Selasa, 06 Oktober 2015

TENTARA DAN KITA


IRFAN AZIZI, (05/10/2015) _ Kita adalah sebuah bangsa. Maka tentara adalah kita, namun kita belum tentu tentara. Sebab tentara adalah anak bangsanya, tetapi tidak semua anak bangsa menjadi tentara.

Tentara adalah peran. Seperti layaknya kehidupan, sebuah bangsapun membangun kehidupannya. Maka dalam kehidupan itu, masing-masing anak bangsa mengambil peran-peran yang berbeda.

Lalu, kenapa ada semacam jarak yang tak menyatukan? Antara kita dan tentara. Ya, seperti kita ada di satu lembah, dan tentara ada di lembah lainnya. Mungkin itu halusinasi kita. Sebab, saat kita buka mata dan memandang sekitar, tentara ada di tengah-tengah kita. Di dekat kita, berbaur dengan kita.

Biasanya teka-teki persoalan akan selesai bila kita merunut sejarahnya. Sebab akan menemukan titik temunya. Sebagaimana manusia yang beragam, bila ditelusuri sejarah nasabnya, maka akan bertemu pada satu titik temu; Adam dan Hawa. Sebagaimana alam raya yang berupa-rupa, bila ditelusuri sejarah penciptaannya, maka akan bertemu pada satu titik temu; Sang Pencipta. Lalu di tengah penelusuran sejarah itu kita akan menemukan banyak titik-titik, yang menjadi persimpangan-persimpangan sejarah; karena konflik maupun kesepakatan.

Tetapi, menelusuri sejarah –apalagi merunutnya-, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebagian orang bahkan mungkin malas melakukannya. Sebab bagi sebagian itu, hidup adalah masa depan. Hidup harus move on, kata generasi kiwari. Tapi mereka lupa, bahwa masa depan itu sangat tergantung pada kondisi hari ini, dan kondisi hari ini adalah imbas dari masa lampau. Maka secara tidak langsung, menetapkan masa depan, mesti menengok masa lalu. Apalagi dalam kehidupan ini, berlaku yang namanya siklus sejarah. Bahwa sejarah berulang, maka jangan mengulang kesalahan di masa hadapan. Begitu prinsipnya.

Kembali pada tentara. Mungkinkah sekian lama berada pada tampuk kekuasaan rezim menjadikan komunitas ini seakan terpisah dari bangsanya? Atau, memang keunggulan komunitas ini yang membuat seakan terpisah dari bangsanya? Mengingat, komunitas ini merupakan komunitas selektif; hanya mereka yang unggul melewati beragam mekanisme seleksi yang bisa bergabung. Maka hampir semua yang ada di dalamnya adalah individu-individu unggul yang cukup berbeda dengan khalayak, baik secara mental, fisik, maupun intelektual. Dan itukah yang membuat seakan terpisah?

Terlalu naif memang, bila menjadikan perbedaan itu sebagai faktor pemisah. Bukankah keberagaman dalam hidup kita sebuah keniscayaan? Bukankah negeri ini pun menganut prinsip Bhineka Tunggal Eka? Maka, tentu tak ada perbedaan yang memisahkan. Sebab, amanat-Nya dalam kitab suci juga perintahkan kita untuk saling mengenal. Mengenal itu menyatukan, bukan memisahkan.

Maka, lama saya merenungi. Ini bukan soal fakta-fakta itu, tapi ini soal rasa. Bisik batin saya.

Ya. Seperti para pemimpin dan pejabat. Kiranya, apa yang membuat mereka seakan terpisah dari bangsanya? Bahkan sering kali lebih asing dari bangsa asing yang sesungguhnya. Sampai-sampai ada istilah; terjajah oleh pemimpin sendiri.

Setelah lama saya merenungkan, sepertinya ini perkara rasa. Ya, lebih pada rasa, bukan fakta-fakta itu. Yang kemudian membuat mereka merasa terpisah dari rakyat, yang sebenarnya juga sesama bangsanya sendiri. Dan rasa ini, biasanya karena perspektif dalam menjalani setiap peran; tentang tanggungjawab yang dipikul dan tugas yang dilakukan.

Mungkin... Sebagaimana pemimpin dan pejabat, para tentara merasa lebih banyak memikul beban bangsa dan lebih banyak melakukan tugas untuk kemajuan bangsa. Sedangkan khalayak lain, kesannya hanya menunggu dan menikmati hasil.

Rasa-rasa semacam itu tentu tidak sepenuhnya salah. Menjadi salah justru ketika berujung pada kesan ‘siapa kalian dan siapa kami’. Sebab kita memang dicipta berbeda-beda. Berbeda kapasitasnya, berbeda pula tanggungjawab dan tugasnya. Tapi, perbedaan itu bukanlah ukuran kemuliaan.

Sebab mulia, saat tanggungjawab dan tugas sebesar atau sekecil apapun berhasil terselesaikan. Sebab, saat itulah, ada manfaat yang telah ia berikan. Maka dalam konteks Islam, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, tentu setelah keimanan.

Dengan demikian, untuk menghilangkan perasaan terpisah itu, maka cukup bagi kita menghilangkan rasa telah melakukan lebih banyak dari khalayak lainnya, walaupun faktanya demikian.

Dan saya dalam berinteraksi dengan beberapa personil tentara, mendapatinya telah berusaha menghilangkan rasa ini. Mereka melebur dengan komunitas-komunitas sebangsa yang lainnya, dan melupakan fakta bahwa mereka telah berbuat lebih banyak bagi kehidupan berbangsa. Toh, berbuat banyak itu kemuliaan, sehingga tak perlu dikeluhkan. Bilapun mungkin pedih, maka akan ada pelipur di akhirat kelak.

Mengelola perasaan-perasaan seperti inilah yang efektif menyatukan kita. Maka, salut bagi para personil tentara yang telah sukses mengelola perasaannya. Bagi mereka, saya sampaikan salam kehormatan! Kami mengenang jasa baiknya, walaupun bila kelak kami tak sempat ke pusaranya.

Kepada mereka, sajak Jalaluddin Rumi berikut:
Tatkala aku mati, jangan kau palingkan matamu ke tanah mencari kuburanku. Kuburanku berada di hati orang-orang yang arif.



Selamat HUT Tentara Nasional Indonesia!

Tulisan ini hanyalah refleksi tentang rasa kita. Karena beralih dari pembacaan fakta menuju pembacaan rasa, menjadikan kehidupan kita akan semakin mulia bersahaja. Sebab, hidup tak hanya berisi simbol angka-angka, namun juga simbol warna-warna.

Tidak ada komentar: