Kamis, 27 Juli 2017

(Kajian Hadits) INILAH RINGKASAN AGAMA


عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْب] .رواه البخاري ومسلم[

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika ia buruk maka buruklah seluruh tubuh; ia adalah hati.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)


Dari kesadaran beragama kita, di antara intinya adalah ringkasan agama sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasaa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Imam Bukhari meletakkan hadits ini pada Kitab Iman dalam bab ‘Menjaga Kesucian Bagi Agamanya’ dan bab ‘Jual-Beli’. Menekankan bahwa menjaga dari perkara syubhat adalah pra-syarat untuk menjaga kesucian bagi keberagamaan kita. Juga menekankan bahwa perkara syubhat banyak terdapat dalam urusan jual-beli.

Terkait yang terakhir itu, juga ditekankan oleh empat Imam Hadits lainnya. Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At Tirmidzi, Imam An Nasaa’i, semuanya meletakkan hadits ini pada Kitab Jual-Beli. Dengan nama bab untuk hadits ini yang juga relatif sama. Imam Muslim menamakan bab-nya ‘Mengambil yang Halal dan Meninggalkan yang Syubhat’. Sementara Imam Abu Dawud dan Imam An Nasaa’i menamakan bab-nya ‘Menjauhi Syubhat’. Adapun Imam At Tirmidzi menamakan bab-nya ‘Meninggalkan Syubhat’.

Imam Ibnu Majah yang berbeda. Beliau meletakkan dalam Sunan-nya pada Kitab Fitnah dengan bab ‘Menjauhi Syubhat’. Menjelaskan bahwa syubhat sering menghantarkan kita pada perkara fitnah, karena itulah hendaknya dijauhi.

Tapi lepas dari sekadar membahas syubhat, hadits ini sesungguhnya memiliki keistimewaan karena memuat ringkasan agama kita. Yaitu, sebagaimana kesimpulan Imam An Nawawi, bahwa urusan agama ini terbagi menjadi tiga: Halal, Haram dan Syubhat. Abu Dawud menambahkan bahwa ketiganya merupakan aspek penting beragama karena mewakili perkara pokok, cabang dan kewara’an.

Bila kita mampu menjaga diri untuk komitmen dengan ketiganya yaitu mengambil yang halal, meninggalkan yang haram serta menjauhi yang syubhat, maka kita akan menjadi hamba yang wara’. Jadi syarat kewara’an tidak hanya mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram, melainkan juga hendaknya menjauhi yang syubhat.

Tetapi syubhat perlu dipahami berbeda dengan waswas. Syubhat menyangkut kepada sesuatunya, sementara waswas menyangkut diri kita. Jadi termasuk syubhat bila sesuatu itu hukumnya samar-samar, tidak jelas halal atau haram, pun bila bercampur antara halal dan haram. Sedangkan termasuk waswas semata-mata karena kita ragu-ragu akan suatu hal tersebut. Nah, yang syubhat kita jauhi, tetapi yang sifatnya waswas hendaknya diabaikan. Sebab waswas datangnya dari syaitan. Misalnya kita tidak mau meminum dari sebuah tempat karena khawatir terkena najis, maka sesungguhnya ini hanyalah waswas dari syaitan.

Bagaimana Menyikapi Syubhat?

Ada tiga macam syubhat menurut Ibnu Mundzir. Pertama; syubhat yang asalnya haram. Kedua; syubhat yang asalnya halal. Ketiga; syubhat yang asalnya juga syubhat.

Untuk yang pertama, seperti sembelihan yang lupa dibacakan basmalah. Lalu sembelihan tersebut tercampur dengan sembelihan lainnya yang dibacakan basmalah, hingga tak dikenali mana sembelihan yang tidak dibacakan basmalah tadi. Maka, karena adanya sembelihan yang aslinya haram itu, semua sembelihan yang saling tercampur itu tidak bisa dikonsumsi kecuali sampai dapat dipastikan mana sembelihan yang tidak dibacakan basmalah agar disingkirkan dari sembelihan yang halal. Jadi, bila ada syubhat atas hal yang aslinya haram, kita bisa lanjut bila telah dipastikan mana yang haram dan yang halal.

Sementara untuk yang kedua, seperti bersuci. Yang bila kita telah bersuci maka aslinya boleh untuk shalat. Namun kemudian muncul syubhat batalnya wudhu, maka sesungguhnya hal seperti itu tetap dianggap boleh shalat. Jadi, bila ada syubhat atas hal yang aslinya halal, maka kita abaikan dan tetap menganggapnya halal.

Adapun untuk yang ketiga, seperti makanan yang memang aslinya juga syubhat. Dahulu Rasulullah pernah menemukan kurma di atas ranjangnya lalu dimakannya, tetapi beberapa saat kemudian dimuntahkan karena dianggapnya itu syubhat yang tidak jelas hukumnya sebagai sedekah atau hadiah. Sebab bila itu kurma sedekah, maka Rasulullah tidak boleh mengonsumsinya. Jadi, bila ada syubhat atas hal yang aslinya memang syubhat, maka kita hendaknya meninggalkannya.

Menjauhi Syubhat dan Dampaknya Terhadap Ketakwaan

Bila meluruskan niat akan menyelamatkan aspek batin kita, dan meninggalkan bid’ah akan menyelamatkan aspek zahir kita, maka menjauhi syubhat akan menyempurnakan keduanya. Menurut Abu Darda’, menjauhi syubhat akan mengantarkan kita pada kesempurnaan takwa. Sebab hanya orang-orang wara’ yang mampu menjauhi syubhat, sedangkan untuk menjadi wara’ perlu menghadirkan kesadaran tentang segala kuasa dan janji Allah. Begitupun yang enggan meninggalkan syubhat, artinya tidak khawatir terjatuh pada yang haram, maka cacatlah ketakwaannya. Sebab bila merujuk pesan Hasan Al Bashri, “Berhati-hatilah dengan yang halal!” Karena berlebih-lebihan dengan yang halal atau ceroboh dengan yang halal akan dapat menjerumuskan kita kepada yang haram. Untuk yang halal saja kita hendaknya berhati-hati, lebih-lebih untuk yang syubhat.

Imam ats Tsauri punya pandangan menarik lainnya. Menurut beliau, ketakwaan itu adalah pembeda diri dari kebanyakan manusia. Dan itulah sikap wara’. Sebab di saat kebanyakan manusia mengambil semua yang halal, seorang yang wara’ mencukupkan diri dengan yang halal sekadarnya. Maka tak heran ketika Abdullah bin Umar menyatakan bahwa takwa adalah pembatas, sebab ia membatasi diri kita agar tidak liar sebagaimana gambaran binatang ternak yang bila masuk wilayah syubhat dikhawatirkan akan memakan rerumputan di wilayah yang haram.

Demikian pula takwa sebagai hakikat keimanan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sufyan bin ‘Uyainah. Sebab bila kita telah memahami hakikat keimanan, maka tiada arti kehidupan dengan segala yang halal bila tak bermakna kebaikan di akhirat.

Begitulah setiap wilayah punya batasan. Ada batasan yang halal, ada batasan yang haram, serta ada batasan bagi yang syubhat. Hendaknya kita berhati-hati dengan yang halal agar tidak terjerumus kepada syubhat. Hendaknya kita mampu membedakan diri dari kebanyakan manusia agar tidak terjerumus syubhat ikut-ikutan. Hendaknya kita memahami pembatas takwa agar tidak kelewatan hingga memasuki wilayah syubhat. Hendaknya kita memahami hakikat keimanan agar tiada terperdaya meskipun dengan perkara yang halal.

Kontrol Hati

Hadits ini ditutup dengan pembahasan hati. Bahwa hati yang akan menjadi kontrol. Bila hati baik, maka akan baik kehidupan beragama kita. Sebaliknya bila hati buruk, maka akan buruk kehidupan beragama kita. Dengan demikian, kemampuan kita untuk komitmen dengan hal-hal inti beragama yaitu halal, haram dan syubhat; sangat tergantung dengan kondisi hati kita.

Menurut Imam Syafi’i, hati menjadi penting karena akal letaknya di hati. Beliau berpatokan pada surat Al A’raaf ayat 179, “…mereka memiliki hati tapi tidak memahami dengannya.” Pendapat Imam Syafi’i ini sama dengan pendapat para filosof muslim. Yang berbeda adalah Imam Hanafi, pendapatnya tetap menganggap bahwa akal itu letaknya di otak.

Bagaimanapun, kedua pendapat tersebut akhirnya tetap menjelaskan bahwa keduanya sama pentingnya. Bagi yang menganggap akal di hati, karena semua gerak tubuh memerlukan aliran darah dari hati, yang bila hati sakit maka sakit pula seluruh tubuhnya. Begitu pula yang menganggap akal di otak, karena semua gerak syaraf tubuh dikomando dari otak, yang bila otak sakit maka sakit pula seluruh syaraf tubuhnya.

Epilog

Setelah kita memahami inti ringkasan dari agama, lalu memahami hati sebagai hal penting agar terjaganya inti-inti agama tersebut, maka kita perlu menjaga hati kita agar tetap selamat. Sebab keselamatan hati adalah penyelamat di akhirat kelak. Bahwa semua proses kehidupan kita harus berujung pada selamatnya hati. Itu yang difirmankan dalam surat Asy Syu’ara’ ayat 88 sampai 89, “Hari yang tidak bermanfaat harta dan anak-anak, kecuali siapa yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.”

Maka penting bagi kita untuk membersihkan hati dari segala penyakitnya. Menurut Ibnu Mulaqqan asy Syaafi’i dalam kitab al Maa’in ‘ala Tafahhumil Arba’in, menjaga keselamatan hati itu dengan lima hal: Membaca al Qur’an dengan tadabbur, Memperbanyak puasa, Mendirikan shalat malam, Berdoa di waktu sahur, Duduk bersama orang-orang shalih. Lima hal itulah yang akan menyelamatkan hati kita.

Namun agar mudah menunaikan lima hal itu dan mendapatkan keselamatan hati, Dr. Musthofa Dib Al Bugha memberikan satu kunci: Makanan. Ya, makanan adalah dasar bagi semua kebaikan. Bila kita mengonsumsi makanan yang halal dan baik, maka kita akan mudah menunaikan kebaikan. Namun bila kita mengonsumsi makanan yang haram dan buruk, maka kita akan cenderung pada keburukan.

Setelah itu semua, jangan lupakan seuntai doa yang diajarkan Rasulullah: Allahumma inni as’aluka qolban saliiman (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu hati yang selamat). Sebab bagaimanapun Allah Pemilik hati, maka Allah Yang Maha Berkehendak atas hati kita.

Semoga kita selalu memiliki hati yang selamat. Agar pesan Syeikh Hasan al Hudhaibi dapat kita realisasikan, “Tegakkan Islam di hatimu, maka ia akan tegak di negerimu!”


Jakarta, 27 Juli 2017


Tidak ada komentar: