebagaimana kita memulai proses menuju pernikahan dengan musyawarah, maka hendaknya bila harus menjalani proses perceraian juga dengan musyawarah.


7. Ada ikhwan dan akhwat sudah melakukan proses ta’aruf dan sampai di tahap pertemuan keluarga. Alhasil, ternyata ibu si ikhwan tidak setuju dengan pilihannya, karena watak keras ayah si akhwat. Dengan alasan si ibu takut suatu saat si akhwat akan keras juga sama suaminya dan akan nurut sama ayahnya daripada suaminya, karena si ikhwan sangatlah lembut dan tidak keras.

Jawaban:
Bagi ikhwan, keputusan ada padanya. Sebab ialah orang yang akan beraqad. Maka dalam kasus itu, ikhwan tersebut harus memahamkan ibunya.

Bagi akhwat tidak ada pilihan kecuali berdoa agar hati ibu ikhwan dilapangkan. Sembari terus menampilkan dirinya sebagai sosok yang mandiri tidak terpengaruh oleh lingkungan keluarga.

Tapi bila akhirnya tidak jadi, maka artinya belum jodoh. Ingat! Fokusnya pada proses mencintai, jangan fokus pada jodoh. Bila tidak jadi dengan ikhwan itu, maka jalani proses dengan ikhwan lainnya.

Tidak penting siapa ikhwan yang akan ia cintai. Jauh lebih penting, bahwa dia akan terus menebar cinta dan siap mencintai siapapun ikhwannya. Mencintai itu memberikan sesuatu, dalam kondisi berat maupun ringan.


Catatan Selasa tanggal 15 bulan November tahun 2016


Tidak ada komentar: