“Perlawanan Asaduddin terhadap tentara mereka adalah
penyebab kita dihukum seperti ini. Tidak heran hal ini terjadi,” kata Najmuddin
Ayyub di hadapan dua jajaran pimpinannya. “Yang mengherankan
adalah mengapa baru sekarang mereka mengusir kita.”
Ada
sesuatu yang ingin disampaikan oleh Najmuddin selaku sesepuh dalam keluarga
Ayyub. Sejenak ia menarik nafas, “Bahrus tak akan lupa, bahwa kita pernah membantu
musuhnya, Imaduddin Zanki. Ketika pasukan
Khalifah dan Bahrus mengejar Imaduddin Zanki yang kalah. Kami masukkan dia ke dalam benteng, dan menyiapkan
kapan untuk menyeberangi sungai. Kalau tidak
demikian, Imaduddin telah mati tertangkap.”
“Kenapa Engkau bela musuh Bahrus, padahal Engkau
pengikutnya dan tinggal di bentengnya?” tanya salah satu dari keduanya yang
penasaran. Secara logika memang tidak masuk akal. Bagaimana bisa pada satu sisi
tinggal di benteng milik Bahrus namun pada sisi lain menolong musuh Bahrus
bahkan memberikan tempat persembunyian dalam benteng tersebut?
Tapi, itulah yang menjadi keputusan Najmuddin.
Katanya, “Kalau aku tak
lakukan itu, maka selama sisa umurku, aku akan melaknat diriku sendiri.”
Kenapa?!
“Sebab Imaduddin Zanki satu-satunya yang menyeru
jihad melawan Tentara Salib,” demikian tegas Najmuddin Ayyub. “Tentara Salib itu
sakit sebagaimana kami sakit, mereka berdarah sebagaimana kami berdarah. Dengan
inilah hidup orang-orang mulia. Kita tidak mempunyai pilihan.”
“Akhirnya, kita harus keluar dari tempat ini.” Desah
seorang dari mereka.
Begitulah
sedikit yang bisa menggambarkan sosok Najmuddin Ayyub, sang calon ayah
Shalahuddin al Ayyubi. Di antara kata yang dapat merepresentasikan
kepribadiannya adalah ungkapan akan alasannya menolong Imaduddin Zanki. “Sebab Imaduddin
Zanki satu-satunya yang menyeru jihad melawan Tentara Salib,” katanya tegas.
Hanya
karena pertimbangan bahwa Imaduddin adalah satu-satunya yang menyeru pembebasan
al Aqsha, maka Najmuddin rela melindunginya meski ia musuh bagi pihak yang
telah memberikan tumpangan benteng kepadanya. Sungguh, Najmuddin tak rela jika hak
kemuliaan al Aqsha harus ia gadaikan demi ketenteraman kepentingannya menghuni
benteng. Kalau memang ia harus terusir dari benteng, maka tak apa-apa; yang
terpenting ia tetap komitmen memperjuangkan dan menjaga hak kemuliaan al Aqsha.
Sebab al Aqsha adalah tempat Mi’raj Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
juga merupakan kiblat pertama kaum Muslimin, serta kota suci ketiga setelah
Makkah dan Madinah. Maka membiarkan al Aqsha dalam kehinaan di tangan pasukan
Salib adalah kehinaan bagi dirinya sebagai tokoh umat Islam.
Sungguh
Najmuddin tak gentar atas segala risikonya. Itulah yang ia nyatakan dengan
tegas dan mantap, “Tentara Salib itu sakit sebagaimana kami sakit,
mereka berdarah sebagaimana kami berdarah. Dengan inilah hidup orang-orang
mulia. Kita tidak mempunyai pilihan.”
Melawan pasukan Salib, mungkin
derita. Namun sesungguhnya pasukan Salib pun menderita yang sama. Berperang
dengan pasukan Salib, mungkin berdarah-darah. Namun sesungguhnya pasukan Salib
pun berdarah-darah juga. Tidak ada pilihan. Yang menjadi pembeda pada akhirnya
adalah kejujuran dan keberanian membela yang hak; yaitu kemuliaan al Aqsha dan
umat Islam seluruhnya.
Najmuddin
Ayyub paham, bahwa pusat permasalahan umat adalah tersanderanya al Aqsha di
tangan pasukan Salib. Maka melawan pasukan Salib adalah hal yang utama. Karena
itulah, melindungi Imaduddin Zanki yang teguh melawan pasukan Salib juga
menjadi pilihan utamanya.
Imaduddin
Zanki memanglah sosok unik. Selain ia yang paling teguh dalam perlawanan
terhadap pasukan Salib dan pembebasan al Aqsha, cara perjuangannya pun berbeda
daripada para pendahulunya. Perlawanan terhadap pasukan Salib memang telah
dirintis oleh Gubernur Mosul Qauwamud Daulah Karbuqa, lalu berlanjut pada era Jekermisy
dan Saqman bin Artaq, Kalij Arselan, Jawaly Saqawah, Syarafud Daulah Maudud bin
at Tughtagin, Najmuddin Ilghazi, hingga Balk bin Bahram bin Artaq. Namun
perintis perlawanan sebelumnya cenderung melakukan perjuangan berbasis kabilah,
sedangkan Imaduddin Zanki telah membuka medan perjuangan yang menggalang dan
menyatukan seluruh komponen umat Islam.
Begitulah
kecerdasan Imaduddin Zanki di samping keberanian yang ia miliki. Maka langkah
perjuangannya menjadi populer bagi seluruh umat Islam. Hal itulah yang membuat
Najmuddin Ayyub bersimpati kepadanya.
“Politisi
cerdas, prajurit tangguh, dan pemimpin Muslim yang cepat tanggap terhadap
ancaman bagi dunia Islam dari pihak kaum kufar.” Demikian komentar ahli sejarah
bernama Prof. Dr. Ali Muhammad ash Shalabi terhadap sosok Imaduddin Zanki.
Dan kita
belajar kepada Najmuddin Ayyub, bahwa jangan sampai kepentingan pribadi kita
menggadaikan kehormatan umat Islam. Bahwa kemuliaan al Aqsha harus
diperjuangkan karena itulah kunci kemuliaan umat, maka membantu mereka yang
komitmen dalam jihad pembebasan al Aqsha adalah pilihan yang memuliakan. Oleh
karena itu, mulialah keluarga Ayyub yang membantu Imaduddin Zanki hanya karena
dia-lah satu-satunya yang menyeru jihad. Sebuah teladan bagi kita!
Rabu, 13 April 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar