Senin, 30 Mei 2016

MUSLIM SEJATI: TIADA TAKUT DAN TIADA SEDIH


Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan mereka menggembirakan orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Ali Imran : 170)

Malam telah pekat. Di sebuah selasar lapang samping Pasir Reungit -Bogor- pada akhir pekan lalu, majelis Lailatul Katibah digelar. Dua ratus dua puluh jiwa dengan wajah lelah berjajar duduk sila di atas bentangan alas terpal. Jiwa-jiwa itu lelah, tapi semoga tidak diliputi ketakutan dan kesedihan. Lelah memang dapat menghantarkan seseorang pada ketakutan dan kesedihan; takut akan masa depan yang belum pasti dan sedih akan kondisi yang dirasakannya kini.


Ditemani lampu-lampu dengan sinaran terbatas yang tergantung di pucuk-pucuk pohon, headlamp-headlamp yang terikat di pelipis-pelipis kepala, dan senter-senter yang tergenggam jari-jemari tangan. Jiwa-jiwa itu berpayung keremangan, namun tetap dalam canda nan riang dan binar nan benderang. Mengisi dingin angin gunung dengan petuah-petuah Illahi; salah satunya adalah petuah di surat Ali Imran ayat 170 tersebut.

Menyelami ayat ke 170 dari surat Ali Imran itu, maka kita diajak kepada sebuah etape perjuangan yang menarik. Bahwa ayat ke 170 itu adalah statemen Allah azza wa jalla bagi kepribadian seorang Muslim, sepanjang melalui dinamika perjuangan. Dalam ayat itu Allah subhanahu wata’ala menyatakan, “Mereka bergembira.” Siapakah mereka?

Yaitu orang-orang yang gugur di jalan Allah, sebagaimana yang diutarakan pada ayat sebelumnya. Ketika khalayak mempersepsikan bahwa mereka yang syahid telah mati, segera Allah bantah bahwasannya mereka hidup bahkan bergembira. Kegembiraan yang lahir karena mendapatkan karunia kesyahidan dari Allah azza wa jalla. Ya, syahid itu adalah karunia; seberapa jauh dan peliknya kita mengejarnya, bila Allah tiada berikan karunia-Nya maka tiada kan kita peroleh. Sungguh, alangkah berbahagia yang dipilih menerima karunia tersebut.

Tapi, yang bergembira ternyata bukan hanya mereka yang telah menerima karunia kesyahidan. Melainkan yang masih dalam pengharapan dan penantian menerima karunia kesyahidan tersebut pun berbahagia. Apa buktinya mereka bergembira? “Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” demikian firman-Nya.

Jadi, tiadanya rasa takut dan rasa sedih itulah bukti kegembiraan diri. Maka sebaliknya, orang yang bergembira hendaknya tak merasa takut dan tak merasa sedih. Bila masih ada takut dan sedih, maka sangat mungkin ia belum benar-benar dalam kondisi bergembira.

Menariknya, kenapa persoalan kegembiraan ini perlu Allah nyatakan secara jelas? Sepenting apakah kegembiraan itu? Baik bagi seorang muslim dalam penggambaran akan sosok yang dimaksud pada firman-Nya ini, maupun bagi sebuah perjuangan dalam konteks yang juga dimaksud pada firman-Nya ini.

Dua Kondisi Rawan Bagi Kegembiraan

Sebelum kita mencermatinya lebih dalam, ada baiknya kita melihat dua kondisi penting yang berkaitan pada beberapa ayat setelahnya. Yaitu pada ayat 172 dan 173.

Kondisi Pertama: “Orang-orang yang menaati Allah dan Rasul setelah mereka mendapat luka (dalam perang Uhud).”

Kondisi Kedua: “Orang-orang yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, ‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.’”

Dua kondisi tersebut bisa terpisah, bisa pula kondisi kedua merupakan turunan dari kondisi pertama. Bagaimanapun, itu menjelaskan bahwa kegembiraan seorang muslim sejatinya adalah kegembiraan yang stabil. Bahwa mereka tetap bergembira, meski mendapat luka dan ditakut-takuti. Tentu, bergembira dalam kondisi terluka tidaklah mudah. Begitupun bergembira dalam kondisi ditakut-takuti juga tidaklah mudah. Namun para sahabat Rasulullah mampu tetap bergembira, dan itulah yang menjadi titik tekan penggambaran firman-Nya tersebut.

Jadi, lebih jauh lagi dari sekadar arahan menjadi pribadi yang bergembira adalah arahan tetap bergembira dalam kondisi terluka dan tertekan. Itulah poinnya.

Urgensi Kegembiraan

Sekarang mari kita cermati urgensi kegembiraan bagi seorang Muslim dan perjuangan, sehingga Allah perlu menyatakannya dalam firman-Nya. Bahwa takut dan sedih adalah dua hal yang paling penting untuk dihindari oleh seorang Muslim dalam menjaga keimanannya dan memenangkan perjuangannya. Adapun takut dan sedih merupakan lawan dari kegembiraan. Bila takut dan sedih merupakan hal paling penting untuk dihindari, maka kegembiraan merupakan hal yang paling penting untuk dimiliki. Karenanya Allah menghendaki kegembiraan merupakan suatu hal yang menyatu dalam setiap individu mukmin.

Demi menegaskan lagi, mari kita urai perkara Takut dan Sedih sebagai dua hal yang pantang ada dalam diri Muslim bila ingin keimanannya terjaga dan perjuangannya tercapai. Bagaimana proses munculnya rasa Takut dan pola dampaknya? Bagaimana proses munculnya rasa Sedih dan pola dampaknya?

Rasa Takut sesungguhnya merupakan kondisi yang lahir dari faktor eksternal. Merasa terancam oleh lingkungan, merasa tak mampu bersaing dengan kompetitor, merasa tak kuasa memprediksi dinamika sekitar; maka muncullah rasa Takut. Rasa takut yang lahir dari faktor eksternal ini akhirnya berdampak pada diliputinya diri dengan perasaan Lemah, lalu cenderung menjadi sosok yang Pengecut. Maka menghadirkan kegembiraan dalam konteks ketakutan ini adalah menyikapi lingkungan sebagai sahabat, menyikapi kompetitor sebagai lawan seimbang, dan menyikapi dinamika sekitar sebagai hal yang mesti dihadapi.

Rasa Sedih sesungguhnya merupakan kondisi yang lahir dari faktor internal. Merasa termarjinalkan, merasa tak mampu berjuang, merasa tak kuasa menghadapi masa depan; maka muncullah rasa Sedih. Rasa sedih yang lahir dari faktor internal ini akhirnya berdampak pada diliputinya diri dengan perasaan Malas, lalu cenderung menjadi sosok yang Pelit. Maka menghadirkan kegembiraan dalam konteks kesedihan ini adalah dengan interaksi, mempersiapkan diri, dan menepati segala yang harus dijalani.

Kira-kira demikianlah proses munculnya rasa Takut dan Sedih serta pola dampaknya. Maka dapat kita pahami, bahwa akan sulit bagi seorang Muslim mempertahankan keimanannya dalam kondisi jiwa yang pengecut dan pelit; sebab pengecut dan pelit akan membuat daya pertahanannya lemah karena cenderung ingin kenyamanan. Begitupun dapat kita pahami, bahwa akan sulit bagi seorang Muslim memenangkan perjuangannya dalam kondisi jiwa yang pengecut dan pelit, sebab pengecut dan pelit akan membuat daya perjuangannya lemah karena cenderung enggan berkorban.

Rimba Raya; Medan Kiprah Kita

Tiba di dataran kaki gunung Salak pada pukul dua dini hari, lalu membangun tenda bersama di areal semak nan tak tampak dengan baik karena pekatnya malam; sungguh memancing Takut karena tak mengetahui dengan baik kondisi di areal itu dan memancing Sedih karena tak boleh memilih areal lainnya yang lebih nyaman. Belum lepas penat di tubuh segera dihimpun untuk upacara pembukaan pada pukul 8 pagi dan menyerahkan seluruh bahan makanan yang ada dalam tas masing-masing; sungguh memicu Takut karena tak pasti apa yang akan dimakan pagi itu dan memicu Sedih karena bekal terampas saat perut mulai menghendaki asupan makanan. Mendapatkan jatah bahan makanan yang hanya serupa ataupun bila beragam hanya sedikit-sedikit membuat diri Takut karena bingung mengolahnya agar memenuhi kebutuhan kelompok dan Sedih karena tidak memenuhi harapan bagi kebutuhan diri. Berjalan dini hari nan pekat, siang hari nan benderang, senja hari nan remang, serta malam hari nan dingin mencekat lambung; mengundang rasa Takut karena tak pasti jaraknya dan rasa Sedih karena bila hajat tiba tak jua sampai.

Demikianlah rimba raya. Sesungguhnya itulah medan kiprah kita. Seelok apapun pulasan panoramanya, pandanglah ia sebagai rimba raya. Sewaktu-waktu semua bisa berubah; dan kita sangat dituntut untuk bersiap siaga. Jangan sampai ketidak-siapan dan ketidak-siagaan kita, membuat diri kita rapuh digerogoti rasa Takut dan rasa Sedih. Maka keimanan seperti apa yang bisa dipertahankan oleh jiwa nan rapuh? Maka perjuangan seperti apa yang bisa dimenangkan oleh jiwa nan rapuh?

Epilog

Akhirnya, beginilah kita melalui jalan dakwah dan jalan jihad. Keimanan sejati memahami betul bahwa jalan perjuangan tak selalu berbanding lurus dengan kenyamanan bahkan lebih menghajatkan pengorbanan. Maka seorang muslim harus senantiasa bergembira, tidak boleh ada rasa Takut akan kehilangan kenyamanan dan rasa Sedih akan dimintakan pengorbanan. Bila belum bergembira secara total, maka ada yang perlu ditelisik dari benih-benih keimanannya. Sebab kegembiraan adalah buah dari keimanan. Takutnya seorang Mu’min hanyalah pada ancaman-Nya. Sedihnya seorang Mu’min hanyalah bila tak mampu tunaikan amanah-Nya.

Lalu apa yang membuat kita hanya ingin kenyamanan? Apa pula yang membuat kita enggan berkorban? Padahal bila sedikit saja kita mulai hanya menginginkan kenyamanan, maka kita mulai mengkondisikan diri pada rasa takut kehilangan kenyamanan tersebut. Begitupun bila sedikit saja kita mulai enggan berkorban, maka kita mulai mengkondisikan diri pada rasa sedih setiap ada yang harus terkorbankan.

Sungguh, keimanan dan perjuangan tidak dipertahankan dan dimenangkan dengan seperti itu.


Cijantung, 30 Mei 2016

M Irfan Abdul Aziz

Tidak ada komentar: