Rabu, 13 April 2016

[Pelajaran VII] SATU-SATUNYA YANG MENYERU JIHAD


Perlawanan Asaduddin terhadap tentara mereka adalah penyebab kita dihukum seperti ini. Tidak heran hal ini terjadi,” kata Najmuddin Ayyub di hadapan dua jajaran pimpinannya.Yang mengherankan adalah mengapa baru sekarang mereka mengusir kita.”


Ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Najmuddin selaku sesepuh dalam keluarga Ayyub. Sejenak ia menarik nafas, “Bahrus tak akan lupa, bahwa kita pernah membantu musuhnya, Imaduddin Zanki. Ketika pasukan Khalifah dan Bahrus mengejar Imaduddin Zanki yang kalah. Kami masukkan dia ke dalam benteng, dan menyiapkan kapan untuk menyeberangi sungai. Kalau tidak demikian, Imaduddin telah mati tertangkap.”

Kenapa Engkau bela musuh Bahrus, padahal Engkau pengikutnya dan tinggal di bentengnya?” tanya salah satu dari keduanya yang penasaran. Secara logika memang tidak masuk akal. Bagaimana bisa pada satu sisi tinggal di benteng milik Bahrus namun pada sisi lain menolong musuh Bahrus bahkan memberikan tempat persembunyian dalam benteng tersebut?

Tapi, itulah yang menjadi keputusan Najmuddin. Katanya, Kalau aku tak lakukan itu, maka selama sisa umurku, aku akan melaknat diriku sendiri.”

Kenapa?!

Sebab Imaduddin Zanki satu-satunya yang menyeru jihad melawan Tentara Salib,” demikian tegas Najmuddin Ayyub. Tentara Salib itu sakit sebagaimana kami sakit, mereka berdarah sebagaimana kami berdarah. Dengan inilah hidup orang-orang mulia. Kita tidak mempunyai pilihan.”

Akhirnya, kita harus keluar dari tempat ini.” Desah seorang dari mereka.

Begitulah sedikit yang bisa menggambarkan sosok Najmuddin Ayyub, sang calon ayah Shalahuddin al Ayyubi. Di antara kata yang dapat merepresentasikan kepribadiannya adalah ungkapan akan alasannya menolong Imaduddin Zanki. “Sebab Imaduddin Zanki satu-satunya yang menyeru jihad melawan Tentara Salib,” katanya tegas.

Hanya karena pertimbangan bahwa Imaduddin adalah satu-satunya yang menyeru pembebasan al Aqsha, maka Najmuddin rela melindunginya meski ia musuh bagi pihak yang telah memberikan tumpangan benteng kepadanya. Sungguh, Najmuddin tak rela jika hak kemuliaan al Aqsha harus ia gadaikan demi ketenteraman kepentingannya menghuni benteng. Kalau memang ia harus terusir dari benteng, maka tak apa-apa; yang terpenting ia tetap komitmen memperjuangkan dan menjaga hak kemuliaan al Aqsha. Sebab al Aqsha adalah tempat Mi’raj Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, juga merupakan kiblat pertama kaum Muslimin, serta kota suci ketiga setelah Makkah dan Madinah. Maka membiarkan al Aqsha dalam kehinaan di tangan pasukan Salib adalah kehinaan bagi dirinya sebagai tokoh umat Islam.

Sungguh Najmuddin tak gentar atas segala risikonya. Itulah yang ia nyatakan dengan tegas dan mantap, “Tentara Salib itu sakit sebagaimana kami sakit, mereka berdarah sebagaimana kami berdarah. Dengan inilah hidup orang-orang mulia. Kita tidak mempunyai pilihan.”

Melawan pasukan Salib, mungkin derita. Namun sesungguhnya pasukan Salib pun menderita yang sama. Berperang dengan pasukan Salib, mungkin berdarah-darah. Namun sesungguhnya pasukan Salib pun berdarah-darah juga. Tidak ada pilihan. Yang menjadi pembeda pada akhirnya adalah kejujuran dan keberanian membela yang hak; yaitu kemuliaan al Aqsha dan umat Islam seluruhnya.

Najmuddin Ayyub paham, bahwa pusat permasalahan umat adalah tersanderanya al Aqsha di tangan pasukan Salib. Maka melawan pasukan Salib adalah hal yang utama. Karena itulah, melindungi Imaduddin Zanki yang teguh melawan pasukan Salib juga menjadi pilihan utamanya.

Imaduddin Zanki memanglah sosok unik. Selain ia yang paling teguh dalam perlawanan terhadap pasukan Salib dan pembebasan al Aqsha, cara perjuangannya pun berbeda daripada para pendahulunya. Perlawanan terhadap pasukan Salib memang telah dirintis oleh Gubernur Mosul Qauwamud Daulah Karbuqa, lalu berlanjut pada era Jekermisy dan Saqman bin Artaq, Kalij Arselan, Jawaly Saqawah, Syarafud Daulah Maudud bin at Tughtagin, Najmuddin Ilghazi, hingga Balk bin Bahram bin Artaq. Namun perintis perlawanan sebelumnya cenderung melakukan perjuangan berbasis kabilah, sedangkan Imaduddin Zanki telah membuka medan perjuangan yang menggalang dan menyatukan seluruh komponen umat Islam.

Begitulah kecerdasan Imaduddin Zanki di samping keberanian yang ia miliki. Maka langkah perjuangannya menjadi populer bagi seluruh umat Islam. Hal itulah yang membuat Najmuddin Ayyub bersimpati kepadanya.

“Politisi cerdas, prajurit tangguh, dan pemimpin Muslim yang cepat tanggap terhadap ancaman bagi dunia Islam dari pihak kaum kufar.” Demikian komentar ahli sejarah bernama Prof. Dr. Ali Muhammad ash Shalabi terhadap sosok Imaduddin Zanki.


Dan kita belajar kepada Najmuddin Ayyub, bahwa jangan sampai kepentingan pribadi kita menggadaikan kehormatan umat Islam. Bahwa kemuliaan al Aqsha harus diperjuangkan karena itulah kunci kemuliaan umat, maka membantu mereka yang komitmen dalam jihad pembebasan al Aqsha adalah pilihan yang memuliakan. Oleh karena itu, mulialah keluarga Ayyub yang membantu Imaduddin Zanki hanya karena dia-lah satu-satunya yang menyeru jihad. Sebuah teladan bagi kita!


Rabu, 13 April 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz

Tidak ada komentar: