Selasa, 29 Maret 2016

BAGAIMANA ISLAM MEMANDU DALAM MENENTUKAN PRIORITAS?

sumber: strategy4management.wordpress.com

Sebagai seorang Muslim, tentu kita memiliki tuntunan yang khas dalam menjalani kehidupan ini. Tuntunan itu menjadi khas, karena berasal dari Sang Pencipta Kehidupan yang tahu betul seluk-beluk kehidupan ini. Karenanya, tuntunan Sang Pencipta itu sungguh mengarahkan kita kepada kehidupan yang baik dan penuh manfaat yang hakiki.


Tuntunan itu diturunkan dalam bentuk dalil-dalil, baik al Qur’an sebagai firman-Nya maupun Hadits sebagai sabda Rasul-Nya. Maka kita sebagai Muslim, hendaknya dalam melangkah dan bertindak di setiap fase kehidupan ini memperhatikan betul dalil-dalil yang memandu tersebut. Termasuk dalam hal menentukan prioritas. Sehingga yang menjadi pertimbangan bukan sekadar akal-akal kita yang terbatas, namun hendaknya kita telah mengawali dari pertimbangan akan dalil-dalilnya. Setelah menimbang dalil-dalilnya, lalu kita dapat menimbang aspek amal-amalnya serta tujuan-tujuannya.

Oleh karena itu, setidaknya ada tiga tahapan mekanisme yang dipandu oleh Islam dalam menentukan prioritas. Tiga tahapan mekanisme ini merupakan rumusan disiplin keilmuan yang telah diwariskan para ulama, yang dengannya lebih memudahkan sekaligus lebih menyelamatkan kehidupan kita. Demi kebaikan dunia dan akhirat kita, serta demi kebaikan ummat Islam seluruhnya.

Pertama; menentukan Prioritas Dalil

Tahapan pertama yang perlu kita perhatikan dalam mekanisme menentukan prioritas adalah menentukan prioritas dalil bagi masing-masing pilihan. Sebelum lebih jauh kita berpikir akan sesuatu yang harusnya kita lakukan, maka kita perlu melihat landasan dalilnya terlebih dahulu. Sehingga kita dapat memilah dalil yang perlu didahulukan karena kevalidannya serta dapat legowo dengan dalil yang dikesampingkan dahulu karena kurang valid.

Dalam menimbang dalil, ulama telah merumuskan disiplin keilmuan Fiqhun Nash. Yaitu sebuah disiplin keilmuan yang memilah dalil-dalil Nash yang bersifat kulliyah (keseluruhan) dan bersifat juz’iyah (sebagian). Dalil yang bersifat kulliyah itu menekankan pada aspek Ushul (pokok), sementara dalil yang bersifat juz’iyah itu menekankan pada aspek Furu’ (cabang). Maka yang pokok lebih didahulukan daripada yang cabang.

Selanjutnya, dalil yang bersifat juz’iyah dapat dipilah lagi menjadi dalil Qath’i (sudah pasti) dan dalil Dhanni (masih sangkaan), serta ada dalil yang Muhkam (hal yang Jelas) dan dalil yang Mutasyaabih (hal yang Samar). Maka dalil yang sudah pasti riwayatnya lebih didahulukan dari dalil yang masih sangkaan riwayatnya, begitupun dalil terkait hal yang jelas didahulukan dari dalil terkait hal yang samar. Adapun dalil yang masih sangkaan riwayatnya dapat diambil bila terkait hal yang sifatnya Muhkam (jelas).

Begitulah proses menuju penetapan syariat terhadap suatu hal yang sedang ditimbang prioritasnya. Sehingga kita bertemu pada kesimpulan mana yang Ushul (pokok) dan mana yang furu’ (cabang), begitupun mana yang mustamir (berkelanjutan) dan mana yang munqathi’ (terputus), serta mana yang sifatnya ‘Aam (umum) dan mana yang sifatnya Khash (khusus).

Setelah kita mengenali hal-hal tersebut berdasarkan pertimbangan dalil-dalilnya, maka dalam kehidupan kita mendahulukan hal yang Pokok dari agama ini sebelum hal yang Cabang dari agama ini. Kita juga hendaknya mendahulukan hal yang bersifat Kontinu manfaat dan pelaksanaannya daripada hal yang sifatnya Terputus sesaat manfaat dan pelaksanaannya. Kitapun mendahulukan yang sifatnya berdampak Umum dari yang sifatnya berdampak Khusus.

Kedua; menentukan Prioritas Amal

Tahapan kedua yang perlu kita perhatikan dalam mekanisme menentukan prioritas adalah menentukan prioritas amal yang menjadi pilihan. Tentu ini kita lakukan setelah memetakan landasan dalil masing-masing amal yang menjadi pilihan. Sehingga kita sudah mengetahui mana yang memiliki landasan dalil yang valid dengan sifat Pokok-Kontinu-Umum dan mana yang landasan dalilnya bersifat Cabang-Terputus-Khusus. Yang pertama kita dahulukan dari yang kedua.

Dengan memahami dalil-dalil tersebut, kitapun bisa menyimpulkan mana amal yang Wajib, yang Sunnah, yang Mubah, yang Makruh dan yang Haram. Sebab yang Wajib didahulukan dari yang Sunnah, yang Sunnah didahulukan dari yang Mubah. Begitupun meninggalkan yang Haram didahulukan dari meninggalkan yang Makruh. Inilah warisan ulama yang telah merumuskan disiplin keilmuan Fiqh Muwazanah. Yaitu konsepsi dalam menimbang amal-amal berdasarkan bobot hukumnya yang disimpulkan dari landasan dalilnya.

Bila pilihannya adalah amal yang Maslahat (manfaat) dan amal yang Mafsadat (merusak), maka meninggalkan yang Mafsadat lebih diprioritaskan daripada melaksanakan yang Maslahat. Namun bila tingkat Maslahat lebih besar daripada tingkat Mafsadat, maka melaksanakan Maslahat lebih diprioritaskan daripada meninggalkan Mafsadat. Begitupun bila Maslahat lebih langgeng manfaatnya daripada meninggalkan Mafsadat, maka melaksanakan Maslahat lebih diprioritaskan daripada meninggalkan Mafsadat. Satu lagi, bila Maslahat dari suatu hal sudah pasti adanya daripada Mafsadat dari suatu hal yang masih disangkakan, maka melaksanakan Maslahat lebih diprioritaskan daripada meninggalkan Mafsadat.

Ketiga; menentukan Prioritas Tujuan

Tahapan ketiga yang perlu kita perhatikan dalam mekanisme menentukan prioritas adalah menentukan prioritas tujuannya. Sebagaimana dalam ibadah, ada dalil yang menjadi landasan dan ada tujuan yang menjadi sasaran. Maka ulama telah merumuskan disiplin keilmuan berupa Fiqh Maqoshid.

Kita mendapatkan panduan-panduan pelaksanaan dari dalil, namun dengan memahami Maqoshid (tujuan) kita mengetahui tujuan-tujuan yang hendaknya dicapai. Bila aspek pelaksanaan bersifat fleksibel, maka tujuan bersifat tetap. Pelaksanaan bisa menyesuaikan situasi dan kondisi, sementara tujuan harus terwujud apapun situasi dan kondisinya. Pada tahap ketiga inilah kita perlu memahami mana tujuan yang tetap dan mana pelaksanaan yang dapat berubah.

Sebagaimana tujuan shalat adalah menghindari dari perbuatan buruk dan munkar (al ‘Ankabut : 45), maka ia harus terwujud bagaimanapun kondisinya. Adapun pelaksaan sholat fleksibel mengikuti kondisi, ia dapat berdiri maupun dapat sambil duduk bahkan berbaring. Dapat pula dijama’, pun diqashar.

Seperti pula Zakat yang memiliki tujuan membersihkan dan mensucikan pemilik harta (at Taubah : 103), Puasa yang memiliki tujuan menjadi insan bertakwa (al Baqarah : 183), dan Haji yang memiliki tujuan menyaksikan manfaat-manfaat bagi penunainya (al Hajj : 28). Namun pelaksanaan Zakat bisa berupa uang tunai maupun bahan makanan, begitupun pelaksanaan Puasa bisa qadha maupun mengganti dengan memberi berbuka bila telah renta tak kuasa berpuasa, serta Haji dapat ditunaikan sendiri maupun dibantu perwakilan dalam menunaikannya.

Begitupun seperti contoh zakat Fitrah yang bisa berupa makanan pokok maupun uang tunai, dengan memperhatikan tujuannya membahagiakan dan menyediakan bahan makanan para faqir-miskin di Hari Raya. Atau contoh lain terkait melempar Jumroh sebelum masuk waktu Dhuhur, maka pelaksanaannya bisa ditunda sorenya dengan mempertimbangkan keselamatan jamaah.

Beginilah hikmahnya tuntunan Islam dalam menentukan prioritas, bahwa Tujuan suatu amal itu lebih prioritas daripada Cara Pelaksanaan amal tersebut.

Epilog

Dengan memahami tiga tahapan menentukan prioritas tersebut, semoga kita lebih mudah mengurai konflik yang mungkin terjadi dalam keseharian kita. Misalkan perselisihan terkait penyelenggaraan Maulid Nabi di sebuah sekolah yang beragam guru dan muridnya. Satu pihak mengatakan bahwa Maulid perlu diselenggarakan, sementara pihak lain mengatakan bahwa Maulid tidak perlu diselenggarakan. Maka sederhana saja dalam menimbang prioritasnya.

Awalnya kita timbang dahulu dari aspek dalil. Apakah Maulid termasuk hal yang Wajib, Sunah atau Mubah? Apakah bisa terjatuh pada Makruh atau Haram? Lalu setelah kita pilah prioritas dari aspek dalilnya, maka kita bisa menimbang apakah maslahat atau mafsadat yang ada dalam pelaksanaannya lebih besar, lebih pasti, dan lebih langgeng? Bila pelaksanaan Maulid tidak menimbulkan mafsadat perseteruan guru dan pendanaan yang dipaksakan, maka dapat menjadi prioritas untuk diselenggarakan. Terakhir ia akan tetap menjadi prioritas bila Tujuan penyelenggaraannya dapat tercapai, namun bila tidak tercapai tujuannya maka prioritasnya gugur. Dalam hal Maulid maka tujuannya adalah menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah, maka bila tujuan ini tidak tercapai perlu ada evaluasi untuk memprioritaskannya. Sebab tujuannya adalah tumbuhnya kecintaan kepada Rasulullah, sedangkan Maulid adalah sarananya yang bersifat fleksibel.

Demikianlah panduan Islam dalam menentukan prioritas. Dengan demikian kita akan mampu menetapkan prioritas dengan menjaga kebenaran Dalil, urgensitas pelaksanaan serta terjaganya tujuannya. Maka, bila tahapan-tahapan ini yang kita lakukan, seorang Muslim akan tampil dengan prioritas yang lebih bertanggungjawab, dan tidak sekadar memprioritaskan keinginan diri yang sangat subjektif.


Jakarta, 29 Maret 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H



Baca juga:

Tidak ada komentar: