![]() |
foto dokumen pribadi |
Berikut adalah 7 tanya - jawab tentang Penyakit Cinta yang merupakan kelanjutan dari materi Penyakit Cinta. Semoga dapat memperkaya materi tersebut dan menjadi pemicu diskusi-diskusi selanjutnya.
1.
Seberapa besar pengaruhnya usaha kita perihal siapa dan bagaimana jodoh
kita? Lalu mengenai "perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik pula
dan sebaliknya", apakah Allah sudah takdirkan dulu siapa jodoh kita barulah
kita sama-sama sedang saling menyesuaikan hingga setara? Atau Allah buatkan
opsi-opsi jodoh kita (seperti skenario berlapis) yang disesuaikan dengan
ikhtiar masing-masing pribadi dalam memperbaiki diri?
Jawaban:
Usaha
kita adalah bagian dari proses sebab - akibat. Sementara jodoh adalah taqdir
rahasia-Nya. Adapun bila Allah menghendaki taqdir bagi hamba-Nya, maka Allah
juga akan menurunkan sebab-sebab bagi taqdir tersebut. Oleh karena itu, usaha
kita hakikatnya adalah sebab-sebab yang juga ditetapkan Allah untuk menuju
taqdir pasangan kita. Tapi ketetapan Allah terkait usaha ini bukanlah ketetapan
yang final, melainkan bisa berubah dengan doa dan kesungguhan kita. Maka bila
ditanyakan pengaruh usaha bagi jodoh, jawabannya memang ada pengaruhnya. Sebab
kita akan dipertemukan dengan sesuatu yang kita cari.
Sementara
untuk firman "perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang
baik" itu lengkapnya ayat ke 26 di surat an Nuur. Itu adalah rangkaian
ayat yang dimulai dari ayat ke 11 dan diakhiri di ayat ke 26. Konteks sebab
turunnya adalah fitnah terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka
dikatakan bahwa Aisyah itu suci dan layak menjadi istri Rasulullah. Jadi ini
bukan konteks menuju pertemuan jodoh. Tapi konteksnya pembelaan. Walaupun bisa
pula diambil hikmahnya untuk proses memilih jodoh atau keyakinan akan jodoh.
Terutama perihal kesucian moral. Namun yang harus dipahami, poin perjodohan itu
kesesuaian apapun yang dalam penjelasan saya pada materi ada yang karena
Kelengkapan atau Keseimbangan atau Keserasian. Karena itu pula, ada dalam
sejarah seorang Nabi beristrikan seorang yang kufur. Atau sebaliknya seorang
perempuan shalihah bersuamikan seorang raja yang kufur. Jadi tidak otomatis
yang Sholih akan mendapatkan Sholihah atau sebaliknya. Tapi setidaknya sama-sama
suci moralnya atau sama-sama kotor moralnya, karena itu terkait pergaulan
sosialnya.
Jodoh
sebagai rahasianya, maka tidak ada yang tahu kecuali Allah. Jangan bebankan
diri dengan segala hal di luar pengetahuan kita. Termasuk membebankan diri
untuk mengira-kira seseorang sebagai jodoh kita. Jalani proses secara alami,
dan di manapun mendapatkan peluang menuju jenjang pernikahan maka sambut saja.
Sebab pada akhirnya yang dinilai dari kita bukanlah siapa pasangan yang kita
dapatkan, tapi yang dinilai adalah bagaimana proses kita mendapatkan pasangan.
2. (a) Bagaimana
cara kita mengetahui bahwa dia itu benar jodoh kita dan Allah ridha? Jika jawabannya
adalah dengan istikharah, maka bagaimana mengetahui jawaban dari istikharah
kita? (b) Sebagai seorang akhwat bolehkah kita berpikir bahwa ikhwan A adalah
baik untuk menjadi jodoh kita dan bagaimana membedakannya dengan penyakit hati?
Dan apa yang harus kita lakukan jika ada pikiran-pikiran seperti itu?
Jawaban:
a. Doa
istikharah itu terjemahan lengkapnya, "Wahai Allah, bahwasannya aku
mohon pilihan oleh-Mu dengan ilmu-Mu, dan mohon kepastian-Mu dengan
kekuasaan-Mu, serta mohon kepada-Mu dari anugerah-Mu Yang Maha Agung, karena
Engkaulah Dzat yang berkuasa, sedang aku tiada kuasa, dan Engkaulah Dzat Yang
Maha Mengetahui, sedang aku tiada mengetahui, dan Engkaulah Dzat yang
mengetahui yang ghoib. Wahai Allah, jika Engkau ketahui bahwa urusan ini
........ adalah baik bagiku, untuk duniaku, akhiratku, penghidupanku, dan
akibat urusanku untuk masa sekarang maupun besoknya, maka kuasakanlah bagiku
dan permudahkanlah untukku, kemudian berkahilah dalam urusan itu bagiku. Namun
jikalau Engkau ketahui bahwa urusan ini ......... menjadi buruk bagiku, untuk
duniaku, akhiratku, penghidupanku, dan akibat urusanku pada masa sekarang
maupun besoknya, maka hindarkanlah aku dari padanya, lalu tetapkanlah bagiku
kepada kebaikan bagaimanapun adanya, kemudian ridhoilah aku dengan kebaikan
itu."
Maka
berdasar doa itu, yang kita yakini sebagai jawaban dan keridhoan Allah adalah
apabila kemudian kita diberi kemampuan dan cenderung dimudahkan. Jadi kalau
kemudian kita cukup mampu untuk menjalani proses menuju pernikahan dan sampai
dengan aqad dengan kemudahan, maka insyaAllah itu adalah jodoh yang diridhoi
Allah. Ingat, dalam menyikapi taqdir kita tidak boleh bersu'udzon kepada Allah,
termasuk menganggap Allah tidak ridho.
b.
Silakan berpikir bahwa ikhwan A baik untuk jodoh kita setelah bermusyawarah dan
beristikharah. Itupun tetap dalam ruang 'mungkin', sebab dia tetap bukan jodoh
kita kecuali telah berlangsung aqad. Tapi ingat, kita boleh berpikir demikian
bila memang sudah siap dilamar. Apabila kita belum siap dilamar, maka berpikir
demikian hanya menjadi anganan sia-sia yang tidak akan berujung pada amalan.
Bila kita
telah berpikir demikian, yang perlu dilakukan adalah menyampaikan ke orang
terpercaya dan lebih dewasa untuk meneliti ikhwan tersebut apakah berminat
melamarnya. Apabila ternyata ikhwan tersebut siap melamarnya, maka ia segera
bersiap untuk dilamar. Namun apabila ikhwan itu tidak bersedia melamar, maka
yakini itulah yang terbaik dari Allah. Sebagaimana Khadijah menyampaikan
perasaannya akan Muhammad melalui perantara Maisarah.
Hal
seperti itu dibolehkan dan lumrah. Yang tidak boleh dan cenderung menjadi
penyakit hati adalah bila kita mulai mengkapling seseorang sebagai calon kita
sebelum adanya lamaran. Sehingga kita hanya menyiapkan ruang dalam jiwa kita
untuk dia dan tidak untuk selainnya. Atau kita telah menganggap dia milik kita
dan tidak boleh diambil orang lain.
3. Terkait
dengan jodoh cerminan diri. Sejauh mana kita meyakinkan diri jika ia adalah
cerminan diri kita? Mengingat bahwa setiap manusia memiliki perbedaan, sehingga
sejauh mana perbedaan tersebut tetap dapat meyakinkan kita bahwa ia adalah
cerminan diri kita?
Jawaban:
Dari mana
kaedah jodoh itu cerminan diri? Yang ada dalam konteks syariat pernikahan bahwa
jodoh itu untuk keseimbangan kehidupan. Sehingga tidak mesti selamanya karena Keserasian,
karena sebagiannya karena Kelengkapan atau Keseimbangan. Jadi tidak mesti yang
tinggi berjodoh dengan yang tinggi. Terkadang yang tinggi berjodoh dengan yang
pendek, karena sesungguhnya dengan pasangan tinggi maka yang pendek akan
terlengkapi bila ada perlu dengan ketinggian. Begitupun terkadang yang gemuk berjodoh
dengan yang kurus, karena sesungguhnya dengan pasangan yang kurus maka yang
gemuk akan terimbangi bila masuk ke ruang-ruang yang dibatasi bobot
maksimalnya. Kira-kira begitu permisalannya.
Nah,
siapa yang tahu hakikat kebutuhan kita? Apakah kita lebih butuh pada sosok yang
serasi atau yang dapat melengkapi atau yang dapat mengimbangi? Yaitu diri kita
sendiri, walaupun sebagian besar kita agak sulit memahami diri sendiri. Maka
kita sangat perlu tawadhu kepada Allah dalam hal ini, bahwa Allah Maha Tahu
akan kebutuhan kita. Maka siapapun orang yang ditaqdirkan menjadi pasangan kita,
sesungguhnya itulah sosok yang sesuai kebutuhan kita. Tinggal nanti setelah
menikah, kita bisa menyelaminya kira-kira apakah ia bagi kita serasi atau
merupakan sosok yang akan melengkapi atau mengimbangi? Sesuai identifikasi
itulah kemudian kita menyikapi pasangan kita sepanjang perjalanan pernikahan.
Dengan
demikian pula, jangan terlalu banyak mengira-kira calon pasangan kita sebelum
proses. Jalani saja dan berprasangka baik kepada Allah, bahwa semua yang
terjalani adalah ketetapan-Nya dan semua ketetapan-Nya adalah kebaikan bagi
kita.
4. Misalnya
kita dilamar oleh orang yang baik agamanya, tapi orang tua tidak setuju. Sudah
dijelaskan kepada orang tua, tapi orang tua tetap kekeuh tidah setuju. Yang
ingin saya tanyakan, bagaimana
saya harus menghadapi situasi tersebut? Dan kalaupun saya menolak, bagaimana
menolak dengan cara yang baik sesuai ajaran Islam?
Jawaban:
Bila
lelaki tersebut masih bisa menunggu, silakan terus melakukan pendekatan kepada
orang tua. Lebih baik bila diperantarai oleh orang yang sederajat maupun di
atas orang tua. Memang memahamkan seperti itu butuh proses. Tidak bisa dipatok
waktunya.
Tapi
kalau lelaki tersebut tidak bisa menunggu, maka boleh saja menolak. Menolak
dengan alasan selera dibolehkan, sebagaimana muslimah Madinah menolak Salman al
Farisi. Maka silakan menolak karena orang tua belum merestui. Sebab, meskipun
hak jawab ada pada perempuan yang dilamar, namun perempuan tersebut masih punya
kewajiban berbakti dan taat kepada orang tua selama masih dalam koridor yang
dibolehkan syariat.
Terkait
cara menolaknya, bisa melalui perantara orang yang dipercaya dan lebih dewasa.
Sehingga tidak langsung bersinggungan perasaan. Kalau muslimah Madinah dalam
cerita Salman al Farisi melalui perantara ibunya.
5. Banyak
yang bilang kalau mencari jodoh harus yang sekufu, apa landasan atau parameter
yang mengukur kalau kita sekufu sama calon kita? Lalu terkait kaidah cinta, apa
benar bagi seorang akhwat itu hakikatnya lebih baik dicintai daripada
mencintai?
Jawaban:
Karena
pernikahan adalah proses membentuk masyarakat Islami, maka perlu menimbang
hal-hal yang bisa dikolaborasikan antara kedua mempelai. Dalam konteks inilah
kaedah sekufu itu disampaikan. Bahwa sekufunya kita dengan pasangan apabila ada
hal yang bisa dikolaborasikan bersama, dan tidak menjadi timpang. Dalam hal apa
saja, selama dapat mengisi ruang bangunan masyarakat Islami. Bisa dalam hal
kecerdasan, bisa dalam hal watak, bisa dalam hal pengalaman, bisa dalam hal
hobi, dan sebagainya.
Adapun
kaedah cinta bagi siapapun tetap lebih baik proaktif mencintai dan ada ruang
untuk dicintai. Sebab yang disebut makhluk sosial itu laki-laki dan perempuan,
dan Islam telah memberikan kemerdekaan individu kepada keduanya. Tentu dengan
proporsinya masing-masing.
6. Bagaimana
meyakinkan bahwa ia jodoh kita kalau saja di tengah jalan ada pertentangan dan
keduanya memutuskan bercerai? Apa indikator yang tepat untuk tahu bahwa benar
dia jodoh kita?
Jawaban:
Bahwa
pernikahan itu sebuah proses, secara internal keluarga merupakan proses
menumbuhkan cinta terus-menerus, sementara secara eksternal keluarga merupakan
proses berkontribusi mewujudkan masyarakat Islami. Karena pernikahan merupakan
proses, maka ia tidaklah final. Akan ada dinamika dalam perjalanannya. Termasuk
kemudian bercerai, yang itu memang diatur juga dalam syariat. Boleh, meskipun
merupakan pilihan yang terburuk dan dibenci Allah.
Adapun
kita, sampai kapanpun tidak akan tahu secara pasti bahwa seseorang jodoh kita.
Dan memang tidak penting memastikan seseorang jodoh kita ataupun bukan. Sebab
memastikan demikian hanya akan berujung pada perkiraan-perkiraan yang mana
sebagian perkiraan itu datangnya dari syaitan. Maka kemudian hanya melahirkan
keragu-raguan.
Yang
perlu kita lakukan hanya menata sikap dalam merespon semua yang Allah takdirkan
untuk kita, termasuk takdir jodoh. Pilihan sikap itu ada dua; bersabar atau bersyukur.
Dan dua-duanya baik.
Jadi
tidak penting kita memastikan apakah seseorang itu benar jodoh kita atau bukan.
Yang penting apakah kita bisa bersyukur atau bersabar akan keberadaannya.
Lalu
bilapun akhirnya tidak ada pilihan kecuali bercerai, hal itu dibolehkan dalam
agama. Namun tetap harus melalui proses usaha perbaikan yang maksimal, dan
tidak diputuskan dengan tergesa-gesa. Pertimbangan maslahat dan mudhorot
harus dicermati secara integral dari segala sisi, dengan musyawarah yang
melibatkan orang-orang terpercaya dan dewasa dalam menghadapi masalah.
Sebagaimana kita memulai proses menuju pernikahan dengan musyawarah, maka
hendaknya bila harus menjalani proses perceraian juga dengan musyawarah.
7. Ada ikhwan
dan akhwat sudah melakukan proses ta’aruf dan sampai di tahap pertemuan
keluarga. Alhasil, ternyata ibu si ikhwan tidak setuju dengan pilihannya, karena
watak keras ayah si akhwat. Dengan alasan si ibu takut suatu saat si akhwat
akan keras juga sama suaminya dan akan nurut sama ayahnya daripada suaminya, karena
si ikhwan sangatlah lembut dan tidak keras.
Jawaban:
Bagi
ikhwan, keputusan ada padanya. Sebab ialah orang yang akan beraqad. Maka dalam
kasus itu, ikhwan tersebut harus memahamkan ibunya.
Bagi
akhwat tidak ada pilihan kecuali berdoa agar hati ibu ikhwan dilapangkan.
Sembari terus menampilkan dirinya sebagai sosok yang mandiri tidak terpengaruh
oleh lingkungan keluarga.
Tapi bila
akhirnya tidak jadi, maka artinya belum jodoh. Ingat! Fokusnya pada proses
mencintai, jangan fokus pada jodoh. Bila tidak jadi dengan ikhwan itu, maka
jalani proses dengan ikhwan lainnya.
Tidak
penting siapa ikhwan yang akan ia cintai. Jauh lebih penting, bahwa dia akan
terus menebar cinta dan siap mencintai siapapun ikhwannya. Mencintai itu
memberikan sesuatu, dalam kondisi berat maupun ringan.
Catatan Selasa tanggal 15 bulan November tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar