Kamis, 15 Februari 2018

Ulah FLP Bogor, Bengkel Diubah Jadi Mimbar Sastra Dadakan

Mimbar Sastra dadakan di bengkel. (Dok: Pribadi)

Ahad, 31 Agustus 2014. Aku diundang oleh FLP Bogor untuk menjadi salah satu narasumber dalam acara Inaugurasi Anggota Pramuda Angkatan VII. Anggota Pramuda adalah istilah di FLP wilayah Jakarta Raya yang digunakan untuk mereka yang telah mendaftar ke FLP namun sedang menjalani orientasi sebelum resmi menjadi Anggota. Maksudnya adalah Anggota sebelum jenjang Muda yang merupakan jenjang pertama keanggotaan FLP. Anggota Pramuda ini akan menjalani masa orientasi selama 6 bulan dengan berbagai forum pengenalan beragam jenis tulisan.


Setelah menjalani masa orientasi ini, Anggota Pramuda yang notabenenya adalah calon Anggota itu dipastikan telah siap menjadi Anggota FLP. Maka, kemudian dilakukan acara Inaugurasi atau Pelantikan Anggota. Setelah pelatikan ini, Anggota yang telah mendaftar tersebut dinyatakan sah menjadi Anggota FLP yang punya hak dan kewajiban sama dengan Anggota-Anggota sebelumnya. Jenjang mereka setelah dilantik menjadi Anggota Muda, yang seiring perkembangan kapasitasnya akan meningkat ke jenjang Anggota Madya bahkan Anggota Andal.

Nah, kali ini aku diundang untuk memaparkan terkait Dakwah Pena FLP. Selain aku, ada dua narasumber lainnya yaitu mas Sudiyanto selaku Ketua FLP wilayah Jakarta Raya dan mas Syaiful Hadi selaku Ketua FLP cabang Bogor. FLP Bogor sendiri memang berada di bawah koordinasi wilayah Jakarta Raya. Jadi, mas Sudiyanto memaparkan tentang FLP secara umum dan mas Syaiful Hadi memaparkan tentang FLP Bogor kepada para calon anggota baru ini. Materi-materi dalam inaugurasi inilah yang akan menjadi pelengkap pengenalan FLP bagi calon Anggota tersebut.

Acara berjalan seperti biasa. Hingga Ashar menjelang, rangkaian acara Inaugurasi pun usai. Aku biasanya segera pamit, karena tinggal di Depok yang memakan waktu perjalanan hingga 1 jam. Dari IPB tempat kegiatan FLP Bogor ke Stasiun Bogor sekitar setengah jam, selanjutnya naik kereta dari Stasiun Bogor ke stasiun Pondok Cina sekitar setengah jam juga.

Mas Sudiyanto bahkan lebih jauh, karena domisilinya di Bekasi. Bisa menghabiskan dua jam di perjalanan. Pilihannya bisa dengan bus, bisa pula dengan kereta. Namun dua-duanya sama-sama memakan waktu yang tidak jauh berbeda.

Melihat aku dan mas Sudiyanto hendak pamit, pengurus FLP Bogor justru menawarkan untuk mengantar dengan mobil. Kebetulan Ikhwan Al Amin selaku Koordinator Divisi Kaderisasi FLP Bogor datang ke acara dengan mobil. Maka dia yang menawarkan diri untuk mengantar hingga stasiun, apalagi memang ada peserta undangan dari pengurus wilayah yang lainnya. Jadi, sekalian diantar.

Menurut Ikhwan, kalau naik angkutan kota harus melewati mall yang baru dibuka. Padahal itu titik macet terparah sepekan terakhir di Bogor, sehingga akan lama sampai di stasiun. Kami pun percaya, sebab ketika datang memang sempat terjebak macet hingga satu jam lebih hanya untuk melewati mall itu. Kabarnya, masyarakat juga mulai protes untuk menolak pembukaan mall itu yang semakin membuat macet daerah dramaga.

Maka usul Ikhwan, kami diantar saja dengan mobilnya, nanti bisa lewat jalan belakang sehingga tidak terjebak macet. Tentu kami menurut saja. Selain memang Ikhwan yang lebih tahu kondisi Bogor, kami juga senang karena dapat tumpangan gratis.

Segeralah kami menuju mobilnya dan Ikhwan pun mengemudikannya keluar kampus IPB. Total kami ada 9 orang. Empat orang laki-laki, yang semuanya di bangku belakang. Tiga orang perempuan di bangku tengah. Satu orang perempuan di bangku depan. Dan Ikhwan sendiri di bangku sopir.

Rupanya, jalan belakang pun sudah mulai merayap. Mungkin karena pengalihan jalur dari jalan besar yang sedang macet parah. Alhasil, mobil Ikhwan pun berjalan tidak bisa laju. Tapi masih untung, karena masih bisa terus bergerak. Jadi, meskipun lamban, namun tetap semakin mendekat ke tujuan.

Lima belas menit berlalu, dan jalanan mulai menyempit. Terkadang mobil harus berhenti menepi untuk bergantian dengan kendaraan yang datang dari lawan arah. Lalu berjalan lagi. Terkadang juga mengantri di belakang mobil depannya, lalu melaju lagi setelah mobil depan telah jauh meninggalkan kami.

Hingga tiba-tiba mobil Ikhwan yang kami tumpangi mesinnya mati. Ikhwan segera menstarter kembali, namun tidak kunjung hidup. Berulang kali, dan kondisi mobil tetap adem tanpa suara mesin yang meraung tanda telah hidup.

Karena jalanan sempit dan mogoknya mobil kami membuat kemacetan semakin panjang, akhirnya kami meminta teman-teman perempuan untuk turun dan mendorong. Mungkin Ikhwan juga mau minta didorong, tapi sungkan menyampaikan. Maka kamilah yang inisiatif meminta kepada teman-teman perempuan untuk turun dan mendorong hingga mobil sedikit menepi dan kendaraan lainnya bisa mendahului.

Sempat lucu juga, kami yang laki-laki justru di dalam mobil, sementara perempuan mendorong mobilnya. Tapi mau bagaimana lagi. Kami meminta kepada teman-teman perempuan karena mereka yang mudah turun dari mobil, sedangkan kami berada di bangku belakang tak mungkin keluar.

Rupanya didorong pun mesin mobil tak bereaksi. Ikhwan juga sudah menelepon ayahnya, menanyakan penanganan mobil tersebut, namun juga tidak berhasil membuat mesin mobil kembali hidup. Sebab itu mobil ayahnya, dan saran terakhir ayahnya agar dibawa saja ke bengkel.

Tidak ada pilihan. Kami pun menanyakan bengkel terdekat ke warga yang berpapasan. Infonya ada bengkel sekitar 300 meter. Jadilah kami turun semua dan mendorong mobil hingga bertemu bengkel.

Jam sudah melewati setengah enam petang. Matahari sudah mulai beranjak ke peraduannya. Temaram senja mulai menyelimuti langit. Perjalanan ke rumah kami jelas masih jauh. Tapi tidak mungkin kami meninggalkan Ikhwan sendirian di bengkel dengan mobilnya yang mogok. Akhirnya kami putuskan menemaninya sampai mobil bisa ditangani.

Tak berapa lama, adzan Maghrib pun berkumandang. Syukurnya, ada musholla di samping bengkel. Sehingga kami bisa memanfaatkan waktu menunggu untuk sholat Maghrib. Namun, usai shalat Maghrib, ternyata mobil juga belum pulih. Menurut keterangan tukang bengkelnya, perlu waktu sampai satu jam. Wow!

Dipikir-pikir lumayan juga waktu menunggunya. Tapi mau ditinggal untuk makan juga tanggung. Tiba-tiba mas Sudiyanto berseloroh agar kami menghapus rasa bosan dengan membaca puisi bergantian. Teman-teman pun langsung saling menyahuti ide konyol namun jitu itu.

Aku meminta Ikhwan mengeluarkan standing banner FLP Bogor dari mobilnya. Buat apa? Dipasang di pojok halaman bengkel. Pas tepi jalan orang lalu-lalang. Jadilah senja kelabu di bengkel biru itu kita ubah menjadi Mimbar Sastra dadakan. Ya, Mimbar Sastra adalah nama program pentas jalanan FLP wilayah Jakarta Raya. Biasanya kami menggelar di tempat-tempat keramaian.

Para pengendara mobil dan motor yang lewat depan bengkel mungkin terheran-heran melihat tingkah kami. Tapi kami tertawa lepas saja bersama bait-bait puisi yang bergantian kami baca. Rupanya program Mimbar Sastra itu berguna juga untuk kondisi-kondisi menjemukan seperti saat mobil mogok begini. Satu-persatu dari kami pun bergantian mendeklamasikan puisi, hingga mobil selesai diperbaiki.

Sesampainya di rumah, aku merenungkan apa yang sudah kami lakukan tadi. Lucu, konyol, namun berkesan. Sepertinya, tidak perlu menunggu mobil mogok baru kita gelar Mimbar Sastra di bengkel. Kenapa tidak dibuat saja program Mimbar Sastra di bengkel-bengkel secara rutin? Hitung-hitung sembari menghibur orang-orang yang mungkin sedang lelah dan jenuh menunggu kendaraannya direparasi. Kenapa tidak?


15 komentar:

Dewi Rieka mengatakan...

Hihi kreatif jugaa, bicara sastra bisa di mana saja yaa..

Novi Nusaiba mengatakan...

kereeen. Bisa banget ditiru

Junita Susanti mengatakan...

hahaha.. ini namanya kreatif banget, gak ada rotan akar pun jadi..
sukses terus ya fLP Bogor.. salam literasi

Antung apriana mengatakan...

wah kreatif, mas. daripada bosan menunggu dengan kegiatan tidak jelas mending jadikan acara flp ya

Lia Siregar mengatakan...

Alamak oiii...patut ditiru nih perkara kreatifitas begini

Mildaini mengatakan...

Ini mah baru Joss, mantap bener dah

Ilham Sadli mengatakan...

ini baru namanya kreatif... Di surabya juga ada kang, nyulap kolong atau apa dah aku lupa jadi tempat baca... :d

Irfan Azizi mengatakan...

Bahkan memang mesti di mana aja :)

Irfan Azizi mengatakan...

Ayo... Ayo...
Kak Novi dari FLP mana?

Irfan Azizi mengatakan...

Amiin... Main-mainlah ke Bogor

Irfan Azizi mengatakan...

Hehehe... Meskipun orang melihat dg tatapan aneh, tapi ikut terhibur juga :D

Irfan Azizi mengatakan...

Yuk ah... Nanti kita ikutan :D

Irfan Azizi mengatakan...

Belum ada mak Mil, jd kurang jos :D

Irfan Azizi mengatakan...

Wow... Mantap

Naqiyyah Syam mengatakan...

Keren euy kegiatannya. Penuk kreatif. Setu kalau bikin acara begini di Lampung ya