Minggu, 06 November 2016

AKSI DAMAI 4 NOVEMBER 2016; ANTARA SAMBUTAN WARGA DAN SAMBUTAN PRESIDEN

Massa Mathla'ul Anwar di samping gedung BI ba'da Sholat Jum'at (4/11)

Jauh hari, beberapa ulama telah memaklumatkan akan adanya Aksi Damai Bela Islam II pada tanggal 4 November 2016. Aksi Damai ini merupakan respon lanjutan atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta dalam perjalanan dinas di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016. Aksi Damai ini juga merupakan bentuk dukungan dan pengawalan Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 11 Oktober 2016 terkait pernyataan Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap telah melecehkan al Qur’an dan ulama.


Saya sebagai bagian dari umat Islam pun dengan sukarela turut serta dalam Aksi Damai tersebut. Hari Jum’at lalu waktu digelarnya Aksi Damai tersebut, saya membersamai ormas Islam yang lahir di Banten satu abad silam, yaitu Mathla’ul Anwar. Saya dengan empat rekan berangkat dari kantor Pengurus Besar Mathla’ul Anwar tepat pukul 10 pagi. Mobil yang kami kendarai melaju hingga memasuki toll tanpa hambatan. Hari itu, Jakarta berbeda dengan hari-hari biasanya. Jalanan lenggang. Sepertinya sebagian kantor meliburkan karyawanannya, kalaupun tidak libur mungkin sebagian karyawannya telah ambil cuti untuk turut dalam Aksi Damai tersebut.

Kondisi toll yang lengang pada hari Aksi Damai (4/11)

Sesuai hasil rapat dengan Koordinator Lapangan (Korlap) Mathla’ul Anwar pada malam harinya, massa Mathla’ul Anwar dari Banten dan beberapa wilayah sekitar Jakarta akan dipusatkan di dekat Hotel Millenium. Hal itu menghindari kumpulan-kumpulan massa yang terlalu padat di titik-titik lainnya. Tapi memilih kawasan sekitar Hotel Millenium, membuat kami sebagai tim awal kebingungan. Terutama bingung akan tempat untuk jamaah menunaikan sholat Jum’at.

Akhirnya kami yang telah tiba di lokasi lebih awal, memutuskan untuk mengelilingi kawasan sekitar Hotel Millenium. Melihat kondisi massa Mathla’ul Anwar juga belum tiba di lokasi tersebut. Tapi baru saja kami belok untuk mengelilingi Hotel Millenium, Korlap massa Mathla’ul Anwar menghubungi kami. Katanya, mereka telah tiba di sekitar Hotel Millenium. Akhirnya kami pun memotong jalan, demi segera menemui massa yang telah tiba. Karena kami perlu berkoordinasi dan perlu membagikan ikat kepala sebagai penanda massa Mathla’ul Anwar.

Tapi kami yang tidak terlalu menguasai kawasan sekitar Hotel Millenium sempat bingung, di mana jalan kembali yang paling cepat. Apalagi kami sempat berpapasan dengan massa dari ormas lain yang cukup panjang beriringan. Hingga akhirnya rekan yang ada di bangku samping supir mengarahkan ke sebuah gang kecil. “Bismillah, masuk saja!” arahnya meski sedikit ragu.


Massa dari beberapa komunitas yang kami jumpai (4/11)

Mobil kami pun masuk ke gang tersebut. Pikiran masih kacau, antara ingin segera menemui massa yang sudah datang dan mencari masjid untuk sholat jumat. Kalau massa dipencar ke beberapa masjid kecil, tentu akan mempersulit koordinasi. Itulah yang menjadi beban kami saat itu.

Namun belum jauh mobil kami masuk ke gang tersebut, kami mendapati di sisi kiri ada masjid yang cukup besar. Namanya Masjid Al Munawwarah. Masjid itu sepertinya sekaligus sebagai komplek pendidikan, di bawah Yayasan Masjid Al Munawwarah. Tempatnya di Jl Kampung Bali 1 no 53 Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Ada rasa penasaran untuk survei masjid tersebut, mungkin saja cocok untuk sholat Jum’at massa dari Mathla’ul Anwar. Terlebih ketika kami menganggap ada ruang di depan masjid itu yang bisa digunakan untuk parkir mobil kami.

Baru saja kami turun, seorang yang sepertinya pengurus masjid itu menghampiri. Kami kira akan melarang kami untuk parkir di situ. Ternyata dia meminta mobil kami dimundurkan, sehingga tidak menutupi pintu masjid.

Lalu kami bertanya, di mana posisi Hotel Millenium. Dia pun menjelaskan arah ke Hotel Millenium dengan berjalan melalui gang kecil, karena hotel itu terletak tepat di balik gang masjid itu.

Kami pun melalui jalur yang ditunjukkan. Hingga kami bisa menemui massa Mathla’ul Anwar yang telah berkumpul di tepi sungai. Jumlahnya sekitar 300 orang. Sepanjang melalui gang kecil, kami sempat berpapasan dengan warga. Kami pun menyapa warga dan meminta izin melintas di depannya.

Massa Mathla'ul Anwar dari Banten baru tiba di dekat Hotel Millenium dan berkumpul di tepi sungai. (4/11)

Saat hendak membawa massa yang berjumlah 300 orang ke masjid Al Munawwarah tadi, kami sempat bimbang. Khawatir warga tersinggung, karena kami melintasi gang kecilnya dengan massa yang banyak. Tapi tidak ada alternatif jalur lain yang kami kuasai, maka kami pun nekat melaluinya. Sekali lagi kami mengucapkan permisi kepada setiap warga yang dilalui, kamipun menyampaikan kepada massa untuk tenang selama melalui gang-gang warga.

Hingga sampailah seluruh peserta dari Mathla’ul Anwar ke masjid Al Munawwarah. Massa langsung tersebar di segenap penjuru masjid. Ada yang berwudhu, ada yang duduk di pintu masuk, ada pula yang langsung rebahan di masjid. Perasaan kami saat itu, khawatir pengurus masjid tersinggung dengan kedatangan massa yang banyak dan kurang teratur.

Tidak lama kemudian, seorang pengurus masjid menghampiri salah satu peserta kami. Menanyakan jumlah massa, lalu memanggil rekannya yang mengendarai motor. Rupanya beberapa saat kemudian si pengendara motor itu kembali dengan membawa beberapa dus air mineral. Sembari meletakkan air mineral itu di pelataran masjid, pengurus masjid itu berkata ke beberapa jamaah, “Logistiknya nanti ya!”

Saya yang mendengarnya sedikit bingung. Logistik? Maksudnya?

Rupanya yang dimaksud logistik seperti makna pada umumnya, yaitu makanan. Kami semakin yakin ketika sebelum sholat Jum’at dilaksanakan, pengurus masjid tersebut mengumumkan bahwa pihak masjid telah menyediakan makan siang untuk seluruh massa yang hadir saat itu. Ya Rabb, serefleks itukah mereka melayani kami? Menyiapkan makanan untuk 300 orang? Semoga Allah membalas kebaikan pengurus masjid itu.

Padahal tadi kami sempat bingung bagaimana menyiapkan makan siang untuk 300 orang itu. Memang kemarin sudah ada konfirmasi dari pihak Darut Tauhid, bahwa ada jatah makan siang untuk ormas Mathla’ul Anwar. Tapi letaknya di Masjid Istiqlal. Sementara jalan menuju Masjid Istiqlal sangat padat, dan sebagiannya sudah ditutup.

Massa Mathla'ul Anwar menikmati hidangan makan siang dari pengurus Masjid Al Munawwarah. (4/11)

Sungguh, hari itu kami dibuat terharu oleh pengurus masjid Al Munawwarah dan segenap warga di sekitarnya. Mereka dengan bangga dan gembira menyambut massa dari Mathla’ul Anwar yang akan mengikuti Aksi Damai. Bahkan ketika kami hendak menuju jalan utama tempat Aksi Damai digelar, beberapa warga di gang sempit itu antusias menyaksikan iring-iringan massa Mathla’ul Anwar dan meminta poster pesan-pesan Aksi yang telah kami buat. Padahal isi pesan-pesannya adalah tuntutan untuk memproses hukum Basuki Tjahaja Purnama, gubernur mereka, Gubernur DKI Jakarta.

Massa Mathla'ul Anwar memenuhi gang sempit Masjid Al Munawwarah. (4/11) 

Massa dari Mathla’ul Anwar menempati titik di antara BI dan gedung ESDM. Awalnya kami di samping gedung BI, namun karena ada massa yang baru datang, akhirnya kami harus maju. Melihat kawasan patung kuda di samping Monas yang telah penuh oleh massa, akhirnya massa Mathla’ul Anwar pun diputar arah menduduki depan gedung Kementerian ESDM.

Titik awal massa Mathla'ul Anwar di samping gedung BI. (4/11)
Massa Mathla'ul Anwar dihampiri drone. (4/11)
Massa susulan dari organisasi lainnya mulai merapat. (4/11)
Kawasan patung kuda samping Monas telah penuh oleh massa beragam ormas. (4/11)

Selama aksi itu, beberapa karyawan BI maupun karyawan di Kementerian ESDM tampak menyaksikan Aksi Damai dari dalam pagar kantornya. Bahkan mereka turut mengikuti yel-yel Aksi Damai dan ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama partisipan Aksi Damai.

Tidak sedikit pula masyarakat yang hadir untuk berfoto dengan spanduk dan pamflet yang telah kami siapkan. Mereka antusias, sama sekali tidak ada rasa takut. Hal itu menandakan bahwa Aksi hari Jum’at itu memang Aksi Damai. Semua merasakan kedamaian. Bahkan cuaca alam tampak sejuk, angin terus semilir di kawasan itu.

Karyawan Kementerian ESDM turut menyaksikan Aksi dari balik pagar dan turut menyanyikan Indonesia Raya. (4/11)

Di tengah kondisi tersebut, beberapa orang berinisiatif mengumpulkan sampah yang berada di tangan-tangan peserta Aksi. Ada yang suami-istri, ada juga para muslimah bercadar maupun tidak, dan sebagainya. Sungguh Aksi yang teratur penuh kedamaian, bahkan setiap peserta merasa bertanggungjawab akan keberlangsungannya. Sempat sekelompok polisi diteriakin oleh peserta karena hendak menyeberang dengan menginjak taman. Akhirnya polisi itu terpaksa harus memutar untuk sampai di seberang jalan.

Inisiatif mengumpulkan sampah. (4/11)

Sayangnya peserta yang santun itu seperti tidak dianggap oleh Presiden. Tersiar bahwa Presiden sedang meninjau proyek. Sepenting apakah proyek itu, sehingga tidak bisa diwakili dan ditunda peninjauannya. Atau memang ingin menghindar dari massa?

Saya jadi teringat bagaimana cara Presiden merespon rencana Aksi Damai hari itu. Kira-kira dua hari sebelumnya, Presiden dengan ringan mengatakan, “Silakan demonstrasi, karena itu hak demokrasi. Yang tidak boleh itu memaksakan kehendak.”

Kenapa Presiden jadi seakan pihak penengah? Bukankah yang didemo itu dia, karena tidak tegas menyelesaikan masalah penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta. Hal itu sama dengan ketika malam harinya Presiden membuat rilis tepat tengah malam, memposisikan diri seakan penengah. Padahal dialah objek Aksi Damai kemarin. Massa ingin bertemu beliau, dan mengklarifikasi semua kelambanan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama. Sungguh, presiden yang aneh.


Ah, baru saja kami dibuat terharu dengan sambutan hangat warga. Tapi kini kami dikecewakan dengan tiadanya sambutan dari presiden. Memang memiliki harga diri tak mesti harus memiliki posisi di negeri ini. Para warga dan pengurus masjid telah tampil dengan harga dirinya jauh melebihi presiden yang semestinya memiliki kehormatan harga diri.

Pesona Indonesia (4/11)


Tidak ada komentar: