Hidup ini bukan milik seorang
Semua yang kini gemilang
Kelak belum tentu tetap benderang
Tuk rentang masa yang panjang
Dunia kita
hari ini adalah dunia pertarungan antara kepemilikan individual dan kepemilikan
komunal. Kepemilikan individual cenderung melahirkan nuansa kompetisi, yang
setiap capaiannya cenderung berujung pada keangkuhan, hingga lahirlah tabiat
keangkuhan yang menghancurkan. Sementara kepemilikan komunal cenderung
melahirkan nuansa komunikasi, yang setiap capaiannya cenderung berujung pada
ketawadhuan, hingga lahirlah karakter ketawadhuan yang mengokohkan.
Pada dunia
kepemilikan individual, nuansa kompetisinya akan cenderung meniadakan
komunikasi. Maka tidak heran, bila kepemilikan individual yang lebih menonjol
akan melahirkan kehidupan sosial dengan pola komunikasi yang tidak sehat.
Sementara pada dunia kepemilikan komunal, nuansa komunikasinya akan cenderung meniadakan
kompetisi. Maka tidak heran, bila kepemilikan komunal yang lebih menonjol akan
melahirkan kehidupan sosial dengan pola kompetisi yang sehat.
Capaian
individual memang rawan melahirkan keangkuhan. Sedangkan capaian komunal akan
menghadirkan ketawadhuan. Kenapa keangkuhan itu menghancurkan? Sebab tiada makhluk
yang bisa berdaya sendirian. Kenapa ketawadhuan itu mengokohkan? Sebab itu yang
akan mengundang kesolidan.
Karena
kegundahan inilah, kita perlu lantang memperingatkan: Hidup ini bukan milik
seorang!
Satu hal
yang perlu disadari bersama… Kepemilikan itu akan menentukan kesinambungan.
Sebab untuk bisa sinambung, kita memerlukan stabilitas dan tanggungjawab. Tentu
stabilitas lebih dapat diwujudkan dalam semangat komunal daripada individual. Begitu
pula tanggungjawab akan lebih mewujud dalam semangat komunal daripada
individual.
Lalu,
ingatlah! Semua yang kini gemilang, kelak belum tentu tetap benderang. Saya
sengaja menuliskan kata ‘gemilang’ dan ‘benderang’. Gemilang itu menjelaskan
status kepemilikan, yang memuaskan diri sendiri. Sementara benderang itu
menjelaskan status kemanfaatan, yang bersinar menerangi sekeliling. Jadi, apa
yang kita miliki saat ini, kelak belum tentu tetap bermanfaat.
Sebab,
sangat mungkin kepemilikan tidak hilang, namun kemanfaatannya telah hilang.
Mungkin harta-bendanya masih milik kita, namun tak lagi bermanfaat bagi orang
lain. Maka, apa nilainya sebuah harta-benda yang hanya termiliki namun tak
manfaat?
Hal yang
paling mendasar, karena merasa itu hanya milik seorang. Kepemilikan individual
memang lambat laun menghilangkan kemanfaatan. Sebab dikuasai seorang diri, yang
kian menumpuk kian mubazir. Belum lagi sengaja diproteksi, yang manfaatnya
terbatas untuk sendiri.
Sekali lagi,
kita perlu lantang memperingatkan: Hidup ini bukan milik seorang!
Apalagi
kehidupan ini penuh dengan rentang. Itulah jarak. Hidup ini menyimpan banyak
rentang atau jarak. Ada rentang ruang, ada rentang waktu. Tidak hanya banyak
rentang, kehidupan inipun panjang. Maka selain untuk melompati rentang itu perlu
estafeta kolektif, melalui masa panjangnya pun memerlukan estafeta kolektif.
Bait di awal
tulisan ini adalah bait pertama dari puisi yang mengintip isi novel ECONOM 3
(Menjelajahi Praktek Wakaf di Turki). Bait itu juga sedang digarap untuk
menjadi sebuah nasyid oleh tim vocal ibukota. Siapakah mereka? Dan bagaimana
hasil lagunya? Tunggu kehadirannya!
Sembari
menunggu, sahabat boleh langsung memesan novel ECONOM 3 (Menjelajahi Praktek
Wakaf di Turki). Bagi 100 pemesan pertama akan mendapatkan diskon istimewa. Jangan
menunda-nunda, cukup ketik Nama Lengkap dan kirim via WA ke nomor 085775478018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar