Rabu, 23 September 2015

PELAJARAN KEPEMIMPINAN DARI MUHAMMADIYAH


Kini, Seratus Enam Tahun usia persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai sebuah komunitas dakwah di tengah kehidupan ummat dan bangsa, tentu persyarikatan ini selain menjadi wadah perhimpunan amal-amal usaha anggotanya, juga menjadi 'laboratorium' Kepemimpinan ummat dan bangsa. Di mana padanya, para kadernya belajar dipimpin dan memimpin, hingga berperan dalam Kepemimpinan ummat dan bangsa. Di mana padanya pula, beragam pengalaman keorganisasian selama 106 tahun, dapat dijadikan pelajaran Kepemimpinan bagi masyarakat umumnya.


Di antara pelajaran kepemimpinan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah sejak berdirinya tanggal 8 Dzul Hijjah 1330 H, yang cukup menarik adalah warisan-warisan hikmah dari KH. Abdul Rozaq Fachruddin. Selain karena keunikan-keunikan hikmahnya, Kepemimpinan beliau selama 22 tahun sebagai Ketua PP Muhammadiyah ke-10 merupakan periode terlama dari seluruh periode-periode Ketua lainnya.

Uniknya, periode yang lama dalam Kepemimpinannya itu bukanlah sebuah bentuk otoritarianisme. Sebab itulah kehendak warga persyarikatan. Bahkan sebenarnya beliau masih diminta melanjutkan pada Muktamar tahun 1990, namun beliau meminta untuk digantikan karena merasa sudah terlalu lama dan usia semakin tua (64 tahun). Mungkin inilah yang diisyaratkan oleh Sabda Rasulullah dalam riwayat Muslim sebagai pemimpin yang baik, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka."


Tiga Keteladanan dari Pak AR

Pak AR, begitu akrabnya beliau disapa. Setidaknya ada 3 keteladanan yang bisa kita resapi dari perjalanan Kepemimpinannya, sebagaimana yang telah diterima oleh anak-anaknya, para kader Muhammadiyah di masanya, serta para Pimpinan dalam tubuh persyarikatan pada masanya. Sebagaimana yang ditulis oleh Mochammad Faried Cahyono dan Abu Tsauban Habibullah dalam "Pak AR, Santri Desa yang Memimpin Muhammadiyah" (zeropoint publisher, 2013), hasil wawancara dengan dr. Fauzy AR DSA (putra Pak AR) dan Said Tuhuleley (salah satu Pimpinan Muhammadiyah). 

Pertama; menyikapi manusia sesuai kadar keberagamaannya.

Sebagaimana salah satu nasehat beliau kepada anak-anaknya, "Manusia itu jangan minder dengan pejabat, pengusaha, orang kaya atau siapapun. Namun minderlah terhadap orang alim atau orang bertaqwa."

Mungkin itulah yang membuat beliau tetap mampu tampil sederhana namun percaya diri dalam diplomasi keumatan. Bahkan beliau tak hanya mampu menjangkau beragam kalangan, namun juga mampu menyampaikan aspirasi ummat. Hal itu karena beliau tak minder tersebab jabatan atau kekayaan. Sebab, yang minder terhadap jabatan menandakan ingin meraih jabatan, dan yang minder terhadap kekayaan menandakan cinta dunia. Itu adalah belenggu-belenggu kehidupan. 

Kedua; menjaga silaturrahim dengan para pemimpin.

Sebagaimana imbauan beliau kepada para kader Muhammadiyah di masanya, "Jika pemimpin salah harus diingatkan dengan cara yang baik, dan tidak perlu dimaki-maki karena mereka adalah sesama muslim."

Himbauan itu sesungguhnya bukan sebentuk kelemahan jiwa. Justru itulah kemuliaan jiwa, berlaku pro-aktif dalam mengubah kesalahan pemimpin. Selain, tentu itu berangkat dari keyakinan beliau yang kuat akan segala pertolongan Allah subhanahu wata'ala.

Ketiga; memahami dinamika kehidupan masyarakat yang dipimpin.

Sebagaimana pesan beliau suatu saat kepada beberapa pimpinan muda di tingkat pusat Muhammadiyah yang akan berkunjung ke wilayah, "Sempatkan menginap di rumah pengurus daerah. Dengan menginap di rumah orang daerah, maka akan ada kesempatan memahami kehidupan orang yang di bawah, juga memahami kesulitan pengurus yang di bawah. Dengarkan apa yang dikeluh-kesahkan orang di bawah, dan kalau bisa, saudara membantu menyelesaikan masalahnya."

Begitulah cara beliau dalam mencari kesempatan untuk memahami dinamika masyarakat yang dipimpin. Kebersahajaan itulah yang membuat beliau mampu secara maksimal menyeksamai problema masyarakat, lalu piawai memetakan masalah dan memberi solusinya. Sederhana.  Namun butuh komitmen kepribadian. 


Epilog; Kepemimpinan yang Tak Dipinta

Menyimak sejarah Pak AR, maka kita mempersaksikan sebuah Kepemimpinan yang tak dipinta. Ya, itulah Kepemimpinan KH. Abdul Rozaq Fachruddin. 

Hasil pemilihan di Muktamar tahun 1968 memang menetapkan beliau unggul. Tapi itu bukan harapan beliau, bahkan akhirnya dengan halus beliau menolak dan mengusulkan untuk menunjuk Ketua PP Muhammadiyah dari 9 calon terjaring. Hingga akhirnya, diputuskan KH. Faqih Usman sebagai Ketua, selaku yang lebih tua dan lebih berpengalaman.

Namun Allah azza wa jalla punya kehendak. Dua hari setelah Muktamar, 8 Pimpinan menuju ke Jakarta untuk menggelar rapat bersama KH. Faqih Usman selaku Ketua yang berada di Jakarta. TakdirNya, KH. Faqih Usman tidak memungkinkan ikut rapat dan menulis surat, "Saya akan berobat ke Belanda atas biaya Menteri Sosial, saudara S. Mintarja, S.H. Selama berobat, PP Muhammadiyah sehari-hari untuk Yogyakarta saya percayakan kepada saudara AR Fachruddin dan saudara HM Jindar Tamimi. Untuk Jakarta, saya percayakan pada Prof. Dr. H. Rosyidi dan Prof. Dr. Hamka."

Dan... Tidak lama setelah rapat Pimpinan berlangsung, kabar duka menyusul. KH. Faqih Usman dikabarkan telah kembali ke rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. 

Sontak segenap Pimpinan bergeming. Hingga tiba Buya Hamka beserta dr. Koesnadi -anggota PP Muhammadiyah dan pendiri RS Islam Jakarta- membawa pesan Buya Sutan Mansyur selaku penasehat PP Muhammadiyah, "Yang meninggal bukan Faqih Usman pribadi, tapi Faqih Usman Ketua PP Muhammadiyah, imamnya orang Muhammadiyah seluruh Indonesia. Karena itu, KH. Faqih Usman jangan dikubur sebelum ada gantinya."

Lalu, dengan sederhana Buya Hamka memecah kebekuan. "Begini saja, ini sudah ada surat, kita anggap saja surat ini sebagai wasiat. Karena itu, pengganti Faqih Usman adalah saudara AR Fachruddin," simpul Buya Hamka sembari membuka pesan tulisan almarhum.

Semua sepakat. Maka pada Sidang Tanwir tahun 1969 di Ponorogo, ditetapkan KH. AR Fachruddin sebagai Ketua. Hingga 4 kali Muktamar setelahnya, beliau selalu dipilih kembali.

Begitulah Kepemimpinan yang tak dipinta. Ia justru melahirkan banyak keteladanan, sebab ia bagaikan saluran yang memang disiapkan Allah subhanahu wata'ala untuk aktualisasi potensi hambaNya.

Bahkan, dari Kepemimpinan Pak AR, kata Dr. Abdul Munir Mulkan, persyarikatan Muhammadiyah mewarisi model Kepemimpinan kolegial yang hingga kini masih menjadi ciri Kepemimpinan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah.

_____________________________
Senja Utama, 22 / 09 / 2015
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Anggota PCIM Pakistan

Tidak ada komentar: