![]() |
Tebing kokoh di kabupaten 50 Kota. (dokumen pribadi) |
Ceritanya, Republik ini pasca diproklamasikan tidak
otomatis langgeng kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Sebab nusantara yang
kemudian menjadi wilayah Republik ini teramat luas terpisah jarak yang jauh,
tentu tidak mudah mendistribusikan maklumat Proklamasi dan mendapatkan respon
mufakat dari daerah-daerah yang berbeda karakteristiknya. Kebhinekaan, itulah
wajah khas bangsa ini sejak awal kalinya menemukan kemerdekaannya. Selain itu,
jelas penjajah pun tak mau begitu saja merelakan bangsa ini memproklamasikan
kemerdekaannya.
Maka pasca Proklamasi Republik Indonesia di Jakarta,
barulah kemudian bergabung wilayah Sumatra setelah 12 hari berlalu. Saat itu
masyarakat Sumatra diwakili Moehammad Syafei di Bukittinggi, menandatangani
pengakuan Proklamasi Republik Indonesia tersebut. Jadilah Sumatra dengan
masyarakat Muslim-nya resmi sebagai wilayah pertama yang menjadi bagian dari
Republik Indonesia. Disusul sepekan kemudian oleh Yogyakarta Hadiningrat dan
Kadipaten Pakualaman, yang berstatus Daerah Istimewa.
Tapi, apakah setelah bergabungnya secara resmi wilayah
Sumatra dan kerajaan Yogyakarta membuat Republik Indonesia langgeng tanpa
hambatan? Ingat, masih ada penjajah yang tak akan rela begitu saja membiarkan
bangsa ini merdeka. Dan benar, dua bulan kemudian pasukan Sekutu menyerang
Republik Indonesia. Belanda pun ada di dalamnya. Hingga puncaknya 10 November,
saat Bung Tomo yang gagah berani menghadapi serangan Sekutu itu dengan komando Allahu Akbar. Jadilah hari itu sebagai
Hari Pahlawan! Hari di mana lahfadz Allahu Akbar bergema di seantero Surabaya
dan wilayah-wilayah lainnya.
Lalu, selesaikah persoalan eksistensi Republik
Indonesia? Hari inilah, 19 Desember, kita layak mengenang etape selanjutnya
dalam mempertahankan eksistensi negeri ini. Sepuluh tahun sudah penetapan 19
Desember sebagai Hari Bela Negara, dan itulah hari perjuangan ummat dalam
mempertahankan eksistensi negeri ini.
Berawal pada 19 Desember 1948. Itulah sejarah
pengkhianatan Belanda untuk kedua kalinya. Yaitu pengkhianatan atas Perjanjian
Renville yang ditandatangani 17 Januari 1948. Dimulai malam hari 18 Desember
jam 23.30, saat Dr. Beel selaku Wakil Tinggi Mahkota Belanda dengan khianat menyatakan
tak lagi terikat perjanjian. Maka pagi harinya jam 06.00 tanggal 19 Desember
pun dimulai serangan Belanda ke Yogyakarta yang saat itu statusnya sebagai
Ibukota. Sejam kemudian, Bukittinggi juga diserang. Bukittinggi memang saat itu
dikenal sebagai Ibukota kedua. Sehingga, jadilah detik itu sebagai perang kemerdekaan
kedua dengan semboyan “Tiada Lebih Berharga dari Kemerdekaan”. Semboyan itu
lahir dari pikiran para pejuang Muslim di tanah minang, yang sangat mencintai
kemerdekaan negeri ini.
Selanjutnya, apa yang dilakukan pemerintah? Sidang Darurat
pun digelar jam 09.00 dengan dipimpin langsung Soekarno – Hatta di Jogjakarta.
Ada dua keputusan, salah satunya adalah: “Kami
Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948 djam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannja atas Ibu Kota
Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat mendjalankan
kewadjibannja lagi kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik
Darurat di Sumatera.”
Adapun keputusan kedua adalah antisipasi bila
keputusan pertama tidak berhasil, yang ditujukan kepada Dr. Soedarsono di New
Delhi – India. Isinya adalah perintah untuk membentuk Exile Government Republic Indonesia di India, bila usaha Sjafruddin
Prawiranegara gagal membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.
Sementara di jam yang sama, di tempat terpisah yaitu
di Bukittinggi, juga berlangsung pertemuan darurat. Bertempat di Gedung Tamu
Agung Tri Arga yaitu Istana-nya Bung Hatta, hadirlah Komisaris Pemerintah Pusat
di Sumatera (Teuku Mohammad Hasan), Menteri Kemakmuran (Sjafruddin
Prawiranegara), dan Gubernur Sumatera Tengah (Mohammad Nasroen). Selain tiga
orang itu, ada pula Lukman Hakim, Kolonel Hidayat, dan Komisaris Besar Polisi
Umar Said. Tapi kondisi yang mencekam membuat pertemuan itupun tidak
memungkinkan dilanjutkan, sehingga diundur tanpa kejelasan. Hingga sore
harinya, Sjafruddin Prawiranegara mengajak Kolonel Hidayat untuk menemui Teuku
Mohammad Hasan di Jl. Atas Ngarai untuk melanjutkan pembicaraan pagi harinya.
Hasilnya pun segera ditetapkan sore hari itu jam
18.00, bahwa dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan
Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil.
Kebijakan pertama Pemerintahan Darurat ini adalah menginstruksikan seluruh
pejabat di Bukittinggi agar malam hari itu juga jam 21.00 siap mengungsi ke
perkebunan Halaban yang berada dekat Payakumbuh. Sjafruddin Prawiranegara dan
Teuku Mohammad Hasan beserta rombongannya sendiri baru tiba jelang Subuh.
Dan benar, dua hari kemudian Bukittinggi menjadi
target pembumi-hangusan yang dilakukan oleh Belanda. Bahkan Gedung Tamu Agung
yang sempat menjadi tempat Rapat Darurat menjadi target penghancuran pertama.
Setelah menghancurkan dan membumi-hanguskan dari udara, esoknya tanggal 22
Desember 1948 pasukan Belanda pun mulai memasuki Bukittinggi melalui Padang
Panjang.
Tapi dini harinya di Halaban, sekitar jam 04.30,
Pemerintah Darurat Republik Indonesia telah resmi diumumkan lengkap dengan
susunan pemerintahannya. Sutan Mohammad Rasjid yang baru tiba didaulat menjadi
Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Menteri Pembangunan dan Menteri
Pemuda. Sementara Lukman Hakim menjadi Menteri Keuangan merangkap Menteri
Kehakiman. Jabatan Menteri lainnya adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri
Kesehatan yang dipegang oleh Ir. Muhammad Sitompul, Menteri Perhubungan dan
Menteri Kemakmuran dipegang oleh Ir. Indracaya, serta Sekretaris Kabinet-nya
adalah RM. Danubroto.
Sementara untuk perlawanan bersenjata, ditetapkanlah
Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Saat diamanahi
sebagai Panglima Besar itu, Jenderal Sudirman sudah sakit paru-parunya dan
memimpin peperangan dengan ditandu sebagaimana telah kita ketahui. Maka untuk
merapihkan dan memperkuat barisan perlawanan bersenjata, Kolonel A.H. Nasution
ditetapkan sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa dan Kolonel Hidayat sebagai
Panglima Tentara Teritorial Sumatera. Adapun Angkatan Laut diserahkan kepada
Kolonel M. Nazir dan Angkatan Udara diserahkan kepada Kolonel Sudjono.
Sebagaimana namanya Pemerintahan Darurat, maka
perjalanan pemerintahan ini memang dalam medan yang serba darurat. Pemerintahan
dikontrol dengan pola berpencar. Rapat-rapat Kabinet dilakukan dalam
kondisi-kondisi mencekam. Untungnya Sumatera Barat telah lama siap dengan
kekuatan militernya. Dimulai dengan adanya Front Pertahanan Nasional (FPN),
lalu menjadi Dewan Perjuangan, dan akhirnya jadi Markas Pertahanan Rakyat
Daerah (MPRD). Markas itulah yang kemudian memiliki Barisan Pengawal Negeri dan
Kota (BPNK) hingga dilengkapi menjadi Pasukan Mobil Teras (PMT) BPNK.
Maka selama dua pekan pertama bagi Pemerintahan
Darurat ini relatif mudah bertahan dan melakukan perlawanan, dengan pola Perang
Rakyat Semesta. Hingga terjadilah Peristiwa Situjuh pada 15 Januari 1949.
Chatib Sulaiman selaku perumus strategi Perang Rakyat Semesta gugur bersama 80
orang. Hingga Syeikh Abbas Abdullah dari Padang Jopang segera membentuk Barisan
Sabilillah (Pasukan Syahid) untuk mengawal kelanjutan PDRI. Beliau menggerakkan
pasukan tersebut dengan fatwanya “Syahid membela Republik”.
Setelah itu, hingga kini, dan selamanya. Umat akan
selalu punya amanah Bela Negara. Dan InsyaAllah, umat Islam selalu siap
mengemban amanah itu. Bela Negara adalah tanggungjawab umat Islam, agar negeri
ini tetap ada serta menjadi negeri yang
baik dan mendapatkan pengampunan dari Tuhan yang Maha Esa. Allahu Akbar!!!
Depok, 19 Desember 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar