Jumat, 23 Oktober 2015

BAGAIMANA SEORANG MUSLIM MENYUSUN PRIORITAS DALAM HIDUPNYA?


Secara umum, kita akui bahwa setiap individu memiliki prioritasnya masing-masing. Tentu hal itu tidak salah, menimbang Allah subhanahu wata’ala memang menciptakan kita dalam keberagaman. Selalu ada keunikan yang berbeda pada masing-masing individu anak Adam.


Tetapi, selain fakta keunikan penciptaan, ada pula fakta kebersamaan kehidupan. Bahwa setelah manusia dicipta dengan keunikan individunya, maka kemudian dilahirkan ke dunia dengan kebersamaan sosialnya. Mempertemukan hakikat keunikan dengan semangat kebersamaan inilah yang membutuhkan konsepsi dalam kehidupan. Agar tidak terjadi konflik; antara kebimbangan dan kegalauan. Sehingga membuat individu lebih mendahulukan keunikannya daripada kebersamaannya, atau keunikannya luruh karena tidak mampu menyatu dengan kebersamaan.

Bila kita renungkan, sesungguhnya di sinilah keunggulan seorang Muslim. Sebab dengan pemahaman agamanya, setelah kualitas amal dinilai dari aspek rasio kapasitas dan kesulitan yang ada pada setiap individu, selanjutnya kualitas amal dinilai dari aspek keberjamaahan pada pelaksanaannya.

Maka konsepsi dasarnya adalah Ketauhidan; keimanan Pada Pencipta dan Tempat Kembali. Dengan demikian kita akan mengetahui secara sesungguhnya, dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Sehingga bagi seorang Muslim mudah saja membuat prioritas dalam hidupnya, sebab ia akan mendahulukan Kehendak Allah daripada Kehendak Diri.

Tetapi mempertemukan keunikan dengan kebersamaan memang tidak mudah hanya dengan memahami konsepsi tersebut. Kendalanya, bila pada suatu saat kita cenderung ingin melakukan sesuatu, sementara lingkungan atau ummat cenderung melakukan sesuatu lainnya. Mana yang harus kita dahulukan?

Pada prakteknya, kita memang lebih membutuhkan panduan langkah praktis. Setidaknya untuk mampu menjawab pertanyaan, “Dari sekian banyak keunikan yang saya miliki, apa yang harus saya lakukan terlebih dahulu?” Atau, “Bagaimana kita membuat prioritas?”


Tiga Tahapan Merumuskan Prioritas

Ada tiga tahapan praktis yang bisa kita terapkan dalam merumuskan prioritas kita. Tentu setiap tahapannya ditetapkan berdasar pertimbangan Syariat, Wahyu dan Akal (bagi hal-hal yang tidak ditetapkan oleh Wahyu).

Pertama; secara Hukum

Tahapan pertama dengan melihat aspek hukumnya. Apakah kecenderungan atau keinginan kita itu terhukumi sebagai suatu hal yang Wajib, Sunnah atau Mubah? Atau sebaliknya terhukumi sebagai suatu hal yang Makruh bahkan Haram? Tentu melakukan yang Wajib didahulukan dari yang Sunnah, kemudian yang Mubah. Adapun meninggalkan yang Haram didahulukan dari yang Makruh.

Kedua; secara Nilai

Tahapan kedua dengan melihat aspek nilainya. Setelah kita memilah, mana yang Wajib, Sunnah, dan Mubah, selanjutnya kita bisa melihat nilai sesuatu itu. Nilai ini terkait dengan situasi dan kondisi dalam setiap ruang dan waktu; yang memusat pada aspek kebutuhan. Seperti sebuah barang, pada situasi dan kondisi tertentu dalam ruang dan waktu tertentu akan memiliki harga yang lebih mahal atau lebih murah dari situasi dan kondisi lainnya dalam ruang dan waktu lainnya. Hal itu terjadi karena aspek kebutuhan, semakin meningkat kebutuhan (permintaan pasar), maka semakin tinggi harganya. Sementara semakin menurun kebutuhan (permintaan pasar), maka semakin turun harganya. Begitupun dengan prioritas kita, setelah kita tetapkan mana yang harus didahulukan berdasarkan hukumnya, kemudian kita pilah lagi yang paling dibutuhkan oleh ummat pada saat itu. Sebab itu lebih tinggi nilainya, dan tentu lebih perlu didahulukan. Aspek nilai ini tentu berubah-ubah setiap situasi dan kondisi, serta setiap ruang dan waktu.

Ketiga; secara Pelaksanaan

Tahapan ketiga dengan melihat aspek pelaksanaannya. Ini lebih ke perkara teknis. Jadi setelah kita pilah dari aspek prioritas hukumnya, lalu kita pilah dari aspek prioritas nilainya, kemudian kita bisa pilah lagi dari aspek pelaksanaannya. Hingga kita dapatkan kesimpulan, mana yang paling memungkinkan dan paling mudah untuk dilaksanakan. Itulah keputusan prioritas akhir kita. Sebab yang lainnya belum menjadi prioritas, karena belum memungkinkan dan masih sulit dilaksanakan.


Penutup

InsyaAllah, dengan tahapan perumusan prioritas seperti ini, tiada lagi hajat terhadap peningkatan keunikan individu dan hajat terhadap pemenuhan kebersamaan sosial yang perlu dibenturkan. Dengannya pula, kita tidak akan menzalimi hak Allah dari aspek hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, tidak akan menzalimi lingkungan sosial kita dari aspek kebutuhan-kebutuhannya, dan tidak akan menzalimi diri sendiri dari aspek kemungkinan dan kemudahan bagi kemampuan yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Wallahu ‘alam.



Jakarta, 23 Oktober 2015

Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H


Baca juga:

Tidak ada komentar: