Jumat, 11 Maret 2016

PENGGEMBALA MUSLIM YANG DATANG KE BULELENG

sumber: remaspegayaman

Masuknya Islam di Buleleng merupakan berkah tidak langsung kekalahan Blambangan dari serangan pasukan Truna Goak yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Panji pada tahun 1587. Kekalahannya tragis, karena Santa Guna sebagai Raja Blambangan meskipun sudah turun tahta dan mengindari kecamuk dengan bersemedi akhirnya mati ditikam dengan Ki Semang, yaitu kerisnya I Gusti Ngurah Panji. Tetapi duka tak hanya menjadi milik Blambangan, melainkan juga milik Mataram di Jawa. Sebab Santa Guna adalah Senapati Mataram untuk wilayah Blambangan.


Begitulah pertumbuhan I Gusti Ngurah Panji yang semakin mengkhawatirkan wilayah-wilayah Mataram. I Gusti Ngurah Panji sendiri adalah anak dari Dalem Sagening, salah satu trah kerajaan Klungkung, yang ditugaskan oleh ayahnya untuk memerintah di Bali utara sejak 1568 sampai 1647 M. Menurut Babad tahun 1587, pasukan Truna Goak sendiri telah dibentuk tiga tahun sebelum penaklukan, yaitu tahun 1584. Dengan basis di desa Panji, awalnya ia hanyalah pasukan pengamanan. Namun terus berkembang, perekrutan demi perekrutan dilakukan seirama dengan tradisi seni permainan burung gagak-gagakan yang disebut ‘magoak-goakan’, maka pasukan ini dalam waktu singkat dapat mengumpulkan personil hingga 2000 orang.

Kembali kepada kekalahan Santa Guna selaku Senapati Mataram, akhirnya membuat Raja Mataram perlu memikirkan hubungan damai dan persahabatan dengan I Gusti Ngurah Panji. Dalem Solo, demikian sebutan bagi Raja Mataram, kemudian memberikan hadiah berupa Gajah Airawana. Di sinilah sejarah menjadi berkah bagi pengenalan Islam di Buleleng.

Pasalnya, Gajah Airawana itu kemudian diantarkan oleh tiga orang penggembala yang notabenenya adalah Muslim. Yang setelah tiba di Buleleng dan diterima oleh I Gusti Ngurah Panji, maka gajah beserta ketiga penggembalanya yang muslim ini mendapat sambutan hangat bahkan disediakan tempat khusus.

Di sebelah utara istana dibuatkan kandang bagi gajah tersebut yang kemudian disebut Banjar Petak (desa kandang). Sementara dua orang penggembala dipersilakan menetap di sebelah utaranya Banjar Petak, yang setelah berkembang warganya akhirnya disebut Banjar Jawa. Adapun satu orang lagi penggembalanya dipersilakan menetap di Lingga yang dekat dengan muara sungai Mala, karena asalnya dari Prabu Lingga atau Probolinggo.

Ada satu tempat yang juga khusus, yaitu Banjar Peguyangan. Banjar ini terletak di antara Banjar Petak dan Banjar Jawa. Disebut Peguyangan sebagaimana artinya yang berasal dari istilah Ngguyang atau memandikan binatang. Jadi Banjar Peguyangan ini adalah tempat mandi gajah pemberian itu.


Demikianlah pertumbuhan kaum Muslimin di Buleleng. Hingga terus berkembang, dan sebagiannya diperintahkan oleh Raja untuk membuka hutan di desa Pegatepan sekaligus untuk menjaga keamanan di daerah pegunungan. Desa Pegatepan inilah yang kini dikenal dengan Desa Pegayaman.


Jakarta, 11 Maret 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: