Selasa, 10 November 2015

MENYERAHKAN KUASA KEPADA ALLAH DI LAPAS SUKAMISKIN

sumber: lapassukamiskin.com

Bila kita berkunjung ke Lapas Sukamiskin di mana dahulu Bung Karno pernah ditahan, maka di sudut Barat akan kita dapati Masjid Al Mushlih yang kokoh dibangun tahun 1918. Di tepi langit-langit mihrab masjid itu terterakan kaligrafi salah satu firman-Nya di surat al Maidah ayat 44, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”


Berkali-kali saya menyeksamai kaligrafi itu. Unik, karena tertera di masjid yang berada dalam rumah tahanan. Bagaimana tidak unik, karena ayat ini cukup menjadi diskursus sengit antara ummat dan para penguasa, antara kehendak menyerahkan kuasa hanya kepada Allah dengan kehendak berkuasa ‘mutlak’ para penguasa. Dan rumah tahanan adalah salah satu simpul pertemuan interaksi penguasa dengan rakyat, yang biasanya berupa vonis kezaliman atas nama kekuasaan bagi mereka yang menentang kekuasaan penuh yang semena-mena para penguasa.

Sekali lagi, itu cukup menarik bagi saya. Rumah tahanan adalah penampungan sekian banyak vonis hukum. Dan, berapa banyak vonis hukum yang kontroversial? Berapa banyak pula vonis hukum yang menggunakan logika manusiawi semata, mengabaikan panduan Illahi, dan dominan pada ego para hakim? Lalu, kaligrafi itu menerakan sebuah ayat yang menyatakan tentang keharusan memutuskan segala sesuatu dengan ketetapan dari Allah subhanahu wata’ala, yang biasanya hal ini sering diabaikan oleh para hakim yang menetapkan vonis bagi para terdakwa hingga ditampung di rumah tahanan.

Pilihan ayatnya pun unik. Sebab yang dipilih adalah ayat yang menyatakan konsekuensi kekufuran. Padahal ada dua ayat serupa lainnya, pada surat yang sama, bahkan berada tepat setelah ayat itu, namun dengan statemen konsekuensi yang berbeda; yaitu zalim dan fasik.

Kita bisa membaca ayat ke-45, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” Kemudian ayat serupa juga yaitu ayat ke-47, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.”

Ketiganya sama ujung-ujung ayat. Yang membedakan adalah statemen akhir pada masing-masing ayat; pertama statemennya kufur, kedua statemennya zalim, ketiga statemennya fasik.

Yang tidak berhukum kepada Allah, maka kafir, zalim, atau fasik. Begitu firman-Nya. Dan Syeikh Abdul Qadir al Audah pernah menyatakan, bahwa mereka yang tidak menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada Allah azza wa jalla, maka tidak sedikitpun Islam di hatinya.

Ayat-ayat ini secara konteks merupakan penekanan dalam perkara hudud, namun hikmahnya bisa dalam segala hal ketetapan apapun pada kehidupan ini. Ayat ini diturunkan sebagai peringatan dari banyaknya kesemena-menaan yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nashrani. Sebagaimana sebab turunnya ayat ke-44 dari riwayat Barra’ bin ‘Azib yang menuturkan bahwa suatu ketika, ada seorang keluarga penguasa di kalangan Yahudi yang melakukan perzinaan. Namun, hukum rajam selalu ditunda-tunda. Tak lama, ada seorang rakyat jelata yang melakukan perzinaan, dan hukum rajam segera ditegakkan atasnya. Kaum jelata pun protes dan mengatakan, “Jangan kamu rajam saudara kami sebelum keluarga penguasa itu dirajam.” Kemudian, mereka meminta fatwa kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya aku memberi hukum seperti yang terdapat di dalam Taurat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Jarir)

Maka, bila kita membaca secara utuh ayat ke-44, di situ Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang petunjuk-petunjuk-Nya dalam Taurat bagi orang-orang Yahudi, yang hendaknya ditepati tanpa perlu takut terhadap manusia, sehingga menjual atau menggadaikan ayat-ayat-Nya. Lalu di ayat ke-45, Allah subhanahu wata’ala menjabarkan ketetapan-Nya akan hukum Qishash yang telah diturunkan dalam Taurat. Adapun ayat ke-47, penekanan-Nya yang serupa pada Injil.

Untuk mendalami ketiga ayat itu, kita bisa kembali pada kitab-kitab tafsir. Namun kiranya di sini kita dapat merenung, kenapa Allah subhanahu wata’ala berikan statemen bagi mereka yang tidak menetapkan sesuai ketetapan-Nya sebagai kafir, zalim dan fasik?

Sebab, mereka yang tidak menepati ketetapan-Nya, biasanya karena beberapa faktor berikut: karena benci dan ingkar kepada kuasa Allah subhanahu wata’ala, karena lebih cenderung pada hawa nafsunya sehingga merugikan orang lain, serta karena pemberontakan kepada kebenaran yang telah diketahuinya.

Untuk yang pertama, itulah sebabnya mereka menjadi kufur; karena motifnya memang benci dan ingkar kepada kuasa Allah subhanahu wata’ala. Sementara yang kedua, begitulah pengingkaran kepada ketetapan-Nya telah menjadikan mereka zalim; sebab mereka cenderung pada hawa nafsu dan egonya semata yang merugikan orang lain. Adapun yang ketiga, sebagaimana orang-orang fasik; sesungguhnya mereka sudah mengetahui namun mereka melanggarnya.

Semoga kita tidak termasuk dari ketiga golongan itu. Bilapun kita belum mampu menepati seluruh ketetapan-Nya, hal itu karena kelemahan dan keterbatasan kita; bukan karena mengingkari-Nya, bukan pula karena hawa nafsu, serta bukan karena kehendak ingin melanggarnya.

Sembari dengan sepenuh keinsafan kita berdoa sebagaimana doa yang diterakan pada ayat terakhir surat al Baqarah. “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”


Batam, 10 November 2015, 02.10

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)



Baca juga:

Tidak ada komentar: