“Salah satu kriteria
keluarga ideal yang dapat membantu seseorang dalam proses memiliki karakter
yang baik adalah adanya trust (kepercayaan).”
Saya merenungi dalam
kalimat tersebut yang tertutur dari lisan seorang tokoh dakwah negeri ini.
Kepercayaan? Kepercayaan itu penguat karakter, dan karakter yang kuat akan
menguatkan ikatan persaudaraan.
Lalu Sang Da’i itu menyodorkan kisah, saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam pernah ditanya, “Apakah seseorang bahkan yang telah memeluk Islam mungkin mencuri, berbuat zina, dan minum khamar?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Mungkin. Tetapi ia tidak boleh berdusta.”
Lagi-lagi, saya harus
menyelami dalamnya makna penggalan kisah itu. Dusta? Dusta itu merapuhkan
karakter, dan karakter yang rapuh akan mengendorkan ikatan persaudaraan.
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam menolelir adanya pelanggaran syar’i, namun beliau shalallahu
‘alaihi wasalam tidak menolelir akan rusaknya sebuah nilai kepercayaan.
Seseorang muslim dengan segala kekhilafannya mungkin saja melakukan pencurian,
melakukan zina, dan sebagainya. Namun ia sama sekali tidak boleh berkata
bohong. Karena dengan sebab bohong itulah akan terjadi kehilangan kepercayaan
di lingkungan internal; apakah itu keluarga, ataupun itu perkumpulan lainnya.
Sang Da’i itu kemudian menyentak
dengan sebuah pertanyaan, “Kenapa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
begitu melarang kebohongan?” Tiba-tiba suasana kota perjuangan Bandung serasa
tak lagi menguarkan aroma keberanian, bahkan sekadar keberanian menjawab
pertanyaan itu.
Dalam diam yang
bingung, saya akhirnya menerima jawabannya. “Karena berbohong adalah ra’su
dzunub (pangkal segala dosa),” pungkas Sang Da’i.
Darinya,
saya belajar... Bahwa semua komponen dalam rumah tangga ataupun
dalam organisasi, tidak boleh ada yang kehilangan kepercayaan satu sama lain. Sebab
hilangnya rasa saling percaya, menyebabkan hilangnya soliditas. Pupus sudah
daya rekatnya, karena masing-masing sudah kehilangan kepercayaan.
Kejujuran itu,
sejatinya menyambung komunikasi, dan bukannya memutusnya. Ia melancarkan
komunikasi, dan bukan membatasinya. Kejujuran itu, sejenak mengendorkan ego
diri, untuk sebuah pemakluman bersama. Pada kejujuran, kita menurunkan makna
cinta karena Allah. Uhibbukum fillah, saya jujur karena Allah Maha
Mengetahui.
Sampai di langkah kita
saat ini, apakah kita sudah jujur? Baik kepada diri sendiri, maupun kepada
orang-orang di lingkaran kita. Bahwa pada kejujuran itulah, kita pertaruhkan
persaudaraan kita. Pada kejujuran itulah, soliditas kita diuji.
Semoga... Semoga usia
persaudaraan kita seiring usia kebersamaan kita. Jangan sampai kita bersama,
namun tak lagi bersaudara.
Yaa Rabb, karuniakan
kami kejujuran… Agar kami dapat saling mencintai dengan sepenuh kepercayaan.
Jakarta, 26 Ramadhan 1436 H, 2.15
PM
Akhukum fillah,
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar