Pertanyaan ini mungkin banyak terbersit dalam
benak-benak kita. Ada
dua poin penting dari pertanyaan ini; yaitu Kampus Agama dan Penyimpangan. Maka
kiranya, kita cukupkan membahas dua poin itu.
Pertama; kenapa Kampus Agama?
Kira-kira itulah yang dibingungkan. Tapi, bila kita cermati dengan baik, sesungguhnya
itu merupakan hal yang biasa saja. Kenapa? Karena kategori penyimpangannya memang
dalam hal agama, maka tentu akan tampak banyak di kampus-kampus agama.
Sebab, narasi-narasi agama memang akan lebih
banyak diusung di kampus agama daripada di kampus-kampus umum. Kajian-kajian
yang lahir dari interaksi dengan mata kuliah agama tentu memang lebih banyak di
kampus agama daripada kampus umum. Oleh karena itulah, kemudian terkesan bahwa tokoh-tokoh
yang cenderung menyimpang dalam beragama justru banyak berada di kampus-kampus
agama.
Lain halnya bila terkait teori-teori sosial
ataupun sains, maka penyimpangannya akan banyak ditemukan di kampus-kampus umum
daripada kampus-kampus agama. Begitulah, kiranya.
Selain itu, secara efek, penyimpangan agama di
kampus agama memang lebih menjadi sorotan daripada penyimpangan agama di kampus
umum yang bisa dianggap ‘lumrah’ karena memang tidak mendalami mata kuliah
agama secara khusus. Jadi, sesungguhnya itu merupakan ‘sebab-akibat’ yang wajar.
Kedua; kenapa Menyimpang?
Nah, setelah kita memahami hal itu sebagai
sebuah dampak yang wajar secara ‘sebab-akibat’, selanjutnya kita bisa
menanyakan sebab penyimpangan itu bisa terjadi. Jadi kita letakkan tempat
terjadinya penyimpangan itu di satu sisi, dan kita letakkan penyimpangannya itu
sendiri di sisi yang lain. Agar bisa menimbang secara proporsional, lalu
merumuskan solusi secara proporsional pula.
Perlu dipahami, bahwa penyimpangan itu biasanya
merupakan kegagalan memahami sesuatu dan kegagalan mengimplementasikan
pemahamannya. Kira-kira, itu pulalah yang mendasari penyimpangan yang terjadi,
termasuk di kampus-kampus agama.
Bahwa dinamika kampus, menjadikan mereka lebih
banyak mempelajari agama dari teks, dan kurang memahami konteks. Bahwa dalam
dinamika kampus kekinian, lebih banyak belajar agama dari buku, bukan dari
guru. Dunia kampus saat ini memang
lebih akrab dengan literatur, tapi minim interaksi dengan pengajar.
Padahal ada satu hal yang tidak bisa didapat kecuali dari pengajar, yaitu
hikmah akan konteksnya. Dengan memahami konteksnya, maka akan dapat
meminimalisir kegagalan dalam memahami dan kegagalan dalam mengimplementasikan
pemahamannya.
Epilog
Dengan demikian, semoga kita dapat menempatkan permasalahan secara
proporsional. Tidak perlu terlalu berkomentar, kenapa penyimpangan agama lebih
banyak terjadi di kampus agama. Sebab, memang di kampus agama itulah proses belajar
materi-materi agama. Dan yang namanya proses belajar, sudah sewajarnya ada
kegagalan padanya. Maka, karena mereka belajar agama, kegagalan-kegagalannya
pun terkait diskursus-diskursus agama.
Sehingga, kita tidak perlu terlalu fokus pada tempat penyimpangan itu
terjadi. Akan lebih baik bila kita fokus pada solusi, bagaimana meminimalisir
penyimpangan yang terjadi itu. Yaitu, menyelaraskan pemahaman teks dengan
pemahaman konteks. Dengan cara membangun dialog dan interaksi dengan pengajar
yang lebih intens lagi, dan tidak cukup hanya dengan mengonsumsi beragam
literatur. Semoga, dengan begitu akan lebih selamat pemahamannya dan lebih selamat
dalam mengimplementasikan pemahamannya. Wallahu’alam.
Batam, 8 September 2015
Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H
Baca juga:
Ada berita yg saya baca bahwa kampus-kampus agama malah ditengarai telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan aliran tertentu, apakah separah demikian ustadz?
BalasHapusHal seperti itu lumrah di mana saja, Bu. Bukan hanya kampus agama. Tapi kita tidak perlu terlalu paranoid. Keyakinan kita kan sederhana saja, 'Apabila datang kebenaran, maka yang batil akan sirna.'
BalasHapus