Selasa, 08 November 2016

OBROLAN MUDA-MUDI TENTANG PEMAHAMAN NIAT MENIKAH


Pertama, tema pernikahan adalah tema klasik, karenanya saya selalu berpikir lebih dalam jika ingin membahas tema ini agar tidak mengulang bahasan yang sudah biasa terbahas. Kedua, tema niat adalah tema yang paling luas, sebab semua pergerakan di dunia ini simpulnya ada pada niat. Karenanya saya berpikir untuk menyederhanakan kompleksitasnya. Ketiga, tema pemahaman adalah tema yang sangat dalam, sehingga harus ditelusuri hingga akarnya, dan pemahaman inilah yang akan mengubah segalanya, ialah pangkalnya. Karena itu ketika hendak membahas tema ‘Pemahaman Niat Menikah’, selain berpikir agar tidak mengulang bahasan yang biasa terbahas dan berpikir penyederhanaannya, kita juga perlu berpikir bagaimana mencapai pada akar permasalahan agar sampai pada pondasi pemahaman.


Maka tema ‘Pemahaman Niat Menikah’ ini sangat berat. Tapi secara sederhana kita bisa petakan bahasan ini pada 3 hal:
Pertama, Niat.
Kedua, Pemahaman.
Ketiga, Menikah.

Terkait Niat, kita telah mengetahui bahwa kata kunci niat yang baik adalah murni untuk Allah. Tapi secara sederhana, niat adalah pembeda antara ikhlas dan tidak ikhlas. Fungsi pembeda ini menjadi sangat penting dipenuhi, karena ia akan membedakan dua hal atau lebih yang tampak sama. Misalkan secara tampilan sama-sama menikah, namun sesungguhnya ada beda antara keduanya. Itulah fungsi niat. 

Nah, karena itu terkait niat pemetaannya pada 4 hal:
a. Lillah / liajlillah (karena Allah) 
b. Fillah / fii sabilillah (dalam lingkup Allah / di jalan Allah) 
c. Ma'allah (bersama Allah)
d. Min dunillah (tanpa Allah)
Dari keempat poin tersebut, kita hendaknya memiliki niat dalam lingkup poin pertama dan kedua.

Terkait Pemahaman, maka sesuai dengan kemampuan merumuskan niat yang fungsinya menjadi pembeda. Jadi bila niat itu hendaknya berfungsi membedakan dua hal yang seakan sama, maka ketidak-mampuan membedakan dua hal yang tampak sama akan membawa seseorang buruk dalam menilai sesuatu. Sehingga berakibat pada kesalahan dalam bersikap dan bertindak. Termasuk dalam hal menyikapi pernikahan ataupun bertindak untuk mengkhitbah dan menikah. Karena itu, pemahaman terkait 4 peta niat itu perlu diperdalam. Targetnya agar kita bisa membedakan dua hal yang seakan sama.

Terkait Menikah, kita perlu merenungi beberapa arahan dalam al Quran dan Hadits tentang tujuan pernikahan. Saya beri kata kuncinya sebagaimana kata-kata yang ditulis kapital. Dalam al Qur’an ada surat ar Ruum ayat 21, ".....SUPAYA kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang."

Sementara ada Hadits yang menyatakan, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah mampu secara materi dan jasmani maka menikahlah karena hal itu BISA MENJAGA mata dan kemaluan, maka barangsiapa tidak mampu hendaknya ia berpuasa karena pada puasa terdapat obat.” (H.R. Muttafaqun Alaih) 

Juga ada Hadits yang menyatakan, “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah MENYEMPURNAKAN separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.

Saya rasa cukup itu pendahuluannya. Silakan didiskusikan...



Pertanyaan 1:
Bagaimana maksud niat mindunillah, tanpa Allah?

Jawaban:
Menempatkan Allah dalam niat dan maksud di bawah maksud lain. Misalnya menikah karena rasa cinta mati terhadap seseorang. Sehingga cintanya kepada seseorang itu melebihi cintanya kepada Allah. Indikasinya, tidak peduli istikharah kepada Allah karena merasa pasti dia berjodoh dengannya. Atau biasanya dengan indikasi tidak mau lagi musyawarah karena sangat yakin dia jodohnya.


Pertanyaan 2:
Bagaimana caranya agar mindset kita tentang pernikahan itu siap segalanya (tidak melulu soal cinta atau bahagianya saja)? Karena dalam menjalani rumah tangga selalu ada halangan dan rintangannya. Bagaimana cara menyiapkan mental dan pemahaman ke arah sana?

Jawaban:
Pahami bahwa misi kehidupan kita adalah beribadah dan menjadi khalifah. Dengan mindset ibadah, maka apapun yang terjadi adalah peluang amal baginya. Dengan mindset khalifah, maka lingkungan bagi kita adalah amanah untuk ditata. Jadi baik-buruknya lingkungan, nyaman atau tidak nyamannya pasangan, adalah tugas kita menatanya.

Biasanya kalau sudah mindset ibadah dan khalifah, fokusnya pada tujuan. Untuk apa dia menikah? Adapun person pasangan, waktu dan tempat pernikahan akan dipandang sebagai perkara teknis.

Dahulu saya menikah hanya memikirkan tujuan kenapa saya harus menikah. Perkara calon dan waktunya, saya fleksibel. Hingga akhirnya saya menjajaki seorang perempuan, tanpa tahu usianya dan anak ke berapa. Ketemu sekali, melamar sepekan kemudian, dan aqad tiga hari setelahnya.


Pertanyaan 3:
Bagaimana membuat pemahaman ke keluarga bahwa menyegerakan pernikahan sangat perlu? Bagaimana jika niat kita menikah muda yang cuma ingin menjauhi maksiat dipandang sebelah mata oleh keluarga?

Jawaban:
Memahamkan orang lain memang butuh proses. Maka langkah pertama, mulai dari pembicaraan ringan. Lalu langkah kedua, bangun kedribilitas diri kita.

Kadang keluarga bukannya tidak paham, tapi mungkin memandang kita belum layak menikah. Atau sebaliknya, mereka memandang kita layak punya pasangan, tapi bagi mereka tidak perlu segera menikah. Nah, maka yang diperlukan adalah memahamkan dan membangun kredibilitas diri di hadapan mereka.

Saya sampai sekarang belum terlalu yakin bahwa niat menikah untuk menjauhi maksiat yang belakangan sering dilontarkan itu adalah alasan sesungguhnya. Sebab itu terlalu naif. Seakan-akan setelah menikah mereka tidak akan maksiat.

Sebab, seseorang akan diuji pada titik terlemahnya. Bila ia lemah dalam hal lawan jenis, maka meskipun sudah menikah akan diuji dengan lawan jenis sampai dia tidak lagi punya kelemahan itu. Sebab prinsip ujian adalah meningkatkan kapasitas. Maka ujian akan terus berulang bila kapasitas belum juga meningkat. Sama seperti di sekolah, akan remedial kalau memang belum lulus.

Saran saya, bangun Perspektif pernikahan sebagai bagian dari misi ibadah dan khalifah di muka bumi. Jangan sekadar untuk menghindari maksiat.


Pertanyaan 4:
Bagaimana tindakan agar senantiasa istiqomah menjaga niat menikah karena beribadah kepada Allah? Karena dalam prosesnya mungkin berbelok.

Jawaban :
Sangat mungkin. Karenanya konsep niat itu dalam hadits Arba'in pertama, dengan bahasa umum, karena ada peluang perbaikan di tengah jalan. Oleh karenanya, niat itu memang harus dijaga di awal, di pertengahan dan di akhir. Ketika hendak melamar, bagaimana niatnya. Ketika proses aqad, bagaimana niatnya. Setelah aqad, bagaimana niatnya. Kira-kira seperti itu.

Langkah praktisnya, pahami bahwa kita menikah itu adalah proses mewujudkan tatanan masyarakat islami. Jadi setelah kita membenahi diri sendiri, lalu menikah membentuk keluarga muslim. Tapi keluarga muslim itu bukan tujuan, dia hanya sarana mencapai tujuan setelahnya yaitu terwujudnya tatanan masyarakat islami.

Nah, kalau kita memahami menikah adalah proses atau sarana, maka kita akan lebih mudah menjaga niat. Tapi kalau kita memahami menikah adalah tujuan, maka setelah itu kita tidak punya lagi narasi. Kejumudan itulah yang berpotensi memperkeruh niatan kita.

Maka kita dapati, berapa banyak yang setelah menikah tidak lagi aktif dalam dakwah. Kita juga mendapati, berapa banyak yang setelah menikah sulit betul diajak kumpul. Dan lainnya.


Pertanyaan 5:
Apa syarat dan indikator dari niat menikah karena Allah?

Jawaban:
Syaratnya harus Lillah / liajlillah (untuk Allah) atau fillah / fii sabilillah (dalam cakupan Allah). Maksudnya, semua tujuan yang ingin dicapai dengan menikah tidak boleh kontradiksi dengan tujuan ketaatan kepada Allah.

Contohnya dahulu Nabi Sulaiman berniat menggauli 70 istrinya dengan niat agar hamil dan melahirkan anak yang akan menjadi mujahid. Nah, tujuan itu masih selaras dalam ketaatan kepada Allah.


Pertanyaan 6:
Bagaimana caranya meluruskan dan meneguhkan niat, ketika tahu bahwa kehidupan pernikahan tidak selamanya indah?

Jawaban:
Tanyakan ke diri, menikah untuk apa? Mendapatkan kebahagiaan atau mendapatkan peluang amal?

Dahulu sebelum menikah, saya membangun perspektif diri saya yang mungkin sedikit nakal, bahwa haruskah kita mendapatkan pasangan yang shalihah? Sebagai sebuah impian, sangat dianjurkan. Tapi sebagai sebuah patokan, tidak semestinya.

Saya berpikir, kalau saya mendapatkan pasangan yang shalihah, maka enak betul saya tinggal menikmati hasil pembinaan orang tuanya atau lingkungannya. Dan mungkin saya tidak punya peran membuat dia shalihah. Tapi kalau saya mendapatkan pasangan yang mungkin kurang shalihah, maka kita punya peluang membuatnya shalihah.

Ingat, cinta adalah memberi bukan menerima. Kalau kita hanya ingin menerima pasangan shalihah dari sebuah keluarga, maka itu belumlah cinta sejati. Tapi hendaknya kita menyiapkan diri, apa yang bisa kita berikan untuk memperbaiki pasangan atau keluarganya bila kita ternyata ditakdirkan menikah dengan seorang muslimah yang perlu dibimbing dan keluarganya yang perlu dibenahi.

Setelah perspektif itu terbangun kokoh dalam benak saya, lalu saya melangkah untuk proses pernikahan. Akan lebih ringan langkah kita, karena akhirnya kita siap dengan kondisi apapun atas taqdir pasangan yang diberikan.


Epilog

Cinta adalah memberi, bukan menerima. Pahamilah bahwa menikah adalah proses atau sarana, agar kita lebih mudah menjaga niat. Niatkan menikah Lillah karena Allah dan di jalan Allah. Semoga Allah senantiasa meluruskan niat kita, dan Allah pertemukan dengan jodoh yang terbaik. 




Catatan Kamis malam tanggal 20 bulan Oktober tahun 2016

Tidak ada komentar: