Senin, 21 Maret 2016

MUSLIM SUNANTARA YANG MASUK KE KARANGASEM


Islam mulai menyebar di Karangasem dengan migrasinya pekerja Muslim dari Lombok, pelaut dari Makassar, serta pedagang dari Arab. Merekalah yang dianggap dalam catatan sejarah sebagai masyarakat Sunantara. Berikut ini adalah beberapa fase potongan sejarah yang menggambarkan proses migrasi tersebut, juga beberapa peninggalan corak Islam dari migrasi masyarakat Muslim di wilayah Karangasem.

Muslim dari Lombok

Inskipsi berhuruf Arab yang terdapat di sebuah batu halaman depan Pura Bukit, diperkirakan merupakan tulisan pekerja dari Sasak yang membantu restorasi Pura Bukit. Para pekerja Sasak dari Lombok ini telah masuk ke Karangasem pada 1728 di masa pemerintahan Anak Agung Ketut Karangasem, yang kemudian oleh pihak kerajaan ditempatkan di perbukitan sebagai pertahanan mengelilingi Puri.

Ceritanya pada abad XVII, kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah masih merupakan bagian dari Majapahit. Saat itu terdapat para pekerja dari Klungkung yang menjadi tukang masak dan tukang kayu kerajaan Pejanggik. Sampai pada masa pemerintahan Pembanmas Meraja Kusuma, mulailah Islam berkembang di sana. Hingga pada tahun 1692 setelah runtuhnya Majapahit, wilayah Lombok menjadi kekuasaan Karangasem. Setelah itu, berbalik pekerja asal Lombok yang membantu di kerajaan Karangasem. Maka kini beberapa kebudayaan Sasak tersisa di Karangasem, seperti Bahasa Sasak, Cak Kepung, Rebana, Wayang Sasak, Tembang-Tembang Sasak dari cerita Menak, serta Hikayat Nabi.

Muslim dari Makassar

Karangasem sendiri pada masa pemerintahan Dalem Sagening berada di bawah kerajaan Gelgel. Saat itu kerajaan Gelgel dipimpin oleh I Dewa Anom Pemayun. Pada saat itu akhir abad XVI, diceritakan pernah terjadi kekacauan di desa Tulamben sebagai lokasi pelabuhan tradisional di Karangasem, dengan kehadiran ‘bajak’ dari ‘sunantara’ yang memberontak kepada Ki Pasek Tulamben, sehingga sebagian besar penduduk Tulamben melarikan diri termasuk ke Gelgel. Sunantara yang dimaksud ini adalah Wong Jure Desa yaitu orang asing (bisa Bugis, Makassar, Mandar, Melayu, Tionghoa, Arab, Eropa atau lainnya). Meski ada yang menyimpulkan bahwa ‘bajak’ yang dimaksud berasal dari Bajo (Sumbawa), namun berdasar perjanjian pembagian kekuasaan antara Dalem Sagening dengan Sultan Alaudin maka dimungkinkan juga merupakan Muslim Bugis dari Makassar. Karenanya, berkembang juga Pencak Silat di daerah Subagan yang konon dirintis oleh Daeng Plele yang wafat tahun 1936.

Muslim dari Arab

Para da’i diterima di Bali juga karena kesamaan budaya asalnya. Sebagian da’i itu kita kenal berasal dari India, yang sama-sama kita tahu sebagai daerah Hindu. Maka ketika mereka datang ke Bali, menjadi mudah dalam adaptasinya dikarenakan corak hindu yang ada di Bali.

Di Karangasem sendiri kemudian muncul beberapa muballigh yang masuk dalam catatan para peneliti sejarah. Seperti Sayyid Hassan al Idrus di Subagan Telaga Mas, Sayyid Syeikh Almulakhela di Karang Langko, serta Abdullah bin Salim Bagarib dari Tarem – Yaman (1859). Ada juga yang datang ke Karangasem sebagai Pedagang, seperti Al Bajri (1894), Fiddahussin Djiwakhandji dari Udjein - Mandar Rajastan (India Tengah, 19 November 1918 / 1916), Ali Husein Rasul Bhay dari Udioin (India Tengah, 1920), serta Fiddahusein Hasan Bay (1930).

Maka bila Sunantara adalah orang asing, di antaranya adalah orang-orang dari Gujarat dan negeri-negeri Arab. Sehingga ada kesenian Rudat di Karang Tohpati dan Kecicang, yang disinyalir berasal dari Arab.

Epilog

Menariknya, hubungan ummat Islam dengan Puri di Karangasem sangat bagus. Beberapa masjid tua dibangun dengan bantuan dari Puri; seperti yang ada di daerah Ujung, Karang Langko, Nyuling, Subagan, dan Dangin Sema. Tidak hanya dalam pembangunan masjid, setiap ummat Islam merayakan Iedul Fitri, maka pihak Puri juga menyumbang minyak untuk dibagikan kepada ummat Islam. Bahkan bila ada yang berangkat Haji, Raja Karangasem pun turut memberikan bekal.

Dalam kehidupan sehari-hari pun ikatan antara masyarakat Muslim dengan pihak kerajaan terjalin dengan baik. Utamanya dalam hal Sosial dan Ekonomi, terdapat ikatan ‘Pauman’; yaitu ikatan atas tanah hadiah dari Puri yang terdapat di daerah Dangin Sema, Nyuling, dan Subagan. Begitupun sebaliknya, masyarakat Muslim juga turut membantu dalam upacara-upacara adat kerajaan.



Jakarta, 21 Maret 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

1 komentar: