Rabu, 11 November 2015

TEGAKNYA KEADILAN YANG DITELADANKAN

lokasi foto: Islamabad

Dalam kesempatan berkunjung ke Manado –Sulawesi Utara- yang notabenenya daerah minoritas Muslim, saya menemukan sebuah komunitas studi Islam untuk remaja dan muallaf. Bahkan ada pula yang turut hadir di situ, belum beragama Islam.


Sengaja saya sempatkan mengikuti salah satu sesi kajiannya. Karena maksud kunjungan saya ke Sulawesi Utara memang untuk mencermati dinamika dakwah di daerah minoritas Muslim.

Materi malam itu bertema mengenal Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam. Sang pengasuh, seorang ustadz muda, mengisi mentoring Islam malam itu dengan beberapa seri kisah kehidupan Rasulullah Muhammad shalallahu ’alaihi wasalam. Salah satu kisah yang diutarakannya adalah interaksi Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam dengan seorang sahabat yang bernama Sawad bin Ghaziyyah radhiyallahu ’anhu.

Kisahnya sederhana. Saat itu persiapan perang Badar, dan Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam sebagai komandan bersiaga merapikan barisan pasukan kaum Muslimin, baik dari Muhajirin maupun Anshar. Dengan menggenggam anak panah, Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam mengukur kerapihan dan lurusnya barisan pasukan kaum Muslimin.

Sampailah didapati sahabat Sawad bin Ghaziyyah radhiyallahu ’anhu sedikit keluar barisan. Maka dipukullah perut Sawad dari kalangan sahabat Anshar itu, agar kembali ke barisan dan meluruskan diri dengan barisannya. “Luruskan, wahai Sawad!” perintah Rasulullah tegas.

Sawad menuruti. Namun tak dinyana, Sawad segera protes kepada Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam. “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku,” ujarnya.

“Bukankah Engkau diutus untuk kebenaran dan keadilan? Maka berikan hak qishah kepadaku,” lanjutnya kemudian.

Seketika Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam memberikan anak panah yang dipegangnya kepada Sawad. Mempersilakannya membalas pukulan pada perutnya.

Tetapi, Sawad tidak langsung membalas. Ia justru berkata, “Engkau mengenakan pakaian. Sementara Engkau pukul aku tanpa pakaian yang menutupi perutku.”

Dengan tanggap, Rasulullah langsung menyingkap pakaian yang menutupi perutnya, agar Sawad bisa membalas pukulan dengan anak panah yang langsung mengenai kulit perutnya. Namun seketika itu pula, Sawad melepaskan genggaman anak panah, dan memeluk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam erat.

Kisah ini terdapat pada beberapa kitab sejarah, di antaranya ada pada kitab as Shirah al Halbiyah jilid 3 yang ditulis oleh Ali bin Burhanuddin al Halabi. Ketika saya menyimaknya di forum Studi Islam yang ada di daerah minoritas Muslim itu, lalu saya melihat binar-binar mata peserta yang sebagiannya adalah muallaf, saya dapati hampir rata semuanya berkaca-kaca. Maka saya segera terhenyak; inilah pesona Rasulullah! Inilah pesona Islam!

Bahkan bila pesona ini diutarakan kepada kalangan non Muslim, maka hanya ketakziman yang sesungguhnya akan menguar dari lubuk-lubuk hati terdalam. Seperti di bumi Manado yang kata orang merupakan ‘Kota Seribu Gereja’, tidak sedikit dari mereka yang sangat ingin tahu tentang risalah Islam. Maka majelis studi Islam semacam itu mendapat tempatnya.

Sungguh, sepenggal kisah Rasulullah itulah esensi risalah agama ini. Menegakkan keadilan! Ya, Keadilan.

Islam hadir dengan mengusung risalah Tauhid. Dan sesungguhnya risalah Tauhid itulah esensi nilai Keadilan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fakhruddin ar Razi, bahwa kalimat ‘laa ilaaha illa Allah’ itu adalah kalimat keadilan, karena sikap adil terhadap segala sesuatu menjadi penyebab terwujudnya keseimbangan dan karena pengetahuan tentang Allah berada dalam posisi tengah yang tidak ifrath (menyerupakan Allah dengan lainnya) pun tidak tafrith (meniadakan sifat-sifat Allah).

Oleh karenanya, bila kita telusuri firman-Nya, maka kita akan temukan sebuah nasehat Luqman kepada anaknya. Pesannya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13)

Begitulah... Lawan Tauhid adalah Syirik, dan lawan Keadilan adalah Kezaliman. Maka Tauhid adalah landasan bagi Keadilan, dan Syirik adalah akar segala Kezaliman.

Itulah urgensi Keadilan dalam Islam, yang juga menjadi salah satu prinsip dari Sistem Politik dalam Islam. Karena menegakkan keadilan, bagaimanapun hanya bisa dimulai dari pemimpin. Sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah. Bilapun yang bersalah adalah pemimpin, maka tegakkan keadilan hukum.

Itulah yang dicontohkan Rasulullah, ketika Sawad meminta keadilan dengan membalas apa yang dirasanya telah terzalimi oleh Rasulullah, maka Rasulullah pun rela menerima balasan itu demi tegaknya keadilan.



 Batam, 11 November 2015, 02.30

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

1 komentar:

Lina Astuti mengatakan...

masyaAllah pesona Rasulullah.. Berkali-kali baca kisahnya tetap saja takjub yg ada.