Rabu, 15 Juli 2015

MENGANTRI (Sebuah Pesan Diplomasi)


IRFAN AZIZI, (29/07/2015) _ Singkatnya, Diplomasi adalah seni berunding atau seni bernegosiasi. Baik itu mewakili diri sendiri, kelompok, ataupun institusi. Menurut Diplomat senior Indonesia, Makarim Wibisono, bahwa keahlian diplomasi itu sulit dipelajari, karena merupakan seni. Lalu ia mengambil contoh Amerika Serikat yang tidak menyediakan sekolah diplomatik. “Menurut Amerika, diplomasi itu hanya bisa ditularkan,” katanya.


Ya. Diplomasi tak bisa dipelajari melalui ruang-ruang pendidikan, ia hanya bisa ditularkan melalui pembiasaan lingkungan. Sebab ia merupakan seni, penuh cita rasa yang butuh penghayatan dan penjiwaan.

Dalam sebuah kesempatan, Makarim Wibisono juga mengatakan tentang tiga syarat menjadi diplomat ulung. Katanya, “Yang pertama adalah Integritas, yang kedua adalah Kompetensi, dan yang ketiga adalah Jiwa Kepemimpinan.”

Bila melihat syarat-syarat itu, maka memang Integritas sebagai syarat pertama, tak bisa dipelajari. Ia butuh latihan dengan pembiasaan dalam kurun waktu yang panjang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas memiliki makna “Mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan.” Atau secara sederhana dapat kita maknai, “Konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.”
Konsistensi dan keteguhan itu, pada intinya membutuhkan dua landasan nilai; yaitu nilai Kejujuran dan nilai Kesabaran. Kejujuran menjadikan kita mampu komitmen untuk terus konsisten dalam keteguhan. Kesabaran menjadikan kita mampu bertahan dalam konsistensi dan keteguhan.
Dari dua nilai inilah akan lahir nilai keberanian -sebab jujur membuat kita berani mengakui seluruh keputusan diri dan sabar membuat kita berani menghadapi setiap konsekuensi-. Lalu dari nilai keberanian itu akan melahirkan nilai tanggungjawab, hingga darinya lahir beragam nilai-nilai luhur lainnya. Bahkan secara kehidupan beragama, akhlak Muslim juga berpangkal dari dua nilai ini.
Bahwa Muslim itu mungkin saja khilaf dan salah, melakukan pelanggaran syariat dan hukum, namun ia tidak boleh kehilangan sifat kejujurannya. Sebab sebaliknya, bahwa berbohong itu adalah ra’su dzunub (pangkal segala dosa).
Begitupun sifat sabar, ia juga merupakan akar kebajikan dan kebijaksanaan. Sebab dengan kesabaran, kita mampu meletakkan realita dan rasa secara proporsional. Maka tak ada emosi yang terlampau meledak, pun tak ada situasi yang terlalu pelik. Saat itulah, kita tetap mampu tenang menjalani kehidupan dengan beragam nilai-nilai luhur. Dan dalam ajaran Islam, larangan untuk tidak marah merupakan larangan yang diulang-ulang sebagai hal yang sangat ditekankan.
Nah, bila ada banyak sarana latihan meningkatkan kualitas nilai Kejujuran dan Kesabaran, maka salah satunya yang cukup efektif adalah latihan Mengantri. Bahkan selain sebagai sarana latihan, Mengantri juga dapat menjadi sebuah tampilan yang mewakili dua nilai ini.
Sebab dengan mengantri, kita berlatih jujur menempatkan diri dalam antrian, serta berlatih sabar menjalani antrian itu. Namun dengan mengantri juga, sebuah pesan diplomasi bahwa diri kita merupakan seorang berintegritas dengan nilai kejujuran dan kesabaran dapat terpancarkan. Maka mengantri selain sarana menanamkan nilai, juga merupakan sebuah pesan diplomasi.
Maka tak heran bila kemudian seorang guru di Australia pernah berujar, “Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak Sekolah Dasar kami tidak pandai Matematika, kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”[]

Tidak ada komentar: