Minggu, 14 Februari 2016

BEGINILAH HENDAKNYA DAKWAH KITA


Ada kalanya para da’i ingin langsung menjelaskan sistem Islam beserta hukum-hukumnya kepada manusia sebelum matang aqidahnya. Hal itu hanya demi sebuah maksud; agar jalan dakwah ini terasa lebih mudah sebab cepat tampak berbuah. Padahal dakwah ini hendaknya muncul dari keikhlasan menghamba kepada Allah dan kebebasan dari keterpaksaan siapapun, bukan sekadar berdasar pada pandangan bahwa aturan yang ditawarkan sebenarnya lebih baik daripada peraturan yang ada. Sungguh, hal itu bukanlah landasan dakwah. Sebab dakwah bisa dikatakan sukses, bila objeknya telah senang dan mantap kepada Islam, tanpa perlu iming-iming keindahan dan keistimewaan peraturan Islam.


Namun, sepertinya kejahiliyahan yang ada di sekitaran kita telah mampu menekan sebagian da’i yang ikhlas. Sehingga mendorong mereka untuk tergesa-gesa menempuh prosedur sistematis dari konsep Islam. Hanya karena mereka terpancing dengan tantangan jahiliyah yang terus bertanya-tanya; mana penjelasan-penjelasan tatanan yang kalian dakwahkan dan apa saja yang kalian persiapkan untuk implementasinya?

Antara Periode Makkah dan Madinah

Baiklah, ada perlunya kita merenungi kembali sejarah dibangunnya dakwah ini. Bagaimana Allah menitipkan dakwah pada periode Makkah dan bagaimana Allah menitipkan dakwah pada periode Madinah?

Kala Makkah; ummat Islam belum memiliki kekuasaan atas diri mereka, lebih-lebih lagi belum memiliki kehidupan yang bebas untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Sehingga Allah hanya menurunkan tuntunan aqidah, sebagai hal yang didakwahkan.

Adapun kala Madinah; ummat Islam telah memiliki negara yang berdaulat. Sehingga Allah turunkan perundang-undangan dan ketetapan peraturan yang menjadi kebutuhan riil masyarakatnya. Sebab semakin rumitnya tatanan masyarakat tentu membutuhkan tata aturan, pun dalam kondisi berdaulat maka tata aturan dapat dilaksanakan dengan jaminan kuat dari negara.

Beginilah dakwah Islam yang sangat realistis. Bahwa dakwah ini; tidak mencari-cari masalah dan kemudian memberikan solusinya agar mempercepat simpati publik. Tetapi dakwah ini sesungguhnya hadir sesuai kebutuhan problem realitas.

“Sementara sebagian orang,” seperti yang disampaikan oleh Sayyid Qutb. “Ingin Islam merumuskan teori-teori, membuat peraturan yang berbeda dari yang sudah ada, serta merancang perundang-undangan sendiri. Mereka tergesa-gesa merespon hasrat-hasrat temporer yang ada dalam jiwa mereka, disebabkan kekalahan batin dalam jiwa mereka terhadap sistem-sistem manusia yang sepele.”

Sungguh, dakwah Islam bukan berangkat dari rasa gengsi ataupun nostalgia semata. Dakwah Islam adalah proses yang realistis dengan konsep teologis yang spesifik dan mendalam, disampaikan secara perlahan, serta menjalani kontruksi yang dinamis.

Revolusi Kekuasaan Makhluk

Setelah kita merenung ulang pada sejarah awal dakwah ini dibangun, maka kemudian kita menemukan poin esensial dari tahapan dakwah yang mesti dipatuhi. Mulanya adalah menanamkan aqidah Islam yang berupa prinsip Ketuhanan. Kemudian setelah prinsip ini dipahami, barulah tatanan aturan Islam dibangun di atasnya.

Namun, menyemai prinsip itu pada mulanya memanglah bukan perkara yang mudah. Sebab prinsip Ketuhanan itu berarti kekuasaan tertinggi. Maka kekuasaan yang semula ada pada tangan-tangan dukun, kepala suku, para pemimpin dan penguasa apapun, harus dicabut dan diserahkan kepada Allah semata.

Itulah tantangannya! Dan di situlah kita butuh kesabaran yang ekstra. Sebab aqidah Islam memiliki tiga makna:
  1. Tidak ada kekuasaan tertinggi kecuali kekuasaan Allah.
  2. Tidak ada syariat kecuali berasal dari Allah.
  3. Tidak ada penguasaan seseorang atas orang lain.

Peluang-Peluang yang Tidak Dilakukan Rasulullah

Bila inti dakwah ini adalah revolusi kekuasaan makhluk, maka memang seharusnya penekanan dakwah ini pada fondasi aqidah Tauhid yaitu tegaknya kalimat Laa ilaaha illa Allah. Maka pahamlah kita, kenapa jalan dakwah ini niscayanya memang tidak mudah. Sehingga, para da’i-nya pun jangan mudah-mudah tergoda dengan peluang-peluang yang seakan dapat memberikan ‘percepatan’ bagi dakwah ini. Sebagaimana Rasulullah telah bersabar untuk tidak masuk pada peluang-peluang berikut.

Pertama; peluang isu Kebangsaan

Fakta saat itu, tanah-tanah Arab yang subur memang tidak dikuasai oleh orang-orang Arab. Sebelah utaranya yaitu Suriah dikuasai oleh Romawi. Sebelah selatannya yaitu Yaman dikuasai oleh Persia. Sementara orang Arab hanya ada di Hijaz, Tihamah, Nejed dan seluas gurun tandus yang tersisa.

Sementara Muhammad sesungguhnya adalah sosok yang jujur dan terpercaya. Bahkan ia punya track record sejarah pengembalian Hajar Aswad, bahwa para tokoh di Arab menaruh percaya kepada Muhammad. Seandainya Muhammad mengusung isu Kebangsaan (Nasional Arab) dengan tujuan menyatukan bangsa Arab dan mengusir para penjajah, maka para tokoh itu akan mudah diajak bergabung pada seruannya. Sebab mereka telah percaya pada keadilan Muhammad yang tidak akan merampas kekuasaan yang telah dimiliki masing-masing. Sekali lagi, peletakan Hajar Aswad adalah bukti penjaminnya; mereka para tokoh itu tetap punya harga diri bersama mengembalikan Hajar Aswad di saat Muhammad berhak mengembalikannya seorang diri.

Tapi meskipun ada peluang isu ini, Allah justru mengarahkan Muhammad untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah saja. Kenapa demikian? Sungguh bukan solusi penjajahan, bila membebaskan tanah Arab dari cengkeraman penjajah asing (Romawi dan Persia) namun akhirnya menyerahkan kepada penjajahan sesama anak bangsa Arab sendiri. Cerdas!

Kedua; peluang isu Sosial

Fakta saat itu, masyarakat Arab adalah masyarakat terburuk dengan kekayaan dan keadilan yang tak merata. Kekayaan hanya menumpuk di sekelompok kecil, yang transaksi sesamanya penuh dengan riba.

Sementara Muhammad sesungguhnya adalah sosok sederhana yang peduli kaum papa dan terlahir sebagai yatim. Penjuru gurun telah mengenal Muhammad sebagai penggembala yang dapat dipercaya, bahkan kemudian dengan back up istrinya Khadijah yang kaya raya sangat mungkin bila gerakan kawula miskin untuk melawan para hartawan tamak dapat meraih kesuksesan. Seandainya Muhammad mengusung isu Sosial (sepaham dengan Sosialisme) yang mengobarkan perang melawan kelas borjuis dengan revolusi agar kekayaan yang ada pada orang-orang kaya dapat diserahkan kepada orang-orang miskin, mungkin Muhammad akan sukses merekrut sekian banyak pengikut dalam waktu yang cepat dan menaklukkan segelintir hartawan yang rakus itu. Selesai masalah!

Tapi meskipun ada peluang isu ini, Allah justru mengarahkan Muhammad untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah saja. Kenapa demikian? Sungguh bukan solusi keadilan sosial bila akhirnya revolusi semacam itu hanya melahirkan jiwa-jiwa yang berbalas tamak, lalu saling membenci dan menyimpan dendam, hingga berujung peperangan. Adapun solusi keadilan sosial di masyarakat yang sesungguhnya harus terpancar dari konsepsi teologis yang komprehensif; yang mengembalikan semua kuasa kepada Allah, serta menjalankan segala yang telah ditetapkan Allah berupa keadilan pemerataan dan kesejahteraan bersama. Tanpa menghilangkan eksistensi si Kaya, namun tetap memperhatikan eksistensi si Miskin. Sehingga lahirlah keseimbangan loyalitas sosial dalam perspektif dunia dan akhirat.

Ketiga; peluang isu Moralitas

Fakta saat itu, seperti yang telah digambarkan oleh Zuhair bin Abi Salma dengan syairnya, “Barangsiapa yang tidak menyelesaikan persoalannya dengan pedangnya, maka ia akan hancur. Dan barangsiapa yang tidak mau menzalimi, niscaya ia akan dizalimi.” Sungguh, bangsa Arab saat itu adalah masyarakat yang penuh anarkis. Belum lagi kerusakan tatanan keluarga; di mana pernikahan legal kala itu beragam bentuknya dari yang normal hingga dengan sistem undi bahkan yang sifatnya pelacuran.

Sementara Muhammad sesungguhnya adalah sosok yang terkenal dengan akhlak terpujinya. Terbukti para penduduk Makkah sering menitipkan hartanya kepada Muhammad, karena kearifannya dan kehalusan budinya. Seandainya Muhammad mengusung isu Moralitas (Pembaharuan Moral) maka orang akan tunduk, sebab itulah keteladanannya yang telah disanjung-sanjung banyak orang.

Tapi meskipun ada peluang isu ini, Allah justru mengarahkan Muhammad untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah saja. Kenapa demikian? Sungguh bukan solusi bila seruan moralitas pada akhirnya hanya berpegang pada kaca mata penguasa, sehingga ukuran benar-salahnya ada pada penguasa; mereka yang menyanjung pemerintah dianggap bermoral, sementara yang mengkritik pemerintah dianggap tak bermoral. Maka moralitas haruslah berlandaskan aqidah; sehingga nilai-nilai moralitas bukan sekehendak pemerintah, namun sekehendak aqidah. Maka pemerintah yang berdasar kehendak moralitas aqidah inilah yang akan menjalankan prinsip penghargaan dan hukuman yang penuh nilai keadilan. Dengan landasan aqidah inilah, moralitas akan terjaga dengan sistem kontrol yang paten dalam setiap individu. Bila tidak, maka hanya moralitas sesaat dan akan segera goyah.

Cara Al Qur’an Menyemai Aqidah

Bila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diarahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk fokus menyemai aqidah dalam permulaan dakwahnya, maka hendaknya kitapun melakukan hal yang sama. Namun persoalannya, kita mengetahui bahwa menyemai aqidah ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan tanpa tantangan; sebagaimana kita tahu bahwa inilah revolusi kekuasaan makhluk yang akan mendapatkan perlawanan dari para penguasa dan segenap kekuasaannya. Maka, agar proses ini tak semakin diperpanjang karena kesalahan sistematika kita, kiranya perlu mencermati cara al Qur’an menyemai Aqidah.

Sebab al Qur’an adalah referensi utama ummat Islam, maka ia juga sumber inspirasi bagi dakwah Islam. Darinya kita belajar, bahwa dakwah ini dimulai dengan membahas satu persoalan yang tidak pernah berubah; yaitu persoalan Aqidah. Persoalan aqidah itu sesungguhnya adalah persoalan eksistensi manusia pada dua hal; hubungan manusia dengan semesta dan hubungan manusia dengan Pencipta. Dalam mengenalkan hubungan semesta dan Pencipta, al Qur’an telah melontarkan beragam pertanyaan kepada manusia. Begitulah aqidah disemai dalam perenungan-perenungan yang panjang oleh al Qur’an.

Namun secara sistematis, ada dua cara al Qur’an dalam menyemai Aqidah:
  1. Secara umum; al Qur’an tidak memaparkan aqidah secara teoritis ataupun teologis seperti yang kini dikenal dengan ilmu Tauhid. Tetapi al Qur’an berbicara langsung kepada fitrah manusia, baik mengenai eksistensi manusianya maupun eksistensi seluruh makhluk yang ada di sekitarnya dengan bukti-bukti dan argumentasi-argumentasi. Perenungan-perenungan akan segala isi alam, itulah cara yang Pertama.
  2. Secara spesifik; al Qur’an menanamkan aqidah dengan interaksi langsung di medan perjuangan yang dinamis dan riil. Sehingga format teori bukanlah format yang relevan bagi realitas yang spesifik masuk ke relung-relung peristiwa kehidupan. Interaksi dengan segala masalah kehidupan, itulah cara yang Kedua.

Nah, dengan dua cara itulah al Qur’an menyemai Aqidah dalam jiwa-jiwa manusia. Al Qur’an telah menggunakan cara yang dinamis dalam menghadapi berbagai konsekuensi serta tantangan terkait kejiwaan individu maupun realita sosial. Maka perdebatan intelektual ala ilmu filsafat bukanlah format yang relevan. Dengan demikian, Islam melakukan pemantapan aqidah dalam format masyarakat alami yang dinamis dengan struktur sistemik.

Seperti pada periode Makkah, itu bukanlah fase perumusan dan pengkajian teori. Melainkan periode implementasi pembangunan yang fundamental bagi aqidah individu dan eksistensi masyarakat Islam secara kolektif. Maka salah dan sangat membahayakan bagi dakwah Islam sendiri, bila kristalisasi aqidah dilakukan dengan format teori yang sebatas kajian intelektual.

Begitulah prinsip yang harus dipegang. Jangan sampai kita ingin mengubahnya sebatas demi memenuhi keinginan-keinginan temporal karena merasa kalah dengan teori-teori kemanusiaan. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah berfirman dalam Al Isra’ ayat 106, “Dan al Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar kamu (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan, dan Kami menurunkannya secara bertahap.

Jadi... Tetaplah menyemai Aqidah secara mendalam, perlahan, dan dinamis. Hingga manusia merasakan segala sisi kehidupannya terintegrasi dengan cara pandang Tauhid.

Kesimpulan

Begitulah hendaknya dakwah kita. Pertama kali yang dilakukan adalah menyeru manusia untuk menganut aqidah Tauhid hingga tertancap kalimat laa ilaaha illa Allah dengan maknanya yang hakiki. Kristalisasi inilah yang kemudian menjadi landasan kokoh bagi bangunan masyarakat Islami.

Maka, hendaknya dakwah kita komitmen dengan tiga hal berikut:

Pertama; komitmen untuk memulai dakwah dengan pemantapan Aqidah Tauhid. Sebab dakwah tidak akan sampai pada tingkatan tertinggi bila tidak mengibarkan panji Laa ilaaha illa Allah. Dan pengikutnya tidak akan benar-benar ikhlas bila memulai dari aspek kebangsaan, sosial maupun moral.

Beginilah, bangunan Islam yang besar haruslah memiliki akar yang kuat dan dalam. Sehingga fokusnya adalah pembangunan identitas aqidah hingga masuk ke setiap relung jiwa. Sebab kepatuhan adalah permulaan yang dibutuhkan keimanan, agar kemudian menerima tata aturan dan perundangan Islam dengan penuh ridha dan lapang dada.

Tentu ini berbeda dengan yang dilakukan para pemimpin. Demi eksistensi kekuasaannya; mereka berusaha keras memutuskan sesuatu dengan undang-undang dan peraturannya, dengan segenap sistem dan tenaganya, bahkan dengan tentara dan senjatanya, serta dengan segala propaganda dan publikasinya. Tapi yang demikian, hasilnya hanya sebatas mengatur perselisihan yang tampak di permukaan. Tentu Islam bukan sekadar polesan kemasan luar, namun tampilan yang memang tumbuh dari benih aslinya.

Maka dakwah Islam bukan sekadar setting peraturan maupun gegap-gempita propaganda dan publikasi.

Kedua; komitmen dengan konsep yang aplikatif, dinamis dan moderat. Sehingga mengatur kehidupan dalam tataran realitas, dan mengarahkan realitas agar tertata menurut tatanan Islam. Hingga menerima kedaulatan tertinggi hanya di tangan Allah.

Maka dakwah Islam bukan sekadar mengisi panggung kehidupan dengan mengikuti tren, namun juga mengarahkan tren agar sesuai dengan tuntunan Islam.

Ketiga; komitmen dengan reformasi konsep pemikiran dan penanganan masalah secara realistis. Sehingga seorang da’i memahami setiap tahapan dakwah beserta segala pola penataannya, hingga dakwah ini tak pernah kehabisan ide-ide solusinya.

Maka dakwah Islam bukan sekadar melakukan reformasi terhadap aqidah dan realitas manusia, namun gamang secara konsep sehingga mudah digoyang oleh infiltrasi-infiltrasi musuh Islam.



من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب

Baca juga:

2 komentar:

Billy Antoro mengatakan...

Tulisan yg sangat bagus dan berbobot, mas irfan! Kritik & solusi bagi para da'i. Semoga banyak yg membaca & memahami tulisan ini.

Irfan Azizi mengatakan...

terima kasih atas kunjungannya, mas Billy...