Kamis, 26 Mei 2016

[Pelajaran VIII] TAPI INI DI LUAR KUASA KITA


“Ayo…! Ayo…!” Seru Asaduddin Syirkuh yang berjalan cepat menyusuri lorong benteng Tikrit. “Matahari sebentar lagi terbenam. Kita akan keluar seiring terbenamnya matahari. Kita tidak akan menunggu siapapun setelahnya,” pesannya kepada semua penduduk benteng yang ia papasi.

“Kenapa Najmuddin terlambat?” hadang salah satu saudaranya.


“Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!” jawab Asaduddin Syirkuh cepat. Lalu ia kembali melenggang ke sudut-sudut terowongan yang dapat ia jangkau untuk mengajak berkumpul seluruh penduduknya.

Merasa belum mendapat jawaban, saudaranya tadi memburu keponakannya yang tampak di seberang lorong. “Turansyah!” Panggilnya kepada sang keponakan, putra Najmuddin Ayyub.

“Ya, wahai Paman.” Sahut Turansyah sembari menoleh, mendapati pamannya berjalan cepat ke arahnya.

“Di mana Ayah dan Ibumu?”

Tiada jawab. Semua kalut. Aroma benteng semakin pengap.

- * -

Di sebuah pojok benteng, Asaduddin Syirkuh menghardik kakaknya dengan jengah, “Malam telah tiba. Itu perintahmu. Orang-orang sudah siap. Apa yang kau…”

“Dia ada di kamar bersalin,” potong Najmuddin Ayyub singkat.

“Apa? Sekarang?!” Sang adik sungguh tersentak kaget.

“Ini yang ingin aku katakan.” Pelan Najmuddin Ayyub berkata kepada Asaduddin Syirkuh. “Tapi ini di luar kuasa kita. Demikian kehendak Allah,” lanjut sang kakak yang sekaligus pemimpin keluarga Ayyub tersebut dengan raut muka yang tetap tak bisa menyembunyikan kecemasan.

- * -

Begitulah detik-detik jelang kelahiran Sholahuddin al Ayyubi. Keluarga dari suku Kurdi itu tidak pernah menyangka akan menghadapi kondisi yang lebih sulit dari sekadar menyelesaikan peperangan. Ya, kelahiran saat pengusiran; jelas bukanlah kondisi yang mudah bagi keluarga dari nasab paling mulia bangsa Kurdi, yang selama ini menjunjung kemuliaan para ksatria. Maka ketika dihadapkan dengan dilema kelahiran dan pengusiran, hal itu menjadi hal yang memalukan bagi mereka.

Tentu lebih menyesakkan bagi seorang Najmuddin Ayyub, putra desa Dewin yang berada di perbatasan antara Iraq dan Azerbaijan. Mengingat ia terlahir dari suku Rawadiyah, yang merupakan suku dari marga Hazian, suku terbesar dalam suku Kurdi.

Namun, jiwa besar Najmuddin Ayyub telah mengajarkan kepada kita dengan ungkapan aqidahnya, “Tapi ini di luar kuasa kita. Demikian kehendak Allah.”

Demikianlah keagungan jiwa Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan al Kurdi. Darinya lahir seorang putra yang bernama Yusuf dalam detik-detik pengurisan keluarga besarnya dari benteng Tikrit oleh Mujahiduddin Bahruz pada tahun 532 H bertepatan 1137 M. Yusuf bin Najmuddin Ayyub, kemudian hari terkenal dengan panggilan Shalahuddin al Ayyubi.

Dari kelahirannya kita belajar, bahwa dalam kehidupan ini terlampau banyak hal-hal yang di luar kuasa kita. Sebab alur kehidupan ini pada akhirnya adalah kehendak Allah. Maka sikap kita di hadapan kehendak Allah adalah menerimanya sebagai hal yang di luar kuasa kita. Tiada pilihan kecuali harus menerimanya, sembari memohon kuasa-Nya untuk memudahkan kita dalam menjalani kehidupan sesuai kehendak-Nya. InsyaAllah, kemuliaan-Nya akan terlimpah kepada kita yang bersikap demikian. Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala limpahkan kepada Najmuddin Ayyub seorang putra kebanggaan yang terkenal dengan Shalahuddin al Ayyubi.


Kamis, 26 Mei 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz


Tidak ada komentar: