Jumat, 16 Agustus 2019

KEPAHLAWANAN BAHASA MEMPERTAHANKAN JATIDIRI


Melalui perairan Temasek, mengenang tentang hutan rawa yang dipilih oleh Inggris untuk menggenapi pelabuhannya guna menguasai perairan kawasan Asia Tenggara. Setelah sebelumnya mendirikan pelabuhan di Penang dan Bengkulu. Hal itu juga untuk mengimbangi dominasi pelabuhan Sunda Kelapa yang dikuasai Belanda.



Inilah perairan yang dituntut oleh Inggris kepada Belanda di London untuk disepakati pembagiannya pada awal abad 19. Sehingga Kesultanan Riau yang semula ke utaranya menjangkau Pahang dan ke selatannya sampai ke Lingga, mesti dibagi dua. Johor - Pahang jadi kuasanya Inggris. Riau - Lingga jadi kuasanya Belanda. Lalu Temasek yang berada di antaranya diambil Inggris demi pelabuhannya.

Dari perairan ini juga ada nilai besar tentang keberanian gerilya laut yang dilakukan Hang Nadim. Nama itu bisa kita temui di bandar udara Batam, namun aslinya ia Laksamana di laut. Itulah gerilya laut pertama melawan Portugis, sehingga pasukan Katolik itu (yang sebelumnya telah menjadi bagian aliansi Roma yang berhadapan dengan Barbarosa Sang Ksatria laut Utsmani di Laut Tengah) terkunci di kota bernama Malaka saja.

Tapi lebih dari sekadar mempertahankan teritori, tak kalah pentingnya adalah mempertahankan bahasa. Dan hari ini kita masih bisa menikmati kekhasan bahasa Melayu-nya, meski wilayah-wilayah itu pernah dijajah bangsa asing. Peran kepahlawanan semacam ini mesti pula kita wariskan. Maka bila kita belum bisa (ikut) mempertahankan teritori, setidaknya kita bisa (ikut) mempertahankan jatidiri. Dan jatidiri itu ada pada budi dan bahasa.

Kenalkan generasi pelanjut kita pada budi dan bahasa asing, namun jangan lepaskan ia dari budi dan bahasanya sendiri. Karena kita hendak menaklukkan, bukan ditaklukkan. Agar kelak, bila mereka memimpin negeri ini, mereka akan memimpin dengan sepenuh marwah sejarahnya, yang lahir daripadanya kebijakan-kebijakan berfalsafah hadhari.

Tidak ada komentar: