IRFAN AZIZI, (24/02/2013) _ Kabar duka bagaimana pun rupanya selalu
menggigit pedih jiwa. Itu pula yang menelungkupi pagi saya, akhir pekan, Sabtu
23 Februari 2013. Satu pesan SMS menghampiri handphone saya, dari Abi, “Asww
berita duka Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, telah pulang ke rahmatullah
Akh Abun Rudi, semoga diampuni dosanya dan diterima amal perbuatannya serta
keluarga yg ditinggalkan diberikan kesabaran.”
Saya membaca ulang pesan itu lagi, mencoba
menerka, lalu melantun do’a, “Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.”
Abun Rudi, apakah orang yang biasa saya panggil bang Abun dahulu itu?
Hingga kemudian firasat saya dibenarkan
saat terkoneksi dengan WiFi asrama, masuk inbox dari seorang teman
berkenaan kabar duka itu juga, lalu inbox serupa juga dari yang lainnya
menghampiri facebook saya satu lagi, dan terakhir pesan SMS dari Ummi.
Di sini, bertolak dari pemahaman bahwa
nasehat kematian merupakan pelajaran yang dahsyat dalam kehidupan kita, juga
memahami bahwa pelajaran lebih dapat terserap bila terterakan, maka saya
mencoba merunut sari nasehat dari momentum duka ini.
Dan, pada hari yang sama itu, saya menulis
sebuah status di facebook, “Kabar duka, kabar kematian, menghampiriku pagi
ini. Mengingatkan akan langkah perjuangan ini, jalan kehidupan ini, dan
destinasi cinta kita.”
3 PERENUNGAN
Pertama; perenungan Langkah kita.
Hidup kita di dunia ini adalah tentang
kebersamaan langkah perjuangan. Masing-masing kita bertemu dalam gerak langkah
bersama, lalu pada simponi langkah kebersamaan itulah kita menguntai karya dan
kerja bersama. Sayangnya, kebersamaan langkah tak serta-merta saling
mengenalkan, tak serta-merta saling menentramkan, tak serta-merta
mengintegrasikan. Hingga kabar duka itu hadir, dan saya dihenyakkan pada sebuah
kesadaran; bahwa saya tidak mengenal betul nama lengkap beliau, tidak mengenal
betul keluarga beliau, tidak mengenal betul beban kehidupan beliau, dan tidak
mengenal betul potensi sumbangsih beliau.
Kedua; perenungan Jalan kita.
Langkah perjuangan kita di dunia ini
akhirnya menggiring kita pada sebuah jalan kehidupan. Di sana kita saling
beriringan, dan terkadang saling berpacu. Sayangnya, jalan yang sama itu tak
serta-merta saling membersamai, tak serta-merta saling melengkapi, tak
serta-merta saling menggamit. Hingga kabar duka itu hadir, dan saya dihenyakkan
pada sebuah realita; bahwa saya luput menyeksamai tutur dan lakunya yang pasti
ada pelajaran, luput menyempatkan diri bersamanya, luput berhenti menunggunya
dalam jeda peristirahatan sepanjang jalan itu, luput memberikan dorongan bagi
ide dan keinginan mulianya, dan luput membantu reparasi serta menariknya saat
mogok di sepanjang jalan hidup ini.
Ketiga; perenungan Destinasi Cinta kita.
Jalan kehidupan kita di dunia ini akhirnya
berujung pada sebuah destinasi cinta. Destinasi cinta yang paling akhir itu
adalah cinta Rabbul Izzati dengan segala hal yang mengitari areal hari akhir,
dan di sepanjang jalan itu ada destinasi-destinasi persinggahan berupa saung
amal dan musium karya. Sayangnya, destinasi cinta itu tak serta-merta
mendekatkan yang terasa jauh, tak serta-merta memformulasikan target aplikatif,
tak serta-merta mengarahkan kesiapan pada bekal. Hingga kabar duka itu hadir,
dan saya dihenyakkan pada sebuah fakta; bahwa saya kurang mawas pada kematian
sebagai pemberhentian akhir yang mungkin hadir setiap saat, kurang mawas pada
agenda kehidupan yang terukur, dan kurang mawas pada kapasitas yang dibutuhkan
untuk mencapainya. Bahkan, destinasi cinta ini semestinya melahirkan
persaudaraan yang hangat menumbuhkan, bukan permusuhan yang dingin
mematikan.
3 PENYIKAPAN
Setidaknya ada tiga penyikapan bagi
momentum duka semacam ini, yaitu:
Pertama; sikap Ketabahan kita.
Kita mengawali dengan ketabahan. Sebab itu
hantaman yang menggoncangkan jiwa. Goyah sudah pasti, tapi cukup sesaat dan
tidak berlarut. Di sini, kita hanya perlu jeda waktu. Memupuk kembali dengan
tiga perenungan; langkah perjuangan kita, jalan kehidupan kita, dan destinasi
cinta kita. Jika ketiga perenungan itu terhayati terus-menerus, maka lambat
laun ketabahan kita akan terpupuk kembali. Karena ketabahan itu berkenaan
wilayah perspektif-paradigma.
Kedua; sikap Keteladanan kita.
Setelah kita pastikan bahwa ketabahan kita
mantap, maka saatnya berangsur pada aksi meneladani. Bahwa hidup kita harus
menjadi teladan, adalah misi suci dari agenda besar tanggungjawab dakwah setiap
muslim. Dan menjadi teladan dapat berawal dari mengumpulkan benih-benih
keteladanan yang berserakan maupun melanjutkan keteladanan yang telah ada di
berbagai manusia. Maka salah satu etika penyikapan kita pada wafatnya seorang
manusia adalah melanjutkan amal dan karya keteladanannya.
Ketiga; sikap Kesinambungan Ukhuwah kita.
Setelah perspektif dan paradigma
membenihkan ketabahan, serta produktivitas dan efektivitas diri terlahir dari
sikap meneladani dan melanjutkan keteladanan, maka ada penyikapan ketiga yang
perlu dilakukan. Yaitu menjaga kesinambungan ukhuwah, baik kepada almarhum,
maupun kepada yang ditinggalkan almarhum. Kepada almarhum wujud ukhuwah itu
dengan menjaga kesinambungan ilmu darinya yang bermanfaat, amal jariyahnya, dan
bakti anak-anaknya. Sedangkan kepada yang ditinggal almarhum kita jaga dengan
silaturrahim; saling mengenal dan saling membantu. Maka adabnya, pihak keluarga
yang ditinggal menjaga silaturrahim dengan kerabat almarhum, rekan almarhum,
dan semua kenalan almarhum. Begitupun sebaliknya, kerabat dan kenalan almarhum
terus menjaga silaturrahim dengan keluarganya.
EPILOG
Saya memang tidak banyak berinteraksi
dengan almarhum. Sebab, baru saja mengenalnya di masa-masa Reformasi 1998, saya ditaqdirkan meninggalkan Kapuas Hulu untuk studi di Bogor - Jawa Barat. Sehingga interaksi saya
memang sebatas saling sapa dan mengenal nama, itupun bukan nama lengkap.
Namun, setidaknya nama almarhum cukup
tersimpan baik di benak saya. Dan secara berkala, orang tua maupun adik saya
meng-update info perkembangan tentang almarhum. Kemudian di tahun 2004, dalam
rentang dua pekan, saya berkesempatan bersua beliau sekali dalam majelis kajian.
Sampai pada akhirnya, kesempatan
berkunjung ke Kapuas Hulu selama bulan Agustus 2012 lalu, merekonstruksi ulang
gambaran sosok bang Abun yang terkenang oleh saya berpostur gemuk menjadi bang
Abun yang tampak kurus. Kabarnya, beliau pernah menderita sakit. Maka, postur
gemuk itu berubah kurus. Namun satu yang tampaknya tidak berubah; tetap
semangat langkahnya, tetap bersama dalam jalan dakwah ini, dan tetap menggamit
erat ukhuwah menuju destinasi cinta bersama.
Begitulah sosok yang awal saya mengenalnya
sebagai pemuda gemuk nan ramah itu kini telah mendahului kita. Forum kajian
pekanan itu telah menjadi saksi ujung langkahnya. Dan di ujung status facebook
itu, saya menulis, ”Semoga keluarga yang ditinggal mampu tabah dan melanjutkan karya
keteladanan almarhum, serta menjaga kesinambungan ukhuwah.”
Bukan hanya keluarga, bahkan kita![]
Betul sekali...kematian itu akhir perjuangan amal di dunia..semoga perjuangan amal sholeh selama di dunia, berbuah manis di akhirat.
BalasHapusekarosaria.blogspot.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus