Minggu, 17 Juli 2022

Materi Surat Ad Dhuha


 

- I -

Ada beberapa riwayat terkait sebab turunnya surat Ad Dhuha. Namun dari berbagai riwayat itu, intinya adalah fase di mana sempat ada jeda turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam, hingga beliau merasa gelisah bahkan ada riwayat yang mengatakan sakit beberapa hari. Saat kondisi seperti itu, diceritakan dalam riwayat datang perempuan menghampiri Nabi mengatakan, “Hei Muhammad, setanmu telah pergi.” Maksudnya adalah Jibril yang membawa wahyu telah pergi tak lagi menyampaikan wahyu. Dan perempuan ini disinyalir adalah istri Abu Lahab yaitu Jamil.

Atau dalam riwayat lain, disebutkan yang menghampiri adalah Khadijah, yang mengatakan, “Tuhan-mu telah meninggalkanmu.” Namun, para mufassir berpendapat bahwa riwayat ini bisa jadi bukan Khadijah yang dimaksud, atau bilapun memang Khadijah maka itu semacam ungkapan kesedihan bukan ungkapan celaan atau keingkaran pada janji Rabbul Izzati.

Yang jelas, kemudian turun firman ini: وَالضُّحٰىۙ (Demi waktu duha), وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ (dan demi malam apabila telah sunyi), مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ (Tuhanmu tidak meninggalkan engkau Muhammad dan tidak pula membencimu). Surat yang secara langsung objek pembahasannya adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Di situ ditegaskan bahwa Allah tidak meninggalkan Nabi Muhammad, dan tidak membenci beliau.

Penegasan itu dimulai dengan sumpah akan waktu dhuha dan waktu malam. Sumpah semacam ini ada juga dalam surat al Lail ayat 1 – 2: “Demi malam apabila menutupi, dan siang apa bila terang-benderang.” Bahwa Allah hendak menegaskan kuasa-Nya di sepanjang waktu, baik saat matahari tampak (siang) dan saat matahari tak tampak (malam). Jadi tak ada sepenggal waktupun Allah biarkan kita sendirian.

Lalu, ulama ada yang menyebutkan bahwa surat Adh Dhuha inilah yang disampaikan saat Malaikat Jibril menampakkan wujud aslinya. Saat itu, Nabi Muhammad sedang berada di lembah Abtah. Tapi intinya dari awal surat Adh Dhuha ini adalah kesadaran kita bahwa Allah subhanahu wata’ala tak akan meninggalkan kita dalam menjalankan dakwah, bahkan dalam kehidupan ini secara umum.

 

- II -

Setelah penegasan itu, Allah subhanahu wata’ala pun membangun kesadaran berpikir agar tak mudah risau atau galau atau putus asa. وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ (dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan), maksudnya kehilangan dunia jangan sedih, yang penting masih dapat akhirat. Jadi kalau dihina dan dicaci di dunia, tak perlu bersedih. Sesungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia kita hari ini. Kalau istilahnya Rasulullah, hidup di dunia ini seperti musafir yang mampir berteduh. Sebentar saja. Memang kadang terasa nyaman, tapi jangan larut dengan kenyamanan di dunia.

Allah pun tegaskan dengan ayat berikutnya: وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ (dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas). Balasan dan imbalan dari Allah itu pasti, yakinlah! Semuanya akan membuat Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasalam ridha. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah merasa ridha karena semua ahlul bait-nya pun masuk ke surga, namun ada pula yang berpendapat bahwa keridhaan ini berupa diberikannya kewenangan syafaat pada Rasulullah.

 

- III -

Berikutnya, setelah ditegaskan bahwa Rasulullah tidak ditinggal sendirian, lalu diingatkan bahwa akan ada balasan di akhirat yang membuatnya ridha, maka Allah subhanahu wata’ala pun mengingatkan masa lalu Rasulullah. Cara seperti ini memang efektif untuk memunculkan kesyukuran dan membangkitkan rasa optimisme dalam diri manusia. Maka, bila kita bersedih hati, cobalah ingat-ingat perjalanan yang telah kita tempuh dan syukurilah semua nikmat yang telah didapat.

اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ (bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu). Ya, Rasulullah adalah anak Yatim yang kemudian diberi perlindungan oleh Allah, bahkan hingga beliau mengemban risalah dakwah. Baik melalui pengasuhan ibundanya Aminah, pengasuhan kakeknya Abdul Muthalib, hingga pengasuhan pamannya Abu Thalib. Bahkan pengasuhan Abu Thalib menjadi payung dakwah Rasulullah di awal-awal. Jadi meskipun Rasulullah yatim, namun Allah telah berikan perlindungan. Tak cukup itu, sepeninggal Abu Thalib, datanglah pertolongan dari kaum Anshar yang siap menerima dan memberikan pelindungan di kota Yatsrib (Madinah).

Para da’i penting untuk mengingat-ingat ini. Baik memang kita yatim tiada ayah, maupun makna keyatiman yang berarti tiada pelindung. Bahwa dakwah kita bila diingat mulai dari kecil dan lemah, tiada perlindungan, namun alhamdulillah mendapat penjagaan-Nya hingga kini dewasa dan besar. Itulah yang harus kita ingat dan syukuri.

Begitu pula Allah ingatkan, وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ (dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk). Di antara pemaknaan kebingungan ini adalah firman Allah dalam surat Asy Syura ayat 52, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepada al Qur’an dengan perintah Kami, sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al Kitab dan tidak mengetahui apakah Iman itu, tetapi Kami menjadikan al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” Ada juga yang memaknainya tersesat jalan saat beliau di lereng pegunungan maupun saat ke syam ikut pamannya berdagang. Ala kulli hal, bila hari ini kita merasa mendapatkan petunjuk, sesungguhnya itu dari Allah semata.

Tak cukup terkait keyatiman dan ketersesatan / kebingungan yang Allah ingatkan, namun juga terkait kekurangan-kekurangan dalam hidup Rasulullah. Allah berfirman, وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ (dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan). Ayat ini juga dekat dengan kita. Mungkin kita masih ingat akan masa-masa dahulu, kita tak punya kendaraan, tak punya kediaman, bahkan hidup serba terbatas. Namun kini Allah berikan banyak karunia kepada kita. Tentu mestinya kita syukuri. Bahkan kemudian melalui lisan Rasul-Nya kita mendapatkan kesadaran tentang kekayaan yang hakiki, yaitu bukanlah orang kaya itu yang memiliki harta namun orang kaya itu yang kaya jiwanya. Atau kesadaran dengan sabda lainnya, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang berislam dan diberi rezeki secukupnya, serta Allah telah menjadikannya menerima seadanya menurut apa yang telah diberikan oleh-Nya (dengan sifat Qana’ah).”

 

- IV -

Maka dengan semua ingatan itu, Allah subhanahu wata’ala mewanti-wanti. Agar فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ (maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang), juga وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ (dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardiknya). Inilah bentuk kesyukuran.

Hari ini dengan beragam karunia Allah, kita dapat mengembangkan dakwah dengan beragam program dan sarananya. Maka janganlah kita lupa kepada mereka yang yatim, yang lemah, yang tiada pelindung. Juga jangan kita menghardik mereka yang meminta pertolongan, bilapun kita tak mampu menolongnya setidaknya kita bisa membantunya mendapatkan pertolongan sesuai yang dibutuhkannya. Itu semua penting kita perhatikan, agar kita tetap menjadi hamba yang bersyukur.

Bahkan surat ini ditutup dengan perintah Allah: وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan. Cucu Rasulullah, Al Hasan bin Ali mengatakan, bahwa kebaikan apapun yang telah kamu kerjakan maka ceritakanlah kepada saudara-saudaramu. Hal itu sebagai kesyukuran, dengan kesadaran bahwa semuanya karena Allah semata. Ayat ini sekaligus menjadi pendorong kita untuk terus produktif melahirkan kebaikan demi kebaikan, sebagai kesyukuran kita atas segala karunia-Nya.

Tidak ada komentar: